Cerita Martince : “Saya tidak takut lagi berjuang untuk perdamaian”

3
1761
Martince, saat memimpin aksi damai bersama ibu sekolah perempuan lainnya tahun 2014. Foto : Dok. Mosintuwu

“Saya tahu tentang Sekolah Perempuan dari Arfik, fasilitator Sekolah Perempuan yang membawa formulir Sekolah Perempuan. Saya hanya coba-coba isi tapi kemudian tertarik dengan penjelasan fasilitator bahwa Sekolah Perempuan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan perempuan, juga untuk mendapatkan teman lain dari wilayah lain dan agama berbeda. Selama ini saya tidak percaya diri untuk tampil di depan umum, saya pikir kalau bisa ikut sekolah perempuan, saya bisa belajar banyak untuk lebih percaya diri. Sebenarnya saya juga ragu apakah kami bisa duduk sama-sama belajar tentang perdamaian. Saya ragu karena mereka Islam dan saya Kristen. Terus terang kami, banyak yang masih trauma pasca mutilasi anak saudara kami oleh kelompok Muslim. Itu yang dimutilasi anak saudara saya, dan kami satu kampung ini trauma dengan muslim. Akibatnya jangankan saling menyapa, kami bahkan takut sekali kalau lewat wilayah mereka. Ada perasaan jangan-jangan akan begini, jangan-jangan akan dibegitukan. Setelah peristiwa mutilasi itu, hubungan antara warga muslim dengan Kristen di Bukit Bambu dengan warga Sayo sangat renggang.

Saya bangga bisa ikut Sekolah Perempuan karena semua hal yang sebelumnya saya takutkan, saya ragu, saya tidak percaya diri, semuanya hilang. Itu sudah dimulai sewaktu kami ikut kurikulum Agama, Toleransi dan Perdamaian. Saya dulu beranggapan bahwa muslim itu suka kekerasan, bahkan kami tidak boleh bergaul dengan perempuan yang berjilbab karena haram. Sewaktu ada kunjungan kelas Sekolah Perempuan di mesjid, saya punya kesempatan untuk bertanya dan ternyata muslim itu tidak seperti yang selama ini saya bayangkan atau yang saya dengar. Kita bisa tetap berteman dan berdekatan dengan yang jilbab, bahkan muslim itu tidak mengajarkan membunuh hanya saja oknum yang beragama seringkali punya penafsiran yang berbeda. Kalau saya bilang, melalui sekolah perempuan Mosintuwu, rekonsiliasi perdamaian itu berhasil. Meskipun sampai saat ini masih ada teror di Poso yang berusaha untuk mengacaukan hubungan antara Muslim dan Kristen, tetapi sekarang saya dan teman-teman anggota sekolah perempuan lainnya sudah saling berkomunikasi untuk mengklarifikasi isu-isu yang tidak benar dan saling melindungi. Tidak ada lagi pembicaraan yang hanya untuk kelompok muslim atau hanya untuk kelompok Kristen, yang ada kami ini sama-sama orang Poso yang mau berdamai.

Baca Juga :  Desa-desa Toleran di Poso

Saya ini hanya ibu rumah tangga biasa.Pergaulan saya hanya di dalam rumah dan di desa. Dengan Sekolah Perempuan saya bukan hanya belajar tentang hak saya sebagai perempuan, tapi juga belajar mengenai bagaimana berbicara dan bagaimana berjuang mendapatkan hak sebagai perempuan. Dulu saya sangat gugup kalau berbicara di depan umum, sekarang saya bisa berbicara bukan hanya di desa tapi juga di kecamatan dan menfasilitasi Sekolah Perempuan. Saya sangat terharu karena dipercaya menjadi fasilitator Sekolah Perempuan. Saya sekarang sudah bisa punya ases berbicara dengan kepala desa, camat dan banyak orang-orang penting lainnya, padahal dulu saya tidak terbayang bisa melakukan ini. Saya dulu tidak percaya diri bahwa saya bisa melakukan, tapi motivasi yang luar biasa membuat saya menjadi seperti yang sekarang ini. Saya percaya melalui Sekolah Perempuan, banyak perempuan lainnya yang akan berdaya, berjuang untuk haknya dan mampu menjadi jembatan perdamaian

Saya tidak takut, tidak ragu lagi sekarang. Saya percaya, kita, perempuan, kalau diberikan ruang yang terbuka akan mampu untuk berbicara bagi hak kita dan memperjuangkan perdamaian di Poso sampai selamanya”.

“I first knew about Women School from Arfik. He was one of the facilitators. He brought me the registration form for Women School. I filled it, half-heartedly, but my interest grew when I was given explanation that the school aimed to provide information and knowledge for women on women issues. Besides, I make friends with other women from other areas and different religions. I had this weakness: I was not confident enough to speak in public. So I thought maybe I could exercise and gain more confidence and learn many other things. I also had my doubt whether we could really sit together and talk about peace. I am a Christian and many of other members are Moslem. We are all still traumatized by the conflict. My husband’s relative had a daughter who was mutilated by the Moslem group during the conflict. All the people in my village were still traumatized with Moslems, we did not dare to walk across Moslem village, and we looked away trying not to greet each other. We were distrustful, thinking that they would do bad things to us. After the mutilation incident, there was a huge gap between Christian and Moslem people living in Bukit Bambu and Sayo villages.

Baca Juga :  Temu Kangen Warga Kristen,Muslim Lombogia di Idul Adha

I am very proud now that I am participating in Women School. All those things that I was fearful of, had doubts against, not enough confidence in, all vanished. I used to think that Moslem is a violent religion and that it was forbidden for us to communicate with those women wearing hijab. Then there was this one session in Women School discussed about religion, tolerance and peace. We made a trip to a Mosque and we held a discussion there. I posed my questions and underwent a change in mind about Islam afterwards. Islam does not teach violence or killings. It was those individuals who held different interpretation who did it. I realized that we could still make friends with each other, with women wearing or not wearing hijab. I’d say, it is through Women School that our reconciliation is achieved. Even though there is still terror in Poso to disrupt our peace, we are the women in Women School maintain our communication to clarify the rumors and to protect each other. We build our common ground, not based on our different religion but based on our dream for the peaceful Poso.

Baca Juga :  Merasakan Semangat Perempuan Dulumai di Festival Tradisi Kehidupan

I am just an ordinary housewife. My social circle was limited within my own house and village. With Women School, I learned more about our rights as women, how I can speak for myself and for others about women’s rights. I was nervous but now am going through improvement with my public speaking skills. I feel so moved when I was given credit to become a facilitator for the Women School. I now have better access to head of village, head of sub-district and those higher-up people. I never imagined I would go this far. With the motivation given to me from Mosintuwu, I become what I am now. I believe that with Women School, many women will find their strength to struggle for their rights and make peace

I am not afraid. I doubt no more. I believe that we women, given the chance and open space to come together, will be able to speak up for our rights as women and to struggle for peaceful Poso forever”

3 KOMENTAR

  1. Does your site have a contact page? I’m having trouble locating it but,
    I’d like to send you an e-mail. I’ve got some suggestions for your blog you might be
    interested in hearing. Either way, great website and I look forward to seeing it grow over time.

  2. Betul sekali, bukan islam yg suka kekerasan karena pada dasarnya islam mengajarkan untuk saling menyayangi. Mereka yang menjadikan islam sebagai tameng kekerasan adalah orang yang mencari kambing hitam atas hobinya tersebut

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda