Cerita Tanah, Air dan Hutan Poso di Documenta Fifteen Jerman

0
1527
Peserta Konferensi Perempuan Poso dari berbagai desa membawa tanah, air, dan hasil hutan dan menceritakan sejarah dan ingatan masing-masing unsur . Foto : Dok.Mosintuwu/Ray Rarea

“Buka kopernya bu” seorang Petugas bandara Mutiara Palu menunjuk koper hijau yang baru saja melewati scanner. Saat saya membukanya, 2 petugas lainnya mendekat penasaran. Mereka menemukan ratusan tanah dan beragam hasil hutan dibungkus dalam plastik kecil, sementara puluhan botol kecil menampung air dengan berbagai ukuran. Ini souvenir? tanya petugas lainnya. Saya menjelaskan “mereka akan ikut konferensi” Hah? wajah para petugas bandara itu sempat terlihat bingung namun sesaat kemudian berkata “ oh, mau ikut pameran? “ 

Saya ingin sekali menjelaskan bahwa bahan-bahan yang mendominasi isi koper saya itu bukan hanya untuk pameran tapi mereka akan menjadi bagian penting dalam sebuah proses konferensi. Jadwal boarding-lah yang menghalangi niat menjelaskan yang bisa jadi juga tidak efektif. 

Tanah-tanah, air dan berbagai hasil hutan dari Poso diterbangkan ribuan mil jauhnya, dari Kabupaten Poso ke Jerman. Mereka menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ( KTT ) di kota Kassel, Jerman.  Bersama dengan pohon yang kering, tanah-tanah, air, berbagai hasil hutan lainnya dari berbagai negara,  diatur rapi di atas meja mengelilingi ruangan utama museum. Mereka sebagai penghuni bumi selain manusia dihadirkan menjadi peserta KTT New Rural Agenda, mewakili penghuni bumi lainnya mahluk hidup lainnya. Duduk setara dengan manusia dari berbagai negara di dunia yang juga hadir dalam konferensi tersebut. Di sebuah kain besar tertulis : Menjaga Martabat Penghuni Bumi.

“ Kehadiran tanah-tanah, air dan berbagai hasil bumi lainnya di sekitar kita saat ini menunjukkan bahwa penghuni bumi lainnya sama pentingnya dalam  kehidupan kita”  Ujar Ismanudin, dari Jatiwangi Art Factory, memulai konferensi. 

Kehadiran tanah-tanah, air dan berbagai hasil hutan dari Poso bukannya tanpa proses. Sebelum dibawa terbang menempuh perjalanan darat dan udara ribuan mil, para penghuni bumi selain manusia ini dikumpulkan oleh para perempuan dari 20 desa di Kabupaten Poso. Setiap tanah, air dan hasil hutan ini telah disentuh dan dibicarakan sejarah dan ingatan manusia atasnya dalam konferensi Perempuan Poso di bulan Juni 2022. Saya mengirimkan foto-foto tanah, berbagai jenis air dan hasil bumi yang diletakkan rapi di atas meja ke para perempuan Poso yang mengikuti Konferensi Perempuan Poso. Bangga, kata ibu-ibu.

Kehadiran mereka membawa cerita tentang perkembangan hidup manusia dan ekosistem , tentang hubungan antar penghuni bumi yang mulai saling menjauh dan sedang diperjuangkan untuk terekat kembali, dan tentang masa depan kehidupan. 

PM Toh, storyteller dari Aceh dan Lian Gogali, ketua Mosintuwu menceritakan kisah tanah, air, hutan di KTT New Rural Agenda dalam Documenta Fifteen di Kassel, Jerman, 21 Juni 2022 . Foto : Dok. Christin

PM Toh, storyteller dari Aceh memulai cerita tanah, air dan hutan Poso dalam kisah ikan masapi. Sambil berdendang dengan menggunakan peralatan dapur sederhana, PM Toh mengisahkan kisah ikan Masapi yang hidup tenang di Danau Poso. Saat dewasa, ikan Masapi saat akan melahirkan akan berenang ke teluk Poso . Anak-anak masapi yang dilahirkan kesulitan untuk kembali ke Danau Poso karena terhalang bendungan PLTA. 

Baca Juga :  Radio Komunitas Mosintuwu : Gelombang Suara untuk Perdamaian dan Keadilan

“Hanya tiga dari ribuan anak ikan yang berhasil tiba kembali di Danau Poso” dendang PM Toh. 

Meskipun saya yang menceritakan kisah tentang anak Masapi kepada PM Toh. Saya tetap tertegun mendengarkan bagaimana kisah ini diceritakan dengan dendangan khas PM Toh. Tangan saya sempat terhenti bergerak. Saat itu saya sambil sedang melukis. 

Tanah-tanah dicampur dengan air-air yang telah menempuh perjalanan panjang. Campurannya menjadi cat yang disapu di kanvas membentuk rahim. Di atasnya, beras dari Lembah Bada, rotan dari pegunungan Poso Pesisir, berbagai jenis kayu dan bambu dari pesisir danau diletakkan di atasnya. Para penghuni bumi ini sedang menyampaikan pesan tentang hubungan para penghuni bumi.  Kanvas rahim alam, demikian kami dalam Konferensi Perempuan Poso menyebutnya. Rahim yang dibentuk dari tanah, air dan hasil hutan menjadi simbol keterikatan perempuan dengan penghuni bumi lainnya.  

“Terharu” demikian komentar ibu-ibu yang menonton video prosesi ini. Terharu karena kisah tentang perempuan Poso dalam hubungannya dengan penghuni bumi lainnya bisa didengarkan dalam konferensi tingkat tinggi New Rural Agenda. Terharu karena tanah, air , dan hasil hutan yang cerita dan kisahnya dekat dengan kehidupan mereka mengambil bagian dalam pembicaraan penting tentang agenda pembaharuan desa di dunia. Juga karena pikiran, perasaan perempuan atas tanah, air dan hutan diperhitungkan dalam pembicaraan konferensi tingkat tinggi New Rural Agenda.

Konferensi Tingkat Tinggi New Rural Agenda di Museum fridericianum. Foto : Dok.Christin

Manusia dan Para Penghuni Bumi di KTT New Rural Agenda

Tanah, air dan hasil hutan dari Poso hanya sebagian dari peserta KTT New Rural Agenda. Saat kami memasuki ruangan KTT, kue dari tanah Jatiwangi lebih dulu masuk ke dalam tubuh saya dan semua peserta lainnya. Awalnya, tanah yang akan kami cicipi adalah tanah dari Palestina, namun saat KTT berlangsung tanah Palestina masih tertahan di bandara tidak diperbolehkan masuk. 

Di bagian tengah ruang KTT, hadir tanah kompos dari Taman Auwe, yang merupakan saksi arsip penting bagi upaya penaklukan alam oleh manusia. Di antara para peserta ada delegasi pohon yang sekarat menggambarkan masalah lingkungan dan perubahan iklim telah menyebabkan ketidakseimbangan yang luar biasa. Demikian juga tanah dari Meksiko, Uzbekistan, Colombia dan Mali. 

Kehadiran mereka menjadikan suasana KTT terasa sangat khidmat.  Kehadiran peserta manusia dan penghuni bumi lainnya mengarahkan fokus KTT pada proses merasakan, mendengar, melihat , mengaktifkan semua sistem indera tubuh. Kehadiran penghuni bumi lainnya merepresentasikan  kondisi aktual ekosistem dan penghuni bumi yang terus menerus bertransformasi dan mengalami krisis. Atmosfer itu sangat terasa. 

Baca Juga :  Megilu 7 Hari

Mengikuti poses makan kue tanah, kami mencium bau harum dari dupa yang dibakar para seniman dari Palestina sambil mengucapkan mantra-mantra. Terasa ikut merasakan jejak tanah yang menempel pada tubuh 2 seniman , serta harum kunyit yang disebarkan di atasnya dalam aksi Tisna Sanjaya, seniman Indonesia. Mencicipi makanan yang diolah Mama Fun dari Mollo NTT. Mendengarkan suara dari alat musik khas Kalimantan dari Yadi. Menyetujui dendang Jawa dari Wahyudi kepala desa Panggungharjo tentang jangan tinggalkan desa. Katanya :

“Jangan tinggalkan desa /karena itu memberimu kehidupan.

Makanan yang memberimu kekuatan / adalah buah tanah di desa yang kita rawat.

Air yang memberimu kehidupan  / adalah tetesan air yang mengalir dari mata air yang kita rawat di desa.

Udara yang kau hirup setiap detik dalam hidup /adalah kebaikan dari daun pohon yang kami pelihara di desa dan hutan.

Tanah, air dan udara yang kami jaga, jaga, dan pelihara di desa /adalah wujud rasa hormat kami terhadap jiwa-jiwa yang terpuji pada tubuhmu yang rapuh.

Tanah, air, dan udara yang kita rawat, jaga, dan pelihara di desa ini /adalah wujud cinta akan hidup dan masa depanmu.

Kami dalam doa merangkul tanah, air dan udara di desa /sebagai wujud harapan bagi alam semesta yang berkembang dalam harmoni dan keseimbangan.

Bersyukurlah pada semua yang memberi kehidupan”

Tanah, air, hasil hutan dan hasil bumi tidak  menjadi obyek pembicaraan tapi menjadi subyek penting yang diletakkan setara dengan manusia yang membicarakannya. Membicarakan kehidupan. Dan karenanya, saya pulang kembali ke Poso, bukan hanya membawa cerita tentang KTT New Rural Agenda. Membawa kerja kolektif tanah, air, hutan, manusia . 

***

Kehadiran Institut Mosintuwu merupakan bagian dari kerja kolektif bersama Jatiwangi Art Factory, salah satu kolektif yang menjadi bagian dari Documenta Fifteen membawa program New Rural Agenda. New Rural Agenda adalah sebuah usulan menjadikan budaya sebagai bagian utama dari perspektif pengembangan kawasan dan ruang hidup yang berkelanjutan, sekaligus membayangkan pedesaan dengan kecerdasan dan pengetahuan penduduk dan ekosistemnya, sebagai referensi untuk masa depan kita bersama. 

Institut Mosintuwu mengambil bagian dari agenda New Rural Agenda. Kegiatan Sekolah Pembaharu Desa yang dikembangkan menempatkan desa sebagai ruang untuk pengembangan kawasan dan ruang hidup yang berkelanjutan. Kenyataan bahwa desa ditinggalkan karena jadi petani dianggap tidak memberi harapan. Kita bisa lihat hasil Sensus Pertanian yang dilakukan BPS yang menunjukkan makin kurangnya jumlah petani. Dari 31,2 juta di tahun 2003 tersisa 26,1 juta di tahun 2013. Berkurang 5,1 juta dalam 10 tahun. Dari proporsi umur juga menyedihkan, semakin sedikit anak muda yang mau menjadi petani. BPS mencatat, tahun 2018 rumah tangga pertanian memang naik, tapi hanya pada mereka yang berumur 45 tahun keatas. Yang tetap bertahan jadi petani dan terus bertambah hanya yang berusia di atas 65 tahun, jumlahnya sekitar 4,1 juta rumah tangga. Adapun kelompok bawah 45 tahun justru mengalami penurunan. Ini berarti petani bukan kalangan muda. 

Baca Juga :  Martince : Perempuan Provokator Damai Poso

Di Poso, bisa kita periksa juga fenomena migrasi ini. Paling tidak ada dua sebab anak muda tinggalkan desa. Pertama melanjutkan pendidikan. Kedua pergi bekerja diluar desa. Sebagian besar jadi buruh di pabrik-pabrik nikel di Bahodopi, Morowali dan Ganda-Ganda, Morowali Utara. Dengan alasan administrasi untuk dapat pekerjaan, KTP juga diganti.

Meninggalkan desa memang berat. Tapi terpaksa, karena jadi petani di Indonesia dibuat jadi tidak mudah. Biaya produksi jadi mahal karena pupuk subsidi sering hilang. Sedang pupuk non subsidi mahal. Saat panen tiba, harga anjlok. Tapi kalau cuma itu soalnya, petani tidak pernah patah arang. Tanah selalu ditanami lagi. Selalu ada harapan panen berikutnya pasti lebih baik.

Tapi ketika tanah dirampas, itu sulit dihadapi. Apalagi perampasan oleh pemodal dibantu penguasa dan organisasi keagamaan. Tiga pihak ini berkolaborasi menenggelamkan sawah, kebun dan padang gembalaan di pinggir Danau Poso. Bikin migrasi keluar dari desa semakin cepat. Tapi bukan hanya warganya, kebudayaannya juga berangsur-angsur hilang, mungkin tepatnya dihilangkan.

Padahal, seperti Wahyu Hadi Hanggoro lantunkan dengan lirih, bagi desa, budaya jadi dasar yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan penciptanya.

“Budaya desa mengajarkan kita bahwa puncak hubungan kita adalah kekeluargaan, puncak hubungan ekonomi kita adalah kerjasama dan solidaritas, dan puncak hubungan politik kita adalah musyawarah”. 

Lantunnya lagi, “Bagi desa, budaya bukan sekedar ritus atau ekspresi semata. Budaya desa transenden, suatu sistem makna yang merekam hubungan antara alam, manusia dan Penciptanya, yang diwujudkan dalam lambang, ucapan dan tulisan yang semuanya mengacu pada sosok ibu; rahim ibu, bahasa ibu, dan ruang budaya ibu”.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda