Alat Musik Khas Poso : Apa Kabarnya?

0
218
Musik Geso-geso dimainkan oleh adik-adik SD dari Poso Kota di Festival Mosintuwu, Foto : Dok.Mosintuwu

“Alat musik tradisional Poso saya katakan hilang karena tidak ada lagi generasi (baru) yang tahu alat-alat itu. Upaya mengenalkannya juga hanya pada saat ada festival”(Nardi Banggai/Budayawan Poso)

Budayawan Poso, Nardi Banggai gelisah. Sebagian besar generasi milenial dan Z di Poso sudah tidak lagi mengenal alat musik tradisionalnya. Meski sudah menjadi guru olahraga di SMA Negeri 1 Pamona Selatan Kabupaten Poso, Nardi tetap membuka sanggar khusus untuk mengenalkan kembali alat-alat musik itu kepada anak-anak muda di sekitarnya.  Bukan hanya mengenalkan, dia juga memproduksi dan mengajarkan kembali cara memainkan alat-alat musik tersebut kepada murid-muridnya.

Dia mengumpulkan informasi mengenai alat-alat musik tradisional Poso dari cerita orang-orang tua dan pengalaman masa kecilnya. Penelitian yang dilakukannya menemukan, sebenarnya ada 9 alat musik yang dahulu jadi keseharian orang Poso.

Alat-alat musik berbahan kayu dan bambu itu adalah Dunde, Doii, Tandilo, Di’o,  Woyo so’i,  Bungo-Bungo, Leo-Leo, Dinggoe, Padengko dan Tosi’i, kini hadir kembali. Nardi Banggai memperkenalkannya di berbagai ruang festival, termasuk di Festival Mosintuwu tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu.

Tentu masih jauh dari kata populer karena sulit menarik perhatian banyak orang. Salah satu sebabnya, tidak ada lagu-lagu Poso yang direkam menggunakan alat-alat ini. Dikatakan Nardi, dulunya sebelum era gitar dan organ tunggal, lagu-lagu Poso kaya akan bunyi-bunyian dari peralatan tradisional ini.

Karena musik bagian dari kehidupan orang Poso, penggunaan instrumen-instrumen ini juga ada peruntukannya. Nardi menjelaskan, alat musik untuk merayakan duka berbeda dengan saat perayaan panen padi atau Padungku. Yang dipakai pada semua perayaan hanya Padengko atau kentongan.

Tetapi, bukan hanya untuk menghibur. Bunyi-bunyian yang keluar dari alat-alat ini juga berfungsi sebagai media komunikasi untuk mengabarkan situasi. Misalnya Padengko ditabuh untuk kasi informasi posisi kita sedang berada dimana. Begitu juga Geso-Geso dan Bungo-Bungo untuk merayakan pesta panen.

Nardi Banggai dalam workshop musik tradisi di Festival Mosintuwu. Foto: Dok. Ray Rarea

Alat Musik itu Tergerus Masa

Nardi Banggai, seniman yang sudah menulis lebih dari 300 judul lagu ini menyebut, bukan hanya berfungsi sebagai sumber bunyi-bunyian yang menghasilkan nada, alat-alat musik khas Poso ini juga menjadi sarana komunikasi yang membentuk adat istiadat masyarakat setempat. Misalnya ketika ada kedukaan, hanya alat musik tertentu yang dimainkan.

Dia menjelaskan tentang fungsi Padengko yang umumnya dipakai menjadi alat komunikasi saat orang-orang berada di kebun atau sawah. Alat ini dibuat dari seruas bambu yang sudah dikeringkan dan dilubangi di satu sisinya secara memanjang

Baca Juga :  Gusdurian Award untuk Mosintuwu dan Rekomendasi Gusdurian untuk Indonesia

“Padengko dipakai sebagai isyarat untuk mengabarkan saya sudah ada disini. Lalu yang mendengar akan balas pukul Padengkonya, sehingga kita tahu sudah ada orang disana.” jelas Nardi saat kami berdiskusi di rumahnya di desa Pandayora, Kecamatan Pamona Selatan.

Seiring waktu,fungsinya sebagai alat komunikasi sudah digantikan Handphone. Hadirnya alat musik baru seperti gitar dan organ juga mengubah pendengaran kita mengikuti tren baru ini. Tapi alat-alat tradisional ini akan selalu mengingatkan pentingnya merawat alam dan menjaga tradisi sebagai identitas kita.

Alat musik kedua, Di’o. Di’o sebenarnya dimainkan juga di beberapa wilayah lain. Alat ini awalnya dibuat menggunakan 3 tali rotan yang dibentangkan diatas 3 tiang kayu setinggi kurang lebih 30 centimeter diatas tanah. Tiang kayu dibagian tengah dibuat sedikit lebih tinggi dibanding 2 sisi lainnya. Memainkannya menggunakan stik kayu atau bambu kecil berukuran 30 centimeter.

“Jadi anak-anak bermain Di’o ketika lelah bermain Tente (salah satu permainan tradisi). Diiringi syair-syair yang mereka ciptakan sendiri atau yang sudah mereka dengarkan sebelumnya. Suara Di’o sebenarnya mirip bass hanya tidak terlalu berdengung. Saking asiknya memainkan alat ini, Nardi kecil beberapa kali ditegur ibunya. “Di, tidak usah mo Di’o-Di’o, pergi timba air sana”.

Agar Di’o bisa dimainkan dimanapun, Nardi Banggai memodifikasinya dengan membuat kotak papan persegi panjang, ditengahnya dibuat lubang, lalu memasang 3 tiang untuk membentangkan tali rotan diatasnya.

Selanjutnya alat musik Re-Re. Ini juga terbuat dari ruas bambu ukuran kurang lebih 50 cm yang dibelah kedua sisinya sehingga menyisakan masing-masing sisi selebar 5 cm. Dimainkan dengan cara dipukulkan ke telapak tangan sehingga mengeluarkan bunyi berdengung mirip suara gitar bass.

Alat berikutnya adalah Padengko Ndare’a. Masih terbuat dari ruas-ruas bambu yang sudah dikeringkan dengan panjang kurang lebih 40-50 cm. Alat ini dipasang berjejeran diatas tatakan kayu dengan jumlah 3 ruas. Cara memainkannya dipukul dengan stikdari ruas bambu. Alat yang mirip dengan Calung di Jawa Barat ini menghasilkan bunyi yang memang tidak begitu menonjol. Bedanya dengan Calung, ukuran bambu Padengko Rare’a hampir sama, itu sebab, untuk memainkannya dibutuhkan keterampilan khusus agar irama yang dihasilkan benar-benar nyaman di telinga.

Baca Juga :  Perempuan Pekerja Seni berkumpul di Poso, MamPakaroso

Alat-alat yang memainkannya dengan dipukul ini akan semakin enak di iringi sayatan senar tunggal Geso-Geso. Ini mirip dengan Arababu dari Maluku. Kedua alat musik ini menggunakan batok kelapa sebagai tabung resonansinya. Bedanya, bila alat gesek Arababu terbuat dari bambu yang diraut atau serat pohon pisang, maka senar Geso-Geso biasanya menggunakan tembaga.

Untuk menghasilkan bunyi nyaring, terlebih dahulu alat geseknya digesekkan ke getah damar yang sudah mengeras. Agar praktis, disetiap bagian tabung resonansi alat ini dipasang semacam tempat untuk melekatkan getah damar itu.

Meski masih banyak dimainkan di berbagai acara, namun tidak banyak anak muda yang tertarik memainkan alat ini lagi.

Alat musik khas Poso ditunjukkan Nardi dalam sebuah workshop musik tradisi di Festival Mosintuwu. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

Musik dengan Rasa Hormat

Bagi orang Poso, bermusik adalah keseharian.  Dulu, selain lumbung padi, orang Poso punya bangunan khusus untuk meletakkan alat-alat musik mereka. Namanya Si’e, biasanya didirikan di belakang rumah berdekatan dengan lumbung.  Bangunan khusus ini menggambarkan betapa alat musik dan bermusik adalah kebudayaan orang Poso. Karena itu, alat musik diletakkan dengan penuh perhatian dalam ruang khusus. Alat musik menemani syair-syair ledoni atau kayori yang dilantunkan warga dari pondok-pondok rumah saat menjaga padi atau Motawanggu. Ini adalah salah satu tradisi menanti panen dalam pertanian di masyarakat Pamona.

Di waktu senggang di malam hari, ditemani api yang menyala untuk mengusir dingin dan nyamuk, alunan lagu diiringi Geso-Geso, Di’o atau Woyo So’i.

Iringan alat musik yang dibuat dari bahan-bahan yang mudah ditemukan di sekitar ini menemani syair yang umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari dan pertanian dan cinta hingga doa. Melantunkan syair-syair Kayori diiringi Dunde, woyo so’i atau Tandilo mengingatkan kampung halaman bagi siapapun yang mendengarnya.  Alat-alat musik ini terasa punya kekuatan magis yang bukan hanya menghibur, tapi menenangkan jiwa. Itulah yang membuat alat musik Poso menjadi berharga.

Berbeda dengan teknologi baru teknologi baru yang melahirkan budaya instan yang diwakili ragam teknologi untuk menghasilkan bermacam bunyi , alat musik Poso membutuhkan keterampilan dan rasa khusus dalam memainkannya. Teknologi baru yang tersedia dalam gawai pintar kita seperti aplikasi BandLab atau aplikasi Bunyi Alat Musik, mudah dijangkau. Bunyi yang dihasilkan juga sangat mirip, bahkan tinggi rendah nada bisa disetel sesuai dengan keinginan pemakainya. Tapi, ada yang rasa berbeda di telinga saat mendengarkan nada-nada yang keluar dari bermacam aplikasi itu, jika dibandingkan dengan alat musik Poso. Alat musik yang dianggap sudah kuno itu masuk kedalam hati, begitu terasa membawa hikmat dan penghormatan pada alam semesta. Mendengarkannya, kita serasa berada di bawah bintang di tengah keheningan.

Baca Juga :  Pesan dari Pinggiran Danau Poso
Geso-geso, salah satu alat musik khas Poso dibawakan seorang tua dalam festival Mosintuwu. Foto : Ray Rarea

Bagian dari Musik Dunia

Pegiat musik tradisi asal Palu, Smith Lalove,  mengatakan semua musik daerah merupakan bagian dari musik dunia. Dengan demikian tidak ada musik tradisional. Pendapat ini disampaikan Smith saat menjadi narasumber dalam workshop musik tradisi di festival mosintuwu 2019. Apa yang dikatakan Smith, yang juga salah satu pendiri grup Pedati, berkaitan dengan masih adanya anak muda yang malu memainkan musik tradisional. Padahal, setiap daerah melahirkan jenis musiknya sendiri.  Dengan pandangan seperti itu maka musik tradisi adalah bagian dari ekosistem musik dunia yang menjadi warisan dunia. Belakangan musik tradisi memang menghadapi tantangan berat seiring perubahan zaman, terutama teknologi yang mempengaruhi selera anak-anak muda.

Smit sepakat dengan Nardi Banggai bahwa, minimnya perhatian pada musik tradisi dikalangan anak muda harus diatasi dengan melakukan berbagai pendekatan. Salah satunya memasukkan pelajaran seni di sekolah. Jika ini dilakukan,  anak-anak muda akan kembali mengenal Tandilo, Dunde, Di’o, Dinggoe, Bungo-bungo dan Tosii.

Bukan hanya alat-alat musik tradisional yang akan hilang jika tidak ada langkah nyata menyelamatkannya, Ini berbanding terbalik dengan musik-musik pop berbahasa Poso yang semakin banyak dinyanyikan. Menurut Smith, musisi juga bertanggungjawab mengenalkan kembali musik tradisi kepada generasi muda lewat karya-karya mereka. Kecenderungan menurunnya minat anak muda memainkan musik tradisi karena kegagalan para musisi mendekatkan karyanya pada selera anak muda sekarang.

Bagi Nardi Banggai, melestarikan alat musik khas Poso berarti juga melestarikan budaya Poso. Dia berharap pemerintah melakukan langkah pelestarian alat-alat musik Poso dengan memasukkanya dalam pelajaran di sekolah. Nardi merasa harus mengenalkan kembali peralatan musik tradisional itu mulai dari sekolah. Meski tidak mudah, dia sudah memulainya. Agar jangkauan inisiatif ini lebih luas dia berharap ada kebijakan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkannya dalam program di sekolah di kabupaten Poso.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda