Para peneliti luar Poso bahkan luar Indonesia seringkali mengenal Danau Poso lebih baik daripada mereka yang berada di danau Poso. Karena itu, butuh lebih banyak generasi muda di Poso melakukan penelitian agar mengenal tempat dimana mereka berada.Kita semua tahu Danau Poso. Salah satu danau purba di dunia. Kita tahu letak geografisnya. Tapi apakah kita tahu apa saja yang ada didalamnya? Bagaimana sira (sebutan penghormatan orang-orang tua kepada Danau Poso) mempengaruhi kebudayaan masyarakat di sekelilingnya. Tentu sangat banyak yang masih harus diungkap. Dan sampai sekarang upaya itu, terutama penelitian yang dilakukan oleh pelajar di wilayah sekitarnya masih sedikit sekali.
Karena itulah, membawa pembicaraan tentang Danau Poso di sekolah-sekolah menjadi penting. Institut Mosintuwu bekerjasama dengan SMAN 1 Pamona Utara didukung oleh Sulawesi Keepers dan CELEBICA menyelenggarakan seminar Biodiversity Danau Poso di Kelas Sekolah dan seminar Lingkungan. Keduanya diselenggarakan serangkaian dengan Panen Karya Siswa.
Hari jumat, 8 Maret 2024. SMA Negeri 1 Pamona Utama dihari itu, terlihat lebih ramai dibanding hari-hari biasanya. Hari ini sekolah yang terletak di Kelurahan Tendeadongi, Kecamatan Pamona Utara itu menggelar sebuah kegiatan penting yakni Panen Karya. Antusiasnya keluarga besar SMAN 1 Pamona Utara itu sudah terlihat ketika para pelajar dan guru-guru sudah datang datang disekolah sejak pukul 06.00 pagi untuk mempersiapkan kegiatan itu. Mereka hendak mendengarkan materi penting tentang Danau Poso dan isu lingkungan. Ini adalah pertama kalinya mereka akan mendengarkan beberapa hasil penelitian tentang danau Poso langsung di sekolah. Puluhan kursi yang disiapkan panitia di ruang pelaksana seminar terisi penuh, ini menunjukkan ketertarikan para pelajar yang datang dari beberapa sekolah yang ada di kecamatan Pamona bersaudara terhadap isu Danau Poso yang dekat dengan kehidupan mereka. Diawal acara sekitar 60 orang pelajar sudah duduk rapi, beberapa diantaranya adalah guru.
Mengenal Danau Poso
Seminar Keanekaragaman Hayati Danau Poso mengawali pengenalan para pelajar tentang Danau Poso. Tema ini menjadi menarik karena, hari-hari belakangan isu tentang Danau Poso banyak menarik perhatian publik di Poso dan Indonesia bahkan internasional. Dua orang narasumber yang di hadirkan adalah Kurniawan Bandojolu, peneliti Institut Mosintuwu atau yang akrab disapa Kak Eko dan Diky Dwiyanto, peneliti dari Universitas Tadulako yang hadir diruangan itu via zoom. Diky Dwiyanto memulai presentasinya tentang udang endemik di Danau Poso, dengan tema, “Mengenal Udang Air Tawar Endemik Genus Caridina di Danau Poso dan Upaya Konservasinya.”
Diky memulai dengan penjelasan umum apa itu udang genus Caridina. Dia mengatakan, udang dari genus Caridina memang berukuran kecil, tetapi memiliki peranan penting dalam ekosistem air tawar, khusunya di Danau Poso, karena makanannya berasal dari material organik yang sering terdapat di air tawar. Individu dewasa dari Caridina sendiri hanya berukuran 10-30 cm. Singkatnya, keberadaan udang Caridina bisa menjadi alat ukur alami untuk menilai apakah kondisi air tawar di suatu wilayah masih baik atau sudah tercemar. Dia juga menjelaskan secara umum keunikan Danau Poso yang masuk dalam kategori Danau Purba di dunia, karena dicirikan dengan temuan hewan endemik yang hanya ada didalamnya dan tidak ditemukan di tempat lain diseluruh dunia.
Kepada para pelajar ini, Diky memperkenalkan 11 spesies endemik yang ada di Danau Poso, antara lain : Caridina acutirostris ; Caridina ensifera ; Caridina sarasinorum ; C. longidigita ; Caridina caerulea ; Caridina schenkeli ; Caridina fusca ; Caridina lilianae ; Caridina marlenae ; Caridina mayamareenae ; Caridina poso . Sayangnya, ada enam spesies udang Caridina di Danau Poso, kini dikategorikan “Rentan Kepunahan” atau “Vulnerable” dengan kategori D2 (De Grave dkk. 2013). Udang yang terancam punah itu antara lain Caridina acutirostris, Caridina caerulea, Caridina ensifera, Caridina sarasinorum, Caridina schenkeli dan Caridina longidigita.
Banyaknya udang endemik yang terancam itu, menurut Diky, dikarenakan beberapa aktifitas di Danau Poso, diantaranya, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab di sekitaran Danau Poso. Kemudian, banyaknya penebangan pohon-pohon disekitar danau Poso. Selain itu ancaman kepunahan juga disebabkan masuknya spesies asing serta aktifitas pertanian ditepi Danau Poso yang kerap menggunakan bahan-bahan kimia di dalam proses bercocok tanamnya.
Sejumlah pelajar tampak tertarik dengan penjelasan Diky itu. Karenanya, begitu kesempatan bertanya diberikan. Gerik Monabangu, salah seorang pelajar langsung mengacungkan jari dan bertanya. “Bagaimana caranya mencegah para nelayan untuk tidak menggunakan udang Caridina ensifera yang terancam punah untuk memancing? Pertanyaan itu muncul karena dia mengetahui salah satu jenis umpan yang banyak di pakai untuk memancing di Danau Poso adalah jenis itu.
“Kalau yang digunakan adalah Caridina ensifera, jumlahnya masih sangat banyak sehingga tidak apa-apa jika digunakan dalam jumlah yang tidak terlalu banyak” jawab Diky. Dia menambahkan, baru akan jadi masalah apabila yang digunakan untuk memancing adalah spesies yang jumlahnya hanya sedikit.
Pertanyaan kedua tidak kalah menariknya diajukan ibu Ros, seorang guru yang bertanya tentang sejauh mana peranan dari pemerhati tentang penelitian danau Poso? Menjawab ini, Diky mengatakan, lebih dari 100 tahun lalu para peneliti dari luar Indonesia sudah melakukan riset di Danau Poso, diantaranya Frits Sarasin. Hingga kini beberapa yang aktif meneliti antara lain Dr. Thomas dan Kristina von Rintelen dari Jerman, Werner Klotz dari Jerman, Yixion Cai dari Singapura. Sementara dari Indonesia ada Daisy Wowor dari BRIN dan ibu Annawaty serta Diky Dwiyanto dari Universitas Tadulako.
Diky menyebutkan, salah satu bentuk partisipasi menjaga kelestarian Danau Poso adalah tidak melepas ikan invasif kedalam Danau Poso dan tidak membuang sampah sembarangan. Dia juga mengajak peserta seminar untuk ikut berpartisipasi dalam pendataan distribusi udang Caridina di Danau Poso dengan mendownload aplikasi iNaturalist.
Kurniawan Bandjolu melanjutkan pengenalan tentang Danau Poso dengan menyajikan presentasi tentang“Keanekaragaman Hayati Ekosistem Danau Poso dan Sekitarnya”. Sebelum memulai materinya, Eko tidak lupa menjelaskan tentang upaya memperkenalkan keanekaragaman biota akuatik endemik Danau Poso merupakan kerjasama Institut Mosintuwu dengan organisasi non pemerintah yang berkonsentrasi pada upaya-upaya konservasi keanekaragaman hayati di Sulawesi yaitu Yayasan Aksi Konservasi CELEBICA dan Sulawesi Keepers yang didukung oleh IUCN Save Our Species dan Fondation Segré.
Dalam presentasinya, Eko membagi pengenalan flora dan fauna berdasarkan klasifikasi sebagai berikut:
Biota akuatik endemik Danau Poso khususnya Ikan, Udang dan Moluska; Burung endemik di sekitar Danau Poso; Herpetofauna endemik di sekitar Danau Poso; Primata endemik di sekitar Danau Poso; Flora endemik di sekitar Danau Poso; Tumbuhan karnivora di sekitar Danau Poso; Begonia endemik di sekitar Danau Poso; Rhododendron endemik di sekitar Danau Poso; juga beberapa spesies tumbuhan new record di sekitar Danau Poso
Eko kemudian menunjukan dokumentasi kegiatan penelitian danau Poso yang berasal dari luar negeri, dan dia memperkenalkan orang pertama yang melakukan penelitian Danau Poso, yaitu Frits Sarasin di abad 18. Di akhir materi, seorang siswa bernama Axel Lusikoy bertanya, kenapa Anasa yang digunakan
untuk mengukur kualitas air? bagaimana kalau ikan Anasa punah ? Menurut Eko, Anasa seringkali digunakan sebagai bioindikator (indikator alami) terhadap suatu wilayah perairan karena Anasa sangat rentan pada perubahan lingkungan perairan seperti suhu maupun pH, kalau masih ada Anasa berarti kualitas airnya masih baik tapi jika tidak ada Anasa lagi tentu saja wilayah tersebut sudah menurun kualitas airnya. Jika Anasa punah kita akan sangat rugi karena spesies ini memegang peranan yang sangat penting di alam.
Ketertarikan para siswa mengenai biodiversity Danau Poso berlanjut dengan keinginan mereka mengikuti kegiatan Jalan-Jalan Danau Poso , program yang dikelola Institut Mosintuwu.
Menjaga Ekosistem Danau dari Sampah
“Dahulu bumi ini pernah indah, karena Tuhan tak menciptakan sampah” nyanyian para siswa menggema di lapangan SMA Negeri 1 . Saat itu sudah menjelang siang. Di bawah tenda biru, para siswa bersama para guru mengikuti seminar lingkungan. Seminar ini melanjutkan pengenalan mengenai Danau Poso khususnya menfokuskan mengenai upaya mencegah sampah mencemari danau Poso.
Lian Gogali, pemateri seminar yang juga ketua Institut Mosintuwu membawakan materinya dengan tema “Dahulu bumi ini indah, karena Tuhan tidak menciptakan sampah”. Tema itu dikutip dari lirik lagu ”Sampah” yang dibawakan dinyanyikan oleh Navicula. Menyahuti kutipan lagu yang dinyanyikan serempak oleh para siswa, Lian memberikan catatan mengenai mengapasemua hal di dunia yang diciptakan Tuhan adalah baik, namun sampah plastik sekali pakai yang dibuat oleh manusia dapat mengganggu ciptaan yang baik itu.
Para siswa diajak memainkan mentimeter dengan serangkaian pertanyaan mengenai plastik sekali pakai di sekitar mereka. Hasilnya, para siswa menuliskan : Temuan plastik jarak rumah ke sekolah : 33 orang menemukan lebih dari 2 bungkusan plastik sepanjang perjalanan dari rumah ke sekolah ; 1 orang menemukan 1 bungkusan plastik, dan 1 orang tidak menemukan bungkusan plastik. Untuk penggunaan plastik sekali pakai : 26 orang mengaku menggunakan lebih dari 10 plastik sekali pakai dalam seminggu terakhir, 8 orang mengaku kurang dari 5 , sementara 3 orang mengaku tidak menggunakan plastik sekali pakai dalam seminggu terakhir. Sementara itu, para siswa menjawab mengenai pengelolaan sampah plastik di rumah : 19 orang mengelola sampah plastik dengan cara dibakar, 1 orang dengan cara ditanam, 10 orang dengan cara dibuang ditempat sampah, sementara 9 orang mengaku menggunakan kembali plastik sekali pakai. Saat ditanyakan perasaan saat melihat sampah plastik beredar di jalanan , beragam mulai dari menyatakan
keprihatinan seperti : sedih, jijik, geli, tega; ada juga yang merespon dengan aksi langsung yaitu memungut dan membuang kembali ke tempat yang benar. Namun mayoritas siswa menjawab perasaan mereka biasa saja.
Berdasarkan survei melalui mentimeter ini, dengan menggunakan video Lian menjelaskan mengenai mikroplastik yang merupakan serpihan terkecil dibawah 5 mm dari plastik sekali pakai, bahayanya bagi kesehatan dan lingkungan serta masa depan buku. Dibantu video, para siswa menyaksikan hasil penelitian mikroplastik yang dikonsumsi oleh ikan-ikan di laut.
Melanjutkan diskusi tentang pengelolaan bumi yang lebih sehat , Lian mengajak lagi para siswa menyanyikan bersama lirik lagu “Sampah” dengan lebih lengkap yaitu : Dahulu bumi ini pernah indah, karena Tuhan tak menciptakan sampah, mungkinkan bumi ini tetap indah, mungkin bisa bila kita berubah” . Menggunakan video, Lian memutarkan beberapa tips dari Navicula dalam seri Pulau Plastik untuk menghindari penggunaan plastik sekali pakai. Pertanyaan mengenai bagaimana mengelola plastik sekali pakai yang mau tidak mau dikonsumsi oleh manusia, dijawab dengan menjelaskan mengenai ecobrik.
Ekobrick adalah bata ramah lingkungan yang dibuat dari pecahan plastik sekali pakai yang telah dibersihkan , dikeringkan dan dimasukkan ke dalam botol. Ekobrick menghindari plastik sekali pakai dibakar , ditanam , yang akan berpotensi untuk merusak lingkungan dan masa depan bumi. Menggunakan alat peraga dalam bentuk plastik sekali pakai, botol minuman kemasan, dan gunting, dijelaskan teknis pembuatan ekobrick. Hasil ekobrik ini dapat menjadi berbagai bentuk kerajinan termasuk kursi, meja, rak, bahkan rumah dan gerbang.
Seminar ini dirasakan siswa dan guru membukakan mata dan meningkatkan kepedulian mereka . Mereka mendaftarkan usulan untuk mengubah perilaku penanganan sampah di sekolah. Antara lain, menggunakan wadah ramah lingkungan, bukan plastik; mengumpulkan sampah plastik yang ada di seputaran sekolah agar tidak dibakar atau ditanam; mengubah sampah plastik yang dikumpulkan menjadi ekobrick termasuk membuat kerajinan tangan.
Masuk ke lingkungan sekolah memperkenalkan biodiversity dan konsep ekobrick menjadi langkah awah membangun kepedulian siswa dan mendorong sekolah untuk membicarakannya. Roslin Tandoapu, guru dan ketua panitia Gelar Karya SMA Negeri 1 Pamona Utara menyebutkan keberadaan seminar ini telah mendorong keinginan untuk memasukkan materi biodiversity dan isu lingkungan dalam mata pelajaran.
“Saya sudah bawa tumbler”, tulis Rahel seorang siswa SMU 1 Pamona Utara seminggu setelah seminar. Dia dan teman-temannya sepakat bahwa Tuhan tak menciptakan sampah, sehingga mereka ingin bumi ini kembali indah dalam laku sehari-harinya.