Mo mPadungku

0
4073
Padi memiliki nilai penting dalam Padungku, tradisi merayakan panen di Poso oleh para petani .

Secara terminologi, Padungku atau Mompadungku berasal dari kata Dungku dan kata dasar Padungku. Dungku artinya, usai/tuntas/tertib, sehingga Padungku artinya penuntasan atau penertiban. Adapun awalan ‘Mo’ menjadi Mompadungku bermakna proses pertanian (padi) sudah usai, penyimpanan padi dilumbung sudah tuntas dan alat-alat pertanian sudah disimpan dengan rapi.

Mompadungku sebenarnya berhubungan langsung dengan proses pertanian masyarakat yang cukup panjang. Mompadungku tidak hanya bermula dari mengolah sawah, namun lebih jauh ke belakang yakni dimulai dari pembukaan lahan, yang dimulai dengan pembersihan, menebang pohon, membakar lahan yang sudah dibersihkan atau Mokuasi. Setelah Mokuasi barulah lahan siap ditanami. Pada saat Mokuasi itu usai, bibit padi sudah disiapkan dan pembajakan dilakukan untuk menghancurkan tanah yang baru dibuka agar bagus untuk ditanami dengan bibit yang sudah disemai.

Masyarakat Pamona lekat dengan tradisi berkumpul untuk bercerita dan membahas segala sesuatu secara bersama-sama.  Demikian pula, persoalan sosial sehari-hari termasuk pertanian, memulai proses penanaman padi juga diacarakan sebagai bentuk penghargaan kepada alam. Proses-proses inilah yang menjadi bagian dari Mompadungku, termasuk di dalamnya tradisi Molanggo dan Montawanggu.

Pada malam sebelum turun ke sawah, para petani terlebih dahulu Molanggo, begadang menyambut datangnya fajar untuk menghormati bibit yang akan ditanam. Molanggo berarti makan bersama dengan berbagai lauk pauk yang disiapkan bersama. Namun bukan hanya makan bersama, sejak proses masakan masih diatas tungku hingga setelah selesai makan, akan ada syair-syair yang saling berbalasan, syair atau Kayori yang dilagukan, disebut Ledoni. Minggu-minggu pertama saat padi ditanam hingga berbuah merupakan masa para petani turun kesawah untuk memeliharanya, menyingkirkan rumput-rumput yang tidak penting. Ini disebut Mompae-Pae.

Saat memasuki bulan ketiga, padi sudah menguning dan menunduk. Inilah masa-masa padi siap dipanen. Pada masa menanti padi dipetik, keluarga-keluarga sudah berdiam di kebun maupun di dangau-dangau sawah. Pada masa penantian panen ini, suami istri tidak diperkenankan tidur bersama hingga padi masak. Karena itu, seorang suami membangun sebuah dangau kecil tempat dia akan tinggal sendirian untuk sementara waktu. Dangau ini dibangun disisi lain dari kebun yang agak jauh dari pondok tempat tinggal keluarga. Proses ini disebut Montawanggu. Konon diceritakan orang tua dahulu bahwa aktivitas suami dan istri tidak diperbolehkan karena akan mengganggu proses penantian panen.

Baca Juga :  Sederhana, Milik Natal 2020

Untuk mengobati kerinduan kepada istrinya, setiap malam, dari dangau kecil tempatnya tinggal sendirian, akan terdengar lantunan Ledoni tentang kerinduan, mengharapkan si padi cepat masak. Bersyair dengan kerinduan inilah yang disebut Montawanggu. Masa dimana kesabaran seorang petani menantikan waktu memanen sekaligus berkumpul kembali dengan istri dan keluarganya. Meskipun si suami sudah menantikan detik demi detik kapan padi siap dipanen. Namun ketika saat panen tiba, yang memetik padi pertama bukanlah laki-laki, melainkan siapa perempuan paling tua yang ada di dalam rumahnya.

Petani sedang mosangki, atau panen dengan cara tradisional. Foto : Dok. Mosintuwu

Padi pertama kali dipanen oleh perempuan yang paling tua di dalam keluarga. Setelah padi pertama yang dipetik sudah cukup satu ikat, barulah orang-orang turun dari pematang untuk Mongkojo atau memetik padi bersama-sama. Ini masa dimana Montawanggu usai. Memetik padi pada masa-masa hingga awal tahun 90an selalu meriah karena disertai dengan kayori dari muda-mudi yang turut memanen, seolah-olah mengulangi pantun-pantun ayah dan ibu mereka ketika masa Montawanggu.

Saat kayori dilantunkan oleh muda-mudi yang turut memanen, biasanya orang-orang tua akan mendengar seksama kayori berbalas-balasan dari muda-mudi di tengah sawah itu. Orang-orang tua menyimak dengan serius, siapa yang mengirim pesan-pesan khusus kepada seseorang, dan siapa yang mendapatkan balasan. Ketika menangkap keseriusan dari sepasang muda-mudi yang berbalas pantun itu, orang tua akan menangkap tangan atau Mopasangke dan mereka diarahkan untuk membuat kesepakatan untuk dinikahkan ketika nanti panen sudah selesai atau ketika sudah waktunya.

Panen setelah melalui masa Montawanggu tidak langsung disertai dengan Padungku. Setelah potongan padi diangkut dari sawah, ada prosesi lain yang menanti yaitu Pangore atau Mangore.  Pangore adalah tradisi yang menempatkan padi pada posisi sangat penting dalam kehidupan ini yaitu mengangkat sukma padi. Orang Pamona mempercayai bahwa padi memiliki sukma, yang disebut Tanoana Mpae.  Tradisi mengangkat sukma padi ini melalui proses panjang yang khidmat dan khusuk.

Pada waktu panen dimulai, pertama-tama, diambillah dua ikat yang pertama dipetik, kemudian disendirikan, akan dibawa ke Lobo, untuk disembahyangi atau berdoa kepada Pue Palaburu, sebutan pada Tuhan sang pencipta di tana Pamona. Dalam doa disampaikan permohonan untuk keberhasilan dalam memanen padi, agar padi yang dipanen bernas dan tetap, tidak kosong. Setelah doa, diambil sebagian dari padi diikat, diikat dengan bagian yang lebih sedikit tiap-tiap ikatan, lalu diperciki darah seekor ayam yang disembelih . Padi yang sudah dipercik darah ini sebagian dibawa ke Lobo , rumah adat Pamona. Peletakan padi di Lobo disebut Mpetomaya. Sebagian lainnya dari ikatan padi yang dipanen pertama diikat dengan ikatan kecil diletakkan di atas para-para atau perapian di atas dapur kayu. Bagian padi yang diletakkan di atas perapian ini ditunggu sampai kering. Setelah padi kering, padi itu ditumbuk untuk dimasak. Makan padi baru, demikian orang tua dulu menyebutnya. Padi baru yang diolah untuk dimasak dimakan bersama dengan ayam yang sebelumnya digunakan.

Baca Juga :  Dulu Tak Berani Melintas, Kini Saling MenginapThe Story of Women in Post Conflict Zone

Saat prosesi Mangore dilakukan, di tengah sawah proses panen dilanjutkan oleh para petani. Di tengah sawah dibangun Baora, sebuah wadah pengeringan padi tradisional . Padi yang dipanen diikat rapi, dikeringkan dengan menyusunnya berjejer di Baora. Padi diletakkan selama 2 minggu atau sampai kering. Seluruh padi yang dipanen diletakkan di Baora, itu sebabnya setiap saat panen, para petani akan tinggal di sawah. Pada malam hari, Baora akan ditutup dengan wadah penutup agar tidak terkena embun.

Setelah dua minggu selanjutnya padi yang sebelumnya ada di Lobo diangkut bersamaan dengan padi yang ada di Baora ke lumbung. Proses membawa padi dari Baora ke lumbung ini menjadi proses Tawanggu . Memasukkan padi ke lumbung juga tidak sembarangan orang boleh melakukannya. Orang-orang tua perempuan-lah yang menyambut padi dan mengaturnya atau Ndanyumpi di dalam lumbung. Padi pertama yang diletakkan di lumbung adalah padi dari Lobo, disusul dengan padi yang berasal dari Baora.

Saat ikatan pertama masuk kedalam lumbung,orang-orang tua perempuan akan mengiringi dengan sapaan :

“Anaku bale bangkondo”

“Petutu ngka roo roo”

“Bale bangkondo anaku“

“Petutu ngkayore yau”

Yang artinya :

“Anaku yang kusayangi’

Baca Juga :  Ituwu, Orang Poso Memasak di Bambu

“Berdiamlah dengan tenang’

Saat padi sudah di lumbung, cangkul, ane-ane dan bajak juga sudah dibersihkan dan disimpan.  Setelah semuanya disimpan rapi, itulah saatnya  menikmati hasil tanam. Maka, berkumpullah orang-orang seluruh penduduk kampung untuk rapat atau Mogombo, yang menentukan waktu Padungku. 

Nasi bambu atau inunyu, salah satu jenis makanan yang wajib ada saat padungku di Poso.

Sehari sebelum hari padungku yang disepakati, alu bertalu-talu menumbuk padi, Kayori berbalas, Ledoni mengalun, kayu-kayu bakar dikumpulkan, Suke (wadah minum dari ruas bambu) dan pingku mulai dianyam. Malam harinya, kampung berasap dari bakaran Inuyu (nasi bambu) dan api tungku yang berisi Winalu (semacam Buras), menyambut syukuran yang dilaksanakan besok pagi. Padungku. Pada waktu Mompadungku ini, kesenian Moende atau Motorompia dimainkan. Muda-mudi kembali bertemu dalam kegembiraan. Orang-orang tua kembali menjadi mak comblang apabila pada waktu Mopasangke  ( saat panen di sawah ) tidak ada pasangan yang kedapatan serius.

Setelah hari Padungku, proses tidak berakhir tapi dilanjutkan dengan Mondagia. Dalam mondagia, muda-mudi diundang menunjukkan kemampuan berbalas Kayori bertema percintaan dalam alunan Ledoni atau Bulingoni. Jika ada pasangan yang menemukan jodohnya, maka urusan pernikahan mereka dibicarakan oleh kedua pihak keluarga. 

Menandai selesainya Mompadungku, dilakukan prosesi Madungka Ambarale. Ambarale adalah tempat mengantung hadiah yang diambil dengan cara dipanjat. Seperti bentuk panjat pinang yang biasanya dilakukan di hari kemerdekaan. Di tiang digantung berbagai hadiah seperti handuk, saputangan dan lain-lain. Setiap warga boleh mengambil hadiah jika memanjat. Setelah semua hadiah diambil, maka dilakukan Madungka Ambarale atau menumbangkan tiang tempat gantung hadiah. Jika Ambarale dirobohkan, itulah tanda Padungku sudah selesai, maka orang-orang akan saling siram di pinggir danau atau dalam bahasa Pamona disebut Daloumo ri Wingke Ndano

Demikianlah, Mompadungku merupakan  puncak dari sebuah proses panjang budaya pertanian di Tana Poso yang dilaksanakan para petani dengan khidmat .

Editor : Lian Gogali

Catatan Redaksi : Tulisan ini dibuat oleh Almarhum Yustinus Hokey  ( maestro budaya ) tahun 2017,diserahkan ke redaksi mosintuwu.com dan disampaikan dalam seri sekolah perempuan Mosintuwu tahun 2010 – 2015. Beberapa bagian dalam tulisan Mangore, berdasarkan cerita Wl. Sigilipu kepada Iin Hokey, Oktober 2020.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda