Memproduksi Pengetahuan, Cara Anak Muda Toaya dan Lemusa Membangun Desa

0
2287
Seorang warga melihat rumahnya yang roboh diterjang banjir bandang di Desa Lengkeka, 3 Maret 2020. Foto: Dok.Mosintuwu/Ray

“Biasanya pengetahuan itu diproduksi dari luar yang kadang-kadang belum tentu relevan dengan kondisi desa kita. Jadi buku ini penting karena diproduksi di desa sendiri dan karena itu menjadi lebih relevan untuk dibaca dan digunakan” ujar Nurhady Sirimorok , penulis dan peneliti desa. 

Dua buku karya anak muda desa Lemusa kecamatan Parigi Selatan kabupaten Parigi Moutong dan desa Toaya kecamatan Sindue kabupaten Donggala diluncurkan hari Selasa 29 September 2020. Peluncuran secara online ini dipilih mengingat kondisi Sulawesi Tengah sedang menghadapi penularan virus Covid-19 yang terus bertambah. Kabupaten Donggala mencatat 27 kasus positif yang sedang dalam perawatan (data 29 September 2020) dan ditetapkan menjadi zona merah bersama kota Palu dan kabupaten Morowali. Sedangkan di Parigi Moutong, hingga saat ini tercatat sudah ada 10 kasus positif. 

Estevin Ntibu, salah seorang penulis dan penggerak organisasi Rumah Sangga Lemusa (RSL) mengatakan, sebenarnya ingin merayakan peluncuran buku mereka yang diberi judul ‘Lemusa’, namun Corona akhirnya membatasi semuanya sehingga akhirnya hanya bisa bertemu daring. Buku ini menjadi begitu penting bagi Estevin karena menjadi semacam sumbangan mereka kepada desa. Begitu pula Ade Nuriadin dari komunitas Tana Sanggamu desa Toaya yang jadi tempat berhimpun anak-anak muda yang menulis buku mereka dengan judul ‘Ngapa nu Ranga-Ranga’. Ngapa adalah bahasa Kaili yang berarti kampung. Adapun Ranga-Ranga adalah nama kampung tua mereka sebelum berubah menjadi Toaya. 

Perjalanan terbitnya buku Lemusa dan Ngapa nu Ranga-Ranga bisa dibilang cukup panjang. Bermula dari bencana alam dahsyat yang terjadi pada 28 September 2018. Saat itu desa Toaya menjadi salah satu wilayah di timur kabupaten Donggala yang mengalami bukan hanya gempa bumi, tetapi juga likuefaksi. Setelah bencana, sumber air untuk pertanian berubah, irigasi rusak, para pengungsi semakin sulit karena sawah tidak mendapatkan pasokan air. Di Lemusa, hampir setiap tahun dilanda banjir, desa ini diapit dua sungai besar, Korontua dan Olonjongi. Tahun 2012, puluhan hektar sawah di desa itu tertimbun pasir hingga tidak bisa diolah kembali sampai saat ini. Bulan Juli lalu, hujan selama 3 jam menyebabkan sungai Olonjongi meluap, mengirim bandang ke kampung. Sebanyak 26 kepala keluarga mengungsi, puluhan rumah rusak berat.

Baca Juga :  Sahabat Pena Anak Poso

Dalam kondisi yang terus diintai bencana seperti itu, 2 komunitas anak muda ini kemudian bergerak. melakukan penelitian, mencari data dan mencatatnya, mewawancarai orang-orang tua untuk mendapatkan informasi yang belum terdokumentasi. Proses ini berjalan kurang lebih 5 bulan lamanya. Untuk mendapatkan gambaran utuh geografi desa, mereka melakukan pemetaan geospasial. Karena belum ada yang punya pengalaman menggunakan aplikasi khusus dan GPS serta alat ukur PH tanah, mereka dibantu oleh kawan-kawan dari Mitra Aksi Jambi yang didatangkan institut Mosintuwu.

Sedangkan untuk mendapatkan data kondisi sosial di desa pasca bencana, mereka melakukan pendataan lewat wawancara dari rumah ke rumah. Memang tidak seluruh warga yang bisa mereka wawancarai. di desa Lemusa misalnya, mereka mewawancari 80 keluarga sebagai sampel, sedangkan di desa Toaya, ada 180 keluarga yang diwawancari oleh Ade dan kawan-kawannya. Semua data ini, baik yang kuantitatif maupun kualitatif lalu didiskusikan bersama orang-orang tua termasuk pemerintah desa untuk mendapatkan informasi tambahan.

Data-data itu kemudian menjadi dasar mereka bergerak. Di desa Lemusa, komunitas RSL membantu pemerintah desa menyusun peta desa yang lebih kuat. Lebih kuat karena didukung data ilmiah berupa pengukuran GPS dan memperjelas batas-batas desa. Menuliskan luas persawahan, luas kebun, luas pemukiman dan kawasan yang berpotensi bencana serta dimana titik aman bila terjadi bencana banjir atau gempa bumi. Hal sama juga dilakukan komunitas Tana Sanggamu di desa Toaya.

Buku yang disunting oleh Neni Muhidin ini bukan hanya berisi data-data yang menggambarkan rentetan peristiwa atau kondisi desa dari waktu ke waktu, tetapi juga berisi kegelisahan anak-anak muda ini terhadap ancaman bencana sosial. Di desa Lemusa dan Toaya ada persoalan narkotika, pengangguran hingga perkelahian anak muda yang marak terjadi. Mereka mendiskusikan itu bersama orang-orang tua di kampung, lalu mencatat dan menuliskan mimpi mereka tentang bagaimana membangun desa. Ternyata orang-orang tua juga punya mimpi. Mimpi dari orang yang berbeda generasi ini menjadi jembatan yang membuat mereka semakin sering berdiskusi.

Baca Juga :  Masyarakat Adat Danau Poso Tuntut Poso Energi Tutup Bendungan PLTA Poso I

Ade Nuriadin, dalam launching mengatakan, mereka tidak berhenti sampai di buku saja. Tetapi akan merealisasikan sebagian dari isi buku itu. Bersama pemerintah desa, mereka berencana melakukan penghijauan kembali hutan desa, membuat papan petunjuk lokasi pengungsian bila terjadi bencana.

Di Lemusa, Stevin, Julianto, Andi dan Stefan dan anak muda lainnya menjadikan pengalaman mereka sebagai penyintas bencana banjir dan gempa bumi untuk menyusun cara mengurangi resiko bencana itu dengan mempelajari kondisi sungai Olonjongi dan Korontua, lalu merencanakan penanaman pohon Aren di beberapa titik untuk memperkuat tanah di tepi sungai, lalu menganalisis potensi alam di desa dan bagaimana memanfaatkannya untuk mengembangkan ekonomi komunitas.

Pandemi Covid-19 menyebabkan launching buku Lemusa dan Toaya dilakukan secara virtual. Foto : Screenshoot launching buku 29/09/2020

Semua rencana yang diajukan komunitas RSL maupun Tana Sanggamu ini lahir dari hasil penelitian yang mereka tuliskan dalam buku. Selain menjadi karya buku pertama. Apa yang mereka tuliskan, juga mengkritik cara pandang umum ketika menemukan masalah. Nurhady Sirimorok, pegiat dan peneliti desa yang menjadi pembahas buku desa Toaya dan Lemusa mengatakan, biasanya pemerintah lebih mementingkan kecepatan dalam bertindak, namun tidak menyelesaikan persoalan. Karena mementingkan reaksi yang cepat, biasanya ketika ada bencana, pemerintah langsung menetapkan solusi, tapi melupakan akar penyebab persoalan. Solusi seperti ibni muncul karena diputuskan oleh pihak dari luar desa. Adapun kalau diputuskan oleh orang di dalam desa, mungkin lebih lama, tetapi lebih dalam karena mereka mengetahui akar masalah.

Nurhady mengatakan, dengan pengetahuan besar yang dipunyai anak-anak muda ini akan membuat mereka semakin mencintai desa mereka. Anak muda yang sudah punya kepedulian terhadap kondisi desanya akan membuat mereka merasa berat meninggalkannya. Sebab ada rasa tanggungjawab untuk memperbaiki desa. Nurhady melanjutkan, pengetahuan yang diproduksi oleh anak muda di desa menjadi lebih relevan digunakan karena konteksnya yang lebih dekat.

Baca Juga :  Anak-anak Bersahabat dengan Gempa

“Biasanya pengetahuan itu diproduksi dari luar yang kadang-kadang belum tentu relevan dengan kondisi desa kita. Jadi buku ini penting karena diproduksi di desa sendiri dan karena itu menjadi lebih relevan untuk dibaca dan digunakan” kata Nurhady Sirimorok.

Dia mencontohkan penggunaan metode pemetaan geospasial oleh anak muda Toaya dan Lemusa membawa cara pandang baru yang membantu warga melihat kondisi desa mereka secara keseluruhan. Misalnya, kita melihat kawasan perkebunan seperti apa kondisinya, berapa luasnya. Lalu bagaimana merencanakan pembangunan perkampungan dimasa mendatang.

Reproduksi pengetahuan ini menjadi harapan jangka panjang dalam pembangunan desa atau untuk memperbaiki desa. Karena itu sangat penting anak muda untuk mulai memproduksi pengetahuan sendiri setelah selama ini hanya mengkonsumsi pengetahuan yang berasal dari luar.

Lilik Kurniawan, Deputi pencegahan BNPB yang hadir dalam peluncuran buku mengungkapkan kegembirannya mengetahui ada anak muda yang bergerak melakukan kerja-kerja mitigasi bencana di desa. Apalagi anak muda di Toaya dan Lemusa sudah sampai melakukan pemetaan bencana, menggali sejarah, menggerakkan ekonomi desa. Menurut Lilik, apa yang dilakukan komunitas di 2 desa ini memberikan harapan, ditengah model pembangunan yang cenderung merusak lingkungan dengan alasan untuk mendapatkan PAD. 

Lilik mengkritik keras, kebijakan daerah yang dengan alasan peningkatan PAD, lalu menggunduli hutan. “Ini tidak mengajarkan bagaimana melindungi lingkungan. Maka kita sudah mengajarkan hal yang tidak baik bagi generasi muda”katanya. Dia berharap, buku Lemusa dan Ngapa nu Ranga-Ranga sampai ke BNPB, sehingga bisa dijadikan bahan literasi bencana di tingkat nasional.

Wakil Bupati Parigi Moutong, Badrun Nggai mengatakan, buku desa Lemusa bisa dijadikan bahan bacaan di sekolah-sekolah yang ada di wilayahnya. Dia memberikan masukan agar ada beberapa hal, seperti menambahkan mengenai adat istiadat di Parigi Moutong dalam buku ini. Sedangkan wakil bupati Donggala, Muh Yasin berharap, buku ini dapat menambah pengetahuan sejarah lokal, khususnya di kabupaten Donggala. Buku ini menurut dia, bisa menjadi pengingat sejarah yang sangat efektif ditengah kelemahan kita yang sangat cepat lupa.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda