Pohintuwo, Merespon Bencana di Lembah Bada

0
1353
Warga berbagi makanan sebagai wujud dari Pohintuwo ( bahasa Bada) dengan membawa makanan dari rumah masing-masing untuk dimakan bersama . Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

Hujan deras yang mengguyur desa Lengkeka memaksa Velma Riri Pelowe Bambari berteduh di teras bangunan Gereja. Sekitar 30 menit kemudian hujan reda. Felma menuju kerumah seorang warga. Dia sedang dalam misi mendampingi sebuah kasus kekerasan yang dialami salah satu warga. Velma adalah salah satu tim Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak  Institut Mosintuwu. Dia tidak asing dengan kampung ini, suaminya berasal dari Lengkeka. Saat sedang berada di dalam rumah, hujan deras kembali turun disertai guntur dan petir. 

“Tiba-tiba kami semua mendengar suara gemuruh dari hutan. Kuat sekali. Tidak lama ada orang-orang datang berlarian, lalu teriak cepat keluar pergi mengungsi, itu air sudah datang, cepat”. 

Velma menceritakan detik-detik banjir bandang datang menerjang rumah-rumah disekitarnya. Suasana langsung tegang. Saat keluar rumah dia melihat gumpalan kayu dan batu menggelinding dengan cepat. Orang-orang berlarian sambil menjerit menuju ke tempat aman, ujung kampung. Kontur desa Lengkeka seperti mangkuk, kedua ujungnya lebih tinggi. Itu sebab luapan air diserta kayu dan batuan merusak rumah-rumah di tengah kampung. 

Sambil menyeret kakinya yang tiba-tiba kram, Velma bersama warga berjalan sejauh kurang lebih 500 meter menuju ke pekuburan desa yang dianggap aman karena terletak lebih tinggi. Sepanjang jalan yang terlihat adalah gelombang air berwarna coklat pekat terus masuk ke desa dari arah hutan taman nasional Lore Lindu disebelah utara kampung.

Baca Juga :  Kartini di Poso : Cerita Tangguh Perempuan Akar Rumput

Saat banjir surut, jalanan digenangi lumpur setinggi mata kaki. Warga mulai mencari tempat pengungsian yang lebih aman, pilihan jatuh ke kantor Camat. Ditempat ini mereka diarahkan untuk mengungsi. Ratusan orang basah kuyup dengan baju di badan mengungsi ke tempat ini. Velma kemudian dijemput suaminya, karena tidak sanggup berjalan akibat tebalnya lumpur dan air yang masih deras. Kakinya menjadi lebih sakit. 

“Saya langsung pulang ke Gintu”katanya. Desa Gintu berjarak sekitar 1,5 kilometer dari kantor Camat Lore Barat. 

Sekitar jam 19:00 wita, Velma melawan rasa takut, dia membungkus makanan dan sayur yang ada di dapur rumahnya. Mencari pakaian dan selimut yang bisa disumbangkan. Bersama suaminya kemudian membawa untuk warga yang mengungsi di aula kantor camat. Bukan hanya Velma. Ditempat ini sudah banyak warga dari desa-desa lain yang datang, mulai dari Bewa, Runde, Badangkaia, Gintu hingga Bulili datang membawa makanan dan minuman. 

Warga Desa Lengkeka mengungsi bersama paska banjir bandang , Selasa 3/03/2020 di desa mereka. Foto : Dok.Velma

Cepatnya respon masyarakat lembah Bada dalam membantu para korban dengan membawa makanan, pakaian dan selimut didorong oleh semangat saling membantu yang dalam tradisi setempat disebut Pohintuwo. Dalam bahasa Pamona, saling membantu ini disebut Mosintuwu. Dalam bahasa Bada disebut Pohintuwo. Inilah tradisi yang masih dipraktekkan masyarakat di lembah asal leluhur orang Sulawesi itu.

Baca Juga :  Toponimi, Mengenal Sejarah Peristiwa Besar dan Potensi Bencana

Membantu dengan kemampuan yang dimiliki juga dilakukan Raru dan keluarganya dari desa Tomehipi, yang tidak jauh dari Lengkeka. Bersama-sama dengan warga lain dari Desa Tuare, Kageroa, Gintu dan sekitarnya mereka membawa makanan termasuk air minum untuk diberikan kepada warga yang mengungsi. Seperti Velma, Raru juga merasa malu menyebutkan sumbangan makanan yang mereka masak. Bagi mereka, membantu sesama adalah cara mereka hidup selama ini.

Beberapa jam setelah banjir bandang, bahan makanan yang dibawa oleh warga di sekitar Desa Lengkeka, dimasak bersama oleh warga. Sementara itu, makanan yang sudah dimasak langsung dibagikan bagi warga yang mengungsi. Makanan menjadi salah satu simbol berbagi warga di lembah Bada.

Bukan hanya pada saat bencana seperti banjir bandang, Pohintuwo juga hadir dalam tradisi duka dan pesta atau pertemuan lainnya. Modulu-dulu atau makan bersama, demikian warga menyebutnya untuk kegiatan makan bersama dengan membawa makanan masing-masing dari rumah. Warga bahu membahu mengumpulkan bahan-bahan makanan dan bekerjasama. Hanya dalam beberapa jam, ketika sebuah peristiwa duka atau sebuah rencana disampaikan, warga akan langsung merespon dengan mengumpulkan hal-hal yang mereka punya.

Baca Juga :  DPRD Poso : Dukung Keruk Dasar Sungai Danau Poso Demi Hotel dan Taman Air
Banjir bandang di Desa Lengkeka, 3/3/2020 menghancurkan puluhan rumah, dan korban jiwa 1 orang. Foto : Dok. Mosintuwu/Ray

Data sementara BPBD Poso mencatat di desa Lengkeka ada 10 rumah hanyut, 11 rusak berat dan 51 rusak ringan . Hampir seluruh penduduk yang berjumlah 902 jiwa mengungsi.  Sebagian besar mengungsi di aula kantor camat, sebagian lagi dirumah-rumah warga yang tidak terdampak. sementara sebagian lagi mengungsi ke rumah-rumah keluarga di desa-desa tetangga terutama di kecamatan Lore Selatan.

Hingga sejauh ini data korban dilaporkan 1 warga hilang atas nama Mama Bambang diduga terbawa arus, dan masih dalam pencarian oleh tim gabungan dari Koramil, Polsek dan BPBD,” kata Noldy Tobondo, kepala BPBD Poso,  Selasa malam (3/3).

Dalam data tahun 2016 desa Lengkeka tercatat memiliki 235 kepala keluarga dengan penduduk sebanyak 902 jiwa. Luas wilayah Desa Lengkeka 889 Km2. Secara administratif Desa Lengkeka terbagi atas 2 Dusun dan 6 RT dimana setiap dusun membawahi masing-masing 3 RT. Sebelah Timur Desa Lengkeka berbatasan langsung dengan Desa Tomehipi, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Gintu. Desa-desa ini dilewati oleh Sungai Lariang, sungai yang tercatat terpanjang di Sulawesi yaitu 245 km. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda