Sebuah ekspedisi ilmiah, biasanya dipenuhi oleh deretan para ahli dari disiplin ilmu dari berbagai universitas. Ini berbeda dengan apa yang nampak dari tim Ekspedisi Poso yang memulai perjalanan pertamanya di hari Kamis, 16 Mei hingga 22 Mei 2019 . Nelayan, petani, tokoh masyarakat menjadi bagian penting dalam ekspedisi ini bersama-sama para geolog, arkeolog, palaentolog, biolog, dan teolog. Perjalanan ini menyusuri keanekaragaman budaya, alam dan potensi bencana di Kabupaten Poso.
Perjalanan Ekspedisi Poso yang pertama ini menurut ketua tim Ekspedisi Poso, Lian Gogali, dilakukan dengan menelusuri keanekaragaman, alam, budaya dan potensi bencana yang dilintasi sesar Poso Barat dan sesar Poso. Desa-desa yang ditelusuri yaitu Desa Tindoli, Tolambo, Tokilo, Pendolo, Bo’e, Korobono, Pasir Putih , Pandayora, Mayoa, Uelene, Bance, Panjo, Padamarari, Taipa, Owini, Meko, Salukaia, Toinasa, Tonusu, Leboni dan Buyumpondoli .
Yang menarik, dalam Ekspedisi Poso ini menurut Lian adalah kolaborasi pengetahuan dan pengalaman diantara akademisi dengan berbagai latar belakang ilmu dengan masyarakat yang memiliki pengetahuan lokal. Karena itu, bukan hanya meneliti material tanah, batu, air , mahluk hidup danau dan vegetasi tanaman serta fenomena alam yang terjadi di sekitar desa tapi juga cerita rakyat.
“Ini adalah perjalanan yang bukan hanya berisi para ilmuwan tapi juga ada kolaborasi dengan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat setempat”katanya.
Hal sama juga disampaikan Hery Yogaswara, seorang antropolog, tim ahli Ekspedisi Poso. Menurut dia, pengetahuan lokal penting menjadi bahan pengetahuan untuk mengetahui bencana dimasa lalu. Hery menyebut, salah satu tantangan tim Ekspedisi Poso nantinya adalah menyusun tulisan mengenai kearifan lokal masyarakat khususnya yang bermukim di pinggiran danau Poso yang berhubungan dengan hasil analisis ilmiah dari berbagai disiplin ilmu.
Ekspedisi Poso dilakukan untuk memperkuat mitigasi bencana paska bencana dahsyat gempa bumi yang disusul tsunami, likuifaksi di Palu, Sigi dan Donggala serta berdampak sampai ke Parigi Moutong. Data Pusgen menunjukkan dari 48 sesar aktif yang melintang di sulawesi tengah. Di Kabupaten Poso terdapat 3 sesar yakni Sesar Tokararu, Sesar Poso dan Sesar Poso Barat . Beberapa gempa besar terjadi kurun 5 tahun terakhir, menunjukkan patahan ini aktif. Yang terakhir gempa berkekuatan 5,7 SR pada 24 Maret 2019 lalu yang sumbernya dari sesar Poso Barat disekitar desa Toinasa. Selanjutnya gempa-gempa lebih kecil terus terjadi hingga saat ini terutama di desa Pendolo, Owini dan Taipa, semuanya ada di kecamatan Pamona Selatan dan Pamona Barat.
Menemukan pemahaman baru tentang peristiwa alam, baik dari hasil penelitian di lapangan serta saling berbagi pengetahuan menjadi salah satu sebab mengapa perjalanan ini penting dilakukan.
“Sangat penting bagi setiap warga dan pemerintah desa untuk menyadari bahwa mereka hidup di garis patahan” Reza Permadi , dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia yang juga mengikuti perjalanan ekspedisi. Menurut Reza, kesadaran tentang hidup di atas patahan harus disertai dengan kemauan untuk mendorong kebijakan yang yang bersahabat dengan alam.
Beberapa akademisi yang ikut dalam ekspedisi ini antara lain Abang Mansyursyah Surya Nugraha Ph.D, kepala progrgam studi Geologi Universitas Pertamina Jakarta, Dr Herry Yogaswara ( Kepala Litbang Kependudukan LIPI), Dr Burhanudin (Ikatan ahli Geologi Indonesia), Dr Asyer Tandampai (teolog, STT GKST), Dr. Tirza Meria Gunda ( akademisi Universitas Sintuwu Maroso), Dr Ita Mowidu (akademisi Universitas Sintuwu Maroso Poso), Neni Muhidin (pegiat literasi bencana), Iksam Djorimi (arkeolog, wakil kepala museum Sulteng), Drs Abdullah MT (akademisi Universitas Tadulako), Reza Permadi (Ketua Geosaintis Muda Indonesia, Pendiri Geowisata), Neneng Susilawati (peneliti), Resti Samyati (Palaentologist, Universitas Pertamina), Rahman Hakim (Ikatan Ahli Geologi Indonesia).
“Hasil penelusuran tim ekspedisi Poso dalam bentuk dokumen akan diserahkan kepada Pemda Poso , pemerintah desa termasuk masyarakat umum untuk bisa digunakan dalam perencanaan dan pengawasan pembangunan” pungkas Lian.