John dan Metafora Bumi

0
2183
John Ario Katili (9 Juni 1929–19 Juni 2008), Bapak Geologi Indonesia. Foto Ilustrasi dari : Salny Setyadi / Beritagar.id

John Ario Katili adalah gabungan sastra dan geologi. Dua hal itu menubuh dalam kegemarannya sedari kecil pada observasi dan metafora yang disediakan bumi. Di antara dua keilmuan itu, sesuatu telah ikut membentuk dirinya secara empiris: Sulawesi.

Gunung Colo, Teluk Tomini, Danau di Tentena, Sungai Poso, dan bebatuan di sepanjang sungai, yang dilihatnya kala kanak-kanak telah menimbulkan tanya tiada bertepi. Rasa ingin tahu yang tak mau diam itu telah membentuk dirinya. Bertumbuh serupa gerak bumi–hal yang dia pelajari dan diperkenalkannya sebagai lempeng tektonik.

John lahir di Kampung Bugis, Gorontalo, pada 9 Juni 1929. Bungsu dari delapan bersaudara itu tumbuh di tengah keluarga yang menyeimbangkan Islam dan ilmu pengetahuan. Nama depannya hampir jadi “Charles”. Lantaran ayahnya, Abdullah Katili, mengingat Charles Dickens, sastrawan besar Inggris.

Abdullah akhirnya pilih “John” sebagai nama Si Bungsu. Merujuk kepada John Paul Jones yang pelaut dan John Weissmuller yang perenang. Sedangkan Ario dalam budaya Jawa bermakna “orang besar”.

Poso, Sulawesi Tengah, jadi rumah kedua yang membentuk pengalaman geologis John.

Saat duduk di bangku sekolah dasar Belanda, Christelijke School, dia ikut ayahnya yang dipindahtugaskan ke Poso sebagai surveyor pekerjaan umum untuk pembangunan infrastruktur Hindia Belanda. Masih di sekolah dasar, kelas 5, John mulai membaca majalah politik Nationale Commentarenpunya Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi, Gubernur Selebes pertama tahun 1945.

Tomohon di Sulawesi Utara, 30 kilometer dari Manado, adalah rumah ketiganya saat Jepang sudah menancap kuku di Nusantara. John bersekolah di Chugakko yang setingkat smp dengan pendidikan a la militer.

Sekolah itu mempertemukannya dengan Galib Lasahido, yang di kemudian hari menjabat sebagai gubernur ke-7 Sulawesi Tengah (1981-1986). Pernah suatu waktu, pada 1973, John mengunjungi Palu. Jabatan barunya saat itu strategis karena mengepalai Direktorat Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi. Di kesempatan itulah John menyampaikan kesamaan antara Sesar San Andreas di California, Amerika Serikat, dengan Sesar Palukoro yang membelah dari utara sejak Selat Makassar, Lembah Kaili, dan hingga ke Teluk Bone.

Baca Juga :  Berteologi Kontekstual Pembebasan dalam Kemiskinan

Sesar yang diakuinya telah lebih dulu diberi nama “Fossa Sarasina” oleh Sarasin bersaudara, Fritz dan Paul. Duet yang mencatat fenomena geologis Sulawesi di awal era 1900-an, sezaman dengan geolog Belanda, Eduard Cornelis Abendanon.

Medio 1970-an hingga 1980-an merupakan era kematangan intelektualitas bagi John. Di masa itulah tulisan-tulisan ilmiahnya terbit di banyak jurnal internasional dan artikel-artikel populer di harian-harian nasional yang terbit dalam rentang waktu yang rapat.

Bibliografi tentang geologi yang ditulis John merentang panjang, selama 54 tahun jejak kepenulisannya.

John menulis artikel geologi saat usianya baru 22 tahun. “Indonesia Eldorado Geologi”, artikel pertamanya, terbit di Mimbar Indonesia, Desember 1951.

Tiga tahun sebelum berpulang pada 19 Juni 2008, dia masih sempat menerbitkan, “Monitoring, Mitigation, and Forecasting of Earthquakes in Moslem Countries”. Itu makalah terakhir yang dia presentasikan dalam kongres internasional World Islamic Academy of Science di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2005.

Gairah yang besar sebagai penulis ilmiah di era 70-an bersanding pula dengan karier John di birokrasi.

Setelah mengepalai direktorat Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan dan Energi, John berpindah ke direktorat lain di departemen yang sama sebagai Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral hingga tahun 1984.

Setahun sebelum mengakhiri jabatannya pada 1984, Gunung Colo yang pernah dia kunjungi semasa kecil meletus hebat pada pukul 16.23 WITA, 23 Juli 1983. Abu vulkanik dari letusan gunung yang artinya korek api itu terbang sampai ke Palu dan Kalimantan.

Kisah letusan Gunung Colo, Pulau Una-una, di jantung Teluk Tomini, telah memberi catatan baik tentang praktik mitigasi. Saat Gunung Colo sudah mulai batuk dan tremor, warga di pulau itu segera dievakuasi. John berada di balik keputusan itu.

Geologi dan sumber daya alam, bagi John, serupa dua sisi di sekeping koin. Namun, dia tak ingin sekadar hadir dalam dua sisi itu. Misal, hanya menulis sisi geologi yang lain: bencana alam. Atau menulis ensiklopedia gunung-gunung berapi dan patahan aktif yang memicu gempa bumi di Indonesia.

Baca Juga :  Jejak Persebaran Austronesia Hingga Bukti Pandemi Di Masa Lalu

John punya caranya sendiri. Dua hal dalam fakta kebumian itu dihimpun dalam buku yang diterbitkan oleh direktorat tempat dia bekerja pada Maret 1986, berjudul Laksana Beraraknya Mega.

Judul yang sastrawi itu terinspirasi dari Al-Quran Surat An-Naml ayat 89, “Dan kamu memandang gunung-gunung itu, kamu sangka dia tidak bergerak, padahal dia berlalu laksana beraraknya mega.”

Untuk fondasi keilmuan, John, bersama seniornya, Peter Marks, menyusun buku berjudul Geologi pada tahun 1963. Buku seberat tiga kilogram dan 855 halaman itu telah menjadi buku babon ilmu geologi.

Medio 1970-an, John juga pernah kasih saran pembentukan Badan Kerja Nasional Gempa Bumi. Dia juga menyebut daerah macam Sumatra dan Sulawesi harus mendapat perhatian khusus.

Saran itu tak berlebihan. Satu bukti bisa dilihat lewat data USGS (United States Geological Survey). Antara 17 Agustus 1945-29 April 2019, USGS mencatat 111 kali gempa berkekuatan di atas M6 di Sulawesi dan sekitarnya.

Termasuk gempa dahsyat yang terjadi pada 28 September 2018 yang berdampak di Palu dan sekitarnya. Gempa disertai tsunami dan likuefaksi itu mengakibatkan 4.340 jiwa melayang. Lindu berkekuatan M7,5 itu bersumber dari Palukoro, patahan yang juga kerap menyita perhatian John.

Betapapun John masyhur di bidang geologi, tapi cinta pertamanya kepada ilmu jatuh pada sastra.

Nilai Bahasa Indonesia di surat tanda lulus dari Algemeene Middelbare School (AMS) Makassar –setingkat SMA–adalah yang tertinggi dari seluruh nilai mata pelajarannya.

Setelah lulus SMA, John ke Jakarta dan bertemu senior yang sekampung dengannya, Hans Bague Jassin. Kakak tertua John, Abdul Gani adalah sastrawan dan berkawan dengan Jassin. Dari paus sastra Indonesia itu, John memamah karya-karya sastra dan filsafat Eropa.

Tak heran jika dalam beberapa tulisannya tentang geologi, John mengutip kalimat-kalimat kunci dari karya-karya sastrawan dan filsuf ternama.

Dalam makalah, “Bencana Alam dan Peramalan Geofisika”, yang dibacakannya dalam sidang senat terbuka Institut Teknologi Bandung (ITB), Agustus 1979, John mengutip Novum Organum yang ditulis Francis Bacon, filsuf dan sastrawan Inggris, pada 1620.

Baca Juga :  Sagu di Poso Makin Tergusur, Padahal Mo Dui Sangat Populer

Nature to be commanded must be obeyed,” demikian kutipannya. Jika ingin menguasai alam kita harus mematuhi hukum-hukumnya.

John sudah mempraktikkan apa yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam roman Bumi Manusia, pada akhir dasawarsa 70an. “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” Pergumulan John dengan ilmu pengetahuan akhirnya berhenti di geologi, meski di saat yang sama, John mengirim esai-esai budayanya untuk Jassin dan mendapatkan honor untuk menambah biaya hidupnya sebagai mahasiswa.

Menolak beasiswa untuk geodesi, John memilih geologi dan jadi sarjana pertama Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam (FIPIA)–sekarang ITB–pada November 1956. Di tahun yang sama John diterima bekerja sebagai asisten dosen.

Sedari itu, gerak John ke puncak-puncak ilmu telah membawanya hingga ke banyak perguruan tinggi baik di dalam maupun luar negeri.

Pun, kariernya bergerak. Selain sejumlah jabatan birokrasi, ia pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Federasi Rusia, Kazakkhstan, Turkemenistan dan Mongolia dari tahun 1999-2003.

John Ario Katili sudah berpulang. Namun pemikiran bapak geologi Indonesia itu terus bergerak serupa teori lempeng tektonik yang diperkenalkannya.

Andai masih hidup, mungkin dia akan membaca kembali tulisannya, “Past and Present Geotectonic Position of Sulawesi”, yang terbit di jurnal internasional Tectonophysics, Amsterdam, Belanda (1978).

Di paragraf akhir, dia menutup tulisannya, “At present the island of Sulawesi is undergoing a process of fragmentation as can be deduced from the active lateral movement along the Gorontalo, Palu-Koro, Matano, and Sorong faults.”

Terjemahan bebasnya, “Saat ini pulau Sulawesi berada dalam proses fragmentasi yang itu dihasilkan dari aktifnya pergerakan sepanjang Patahan Gorontalo, Palu-Koro, Matano, dan Sorong.”

Semoga kita bisa memahami metafora serta kata kunci yang John kasih 42 tahun lalu. Fragmentasi!

Catatan Redaksi : Artikel sudah pernah dimuat di beritagar dengan judul yang sama , Selasa, 7 Mei 2019 oleh Neni Muhidin

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda