Festival Tradisi Kehidupan di Peura : Mengingat dan Menjaga Tradisi orang Desa

0
1180
Memasak kue ubi , kue tradisional di desa-desa. Dok. Mosintuwu

“Mombetirinai ini bukan adat istiadat yang harus ditonjolkan. Tapi ini adalah etika perilaku hidup sehari-hari yang muncul dari dalam diri kita sendiri”(Lintu Bintiri/Pomatua Ada desa Panjo)

Hari Kamis 8 Juni 2023 lalu, para pemerhati adat dan budaya didukung pemerintah dan lembaga adat desa Peura kecamatan Pamona Puselemba menyelenggarakan sebuah acara yang diberi nama Gawe Ada Ngkatuwu (Festival Tradisi Kehidupan). 115 orang pemuka adat atau Pomatua Ada dari desa-desa di kabupaten Poso hadir. Festival ini memang lahir dari kegelisahan sejumlah pemangku adat di desa-desa di sekitar Danau Poso yang melihat terancamnya kelangsungan tradisi budaya suku Pamona. Semakin sedikit generasi muda menggunakan bahasa ibu dalam percakapan sehari-hari.

Kondisi ini mengkhawatirkan para tetua adat di kabupaten Poso. Ketua Dewan Adat Kelurahan Pamona, Cristian Bontinge mengatakan, hilangnya bahasa Pamona punya akibat yang panjang. pertama rusaknya hubungan sosial antar manusia dan antar generasi dikarenakan tata krama tidak lagi terjaga; kedua rusaknya hubungan antara manusia dengan alam dalam bentuk bencana dikarenakan tidak terpeliharanya lingkungan hidup karena penguasaan ulayat hidup masyarakat dieksploitasi; ketiga, berkurangnya kualitas hidup masyarakat Pamona dikarenakan hubungan antar manusia dan hubungan dengan alam rusak.

DISKUSI - Para pomatua adat dari berbagai desa berdiskusi mengenai konsep Adat Pombetirinai dan bentuk-bentuknya sebagai bagian dari upaya untuk menjaga tradisi kearifan lokal. Foto : Dok.Mosintuwu / Ray
DISKUSI – Para pomatua adat dari berbagai desa berdiskusi mengenai konsep Adat Pombetirinai dan bentuk-bentuknya sebagai bagian dari upaya untuk menjaga tradisi kearifan lokal. Foto : Dok.Mosintuwu / Ray

“Seluruh akibat ini akan berakhir pada hilangnya identitas orang Pamona, saya selalu mengatakan ini kepada siapapun”kata Cristian Bontinge. Dia kerap mengutip kalimat populer yang menyebut, jika ingin menguasai sebuah wilayah, hancurkan dulu budayanya. Inilah salah satu alasan yang menguatkan dia dan para Pomatua Ada berjuang menguatkan peran adat di komunitas.

Kekhawatiran ini dikonfirmasi oleh hasil penelitian lembaga bahasa yang menempatkan bahasa Pamona sedang mengalami kemunduran karena semakin ditinggalkan penuturnya. Hilangnya bahasa ibu jadi awal mula hilangnya segala tradisi kehidupan yang sudah diwariskan turun temurun.

Ancaman punahnya suku Pamona yang dimulai dengan berkurangnya penutur bahasa sudah lama menjadi satu pokok kegelisahan para Pomatua Ada di kabupaten Poso. Dalam diskusi yang diberi nama Mampasimbaju Ada Ngkatuwu (membincangkan tradisi kehidupan) yang diorganisir oleh Aliansi Penjaga Danau Poso (APDP), didukung oleh Institut Mosintuwu pada bulan November 2022 lalu ada 4 rekomendasi topik yang penting dibicarakan. Pertama, topik Pombepotowe, Pombepatuwu, Pombetirinai, dan Pombetubunaka; kedua penulisan buku Poso tentang Ada mPorongo (pernikahan) Ada mPojamaa (tradisi pertanian), Ada mPoagama (agama), Ada Pombetirinai (saling menghargai) dan Ada mPotaumate (kematian); ketiga , melakukan Kajian Teologi dan Adat bersama STT GKST terkait tema poWowurake (tabib); keempat, Temu Bersama Pomatua Ada yang disertai dengan aktivitas kebudayaan bersama dengan masyarakat desa.

Baca Juga :  Kaleidoskop Keamanan Poso 2021 : Ali Kalora Mati, Operasi Keamanan Masih Diperpanjang

Menindaklanjuti rekomendasi pertama dan keempat inilah, APDP dan Institut Mosintuwu bekerjasama dengan masyarakat Desa Peura menjadikan Festival Tradisi Kehidupan sebagai ruang bertemu, menggali dan merayakan tradisi kehidupan masyarakat Poso khususnya Pamona. Selain diskusi, ada beberapa tradisi kehidupan sehari-hari yang dimunculkan oleh masyarakat setempat.

Di forum Mompasimbaju atau diskusi adat dan tradisi, 102 orang Pomatua Ada dari 48 desa di Kabupaten Poso duduk serius sejak pukul 08:00 wita hingga 17:00 wita. Selama 9 jam diskusi itu membahas konsep Mombetirinai. Mulai dari pengertian sampai bagaimana melaksanakannnya ditengah masyarakat Poso.

Mampasimbaju Ada Ngkatuwu dengan topik Ada Pombetirinai dalam kegiatan Festival Tradisi Kehidupan di Peura, 8 Juni 2023. Foto : Dok. Mosintuwu

Iin Hokey dari APDP menjelaskan tiga tujuan pertemuan para tetua adat itu, pertama terbangunnya jaringan antar pomatua ada. Kedua ada forum berbagi informasi pengetahuan dan pengalaman tentang adat.  Ketiga menyusun draft dokumen adat pombetirinai dan sudah ada di kepala tapi belum tertulis untuk menjadi dokumen tertulis.

Karena Mombetirinai ini masih baru, banyak peserta yang menanyakan maknanya. Karena itu W.I. Sigilipu, salah seorang budayawan Poso menjelaskannya, “Berasal dari kata dasar Tina(ibu). Bagaimana hidup saling membantu sesama tanpa pamrih,tanpa memandang suku, agama dan ras, dimulai dari keluarga lalu ke lingkungan sekitar kita. Tindakan itu dilakukan tanpa diminta, melainkan karena memang kesadaran sendiri”.

Pendapat lain tentang Pombetirinai disampaikan Y. Sumboli, tetua adat desa Masani kecamatan Poso Pesisir. “Berasal dari kata dasar Tirinai, saling memperdulikan. Artinya kita saling peduli, sesama manusia dan alam”jelasnya. Dalam pandangannya, tradisi saling peduli ini menjadi dasar hidup yang menguatkan kekerabatan masyarakat Pamona meskipun tidak sedarah.

Baca Juga :  Tiga Band Poso Luncurkan Album "Ingatan tentang Alam"

Lintu Bintiri, tetua adat desa Panjo kecamatan Pamona Selatan memberi makna Pombetirinai sebagai landasan pikiran dan perilaku sehari-hari yang muncul dari dalam diri kita. “Mombetirinai ini bukan adat istiadat yang harus ditonjolkan. Tapi ini adalah etika perilaku sehari-hari yang muncul dari dalam diri sendiri”jelasnya tentang makna Mombetirinai.

“Sebenarnya ini tanpa sadar sudah kita lakukan”sambung seorang peserta dari Poso Pesisir. Menurutnya, Mombetirinai masih hidup ditengah masyarakat Poso, hanya saja memang sudah mulai berkurang. Sebagai contoh, jika ada yang meninggal dunia, orang-orang di kampung akan datang membantu keluarga yang berduka mempersiapkan pemakaman hingga menghiburnya.

Para pomatua ada mengakui saat ini ruang Mombetirinai semakin mengecil, misalnya hanya pada peristiwa kedukaan atau perayaan pesta. Sementara pada soal-soal yang lain misalnya membantu kesulitan ekonomi atau bersolidaritas pada kesusahan tetangga sudah semakin berkurang. Kebutuhan ekonomi yang mendesak pada semua keluarga, teknologi dan informasi yang mengajarkan cara hidup modern yang individualis juga berkembang.

BERMAIN - Anak-anak di Desa Peura merayakan festival tradisi dengan bermain mainan tradisional yang sudah langka dimainkan sejak masuknya permainan modern. Foto : Dok.Mosintuwu / Ray
BERMAIN – Anak-anak di Desa Peura merayakan festival tradisi dengan bermain mainan tradisional yang sudah langka dimainkan sejak masuknya permainan modern. Foto : Dok.Mosintuwu / Ray

Festival Milik Warga Desa

Bukan hanya keseriusan dan perdebatan di Mompasimbaju. Festival Tradisi Kehidupan juga mengangkat kembali tradisi hidup sehari-hari orang Peura, terutama soal permainan tradisional dan pangannya.

Pagi hari, anak-anak menggunakan siga dan tali bonto simbol adat Pamona memenuhi lapangan desa dan sekitarnya. Beberapa bermain congklang, lainnya bermain loko-loko dan gasing. Perpustakaan keliling yang dibuka oleh Perpustakaan Sophia dipenuhi anak-anak yang membaca dan mendengarkan dongeng, sementara yang lainnya menggambar sesuatu. Tidak ketinggalan mini museum yang dibuka khusus tim peneliti Institut Mosintuwu yang menghadirkan biota endemik dari sungai dan danau Poso, ramai oleh rasa penasaran anak-anak tentang biota di sekitar mereka.

Siang hari, aroma yang menarik perhatian dihadirkan di sudut lapangan. Ibu-ibu dari berbagai kelompok sedang memasak kuliner desa. Dange Ituwu, (tepung Sagu dipanggang dalam buluh), Wuriri rebus yang dimakan dengan cara menyeruput daging langsung dari cangkangnya, kedua jenis makanan ini masih jadi santapan sehari-hari di Peura.

Baca Juga :  Menjiwai Kedaulatan di Maskot Festival Mosintuwu
MENGENANG - Para Pomatua Adat secara spontan mempraktekkan tradisi menumbuk padi dengan alu dengan diiringi lagu Mosureme  dalam festival tradisi kehidupan di Peura. Foto : Dok. Mosintuwu / Basrul
MENGENANG – Para Pomatua Adat secara spontan mempraktekkan tradisi menumbuk padi dengan alu dengan diiringi lagu Mosureme dalam festival tradisi kehidupan di Peura. Foto : Dok. Mosintuwu / Basrul

Bukan hanya pengunjung yang sengaja datang ke festival yang ikut menikmatinya, di tengah diskusi seru para Pomatua Ada diajak ikut melihat kegiatan kuliner kampung ini. Beberapa menyempatkan diri menumbuk padi dengan menggunakan alu di lesung tua yang sengaja diangkat di tengah lapangan. Sambil menumbuk, para orang tua ini menceritakan masa kecil mereka di kebun bersama orang tua saat mengolah padi.

Mosureme kumembangu, Noncumo kudadu (Bangun pagi lesung yang kutuju)

Napokau ine yaku,  Siko siko daronga membangu (Ibu menyuruhku bangun lebih pagi)

Mosureme kemembangu,  Noncumo kudadu (Bangun pagi lesung kutuju)

Suasana di sekeliling lesung berubah ramai ketika seorang Pomatua Ada mengangkat lagu lama dalam bahasa Pamona yang menceritakan tentang bangun pagi dan menumbuk padi . Semunya ikut menyanyikannya. Rupanya ini adalah lagu kenangan tradisi pangan di desa.

Molimbu di Desa Peura dalam Festival Tradisi Kehidupan, yang diorganisir oleh warga Desa Peura bekerjasama dengan APDP dan Institut Mosintuwu. Foto : Dok. Mosintuwu

Malam harinya, baruga desa dipenuhi warga untuk Molimbu atau makan bersama, sebuah tradisi masyarakat berbagi masyarakat di desa-desa di Poso yang masih hidup sampai hari ini. Sayangnya hanya tinggal di beberapa desa saja yang masih sering melakukannya.

Saat Molimbu, setiap keluarga dengan anak-anaknya membawa makanan dan minuman ke Baruga, lengkap dengan tikar yang dipakai untuk alas. Tradisi ini membuat hubungan sesama warga desa menjadi lebih hangat. Segala hal dibicarakan disini sambil makan. Tidak ada yang merasa inferior karena khawatir makanan yang dibawanya tidak sebaik tetangga. Sebab saat tiba waktu makan, semua berbagi, makanan terdistribusi merata.

Dero, tradisi tarian tradisional dibawakan bersama dalam Festival Tradisi Kehidupan di Desa Peura. Foto : Dok.Mosintuwu

Ledoni, cerita rakyat yang dilagukan mengiringi nikmatnya nasi dan daging ayam dengan rempah-rempah yang dimasak sempurna didalam bambu. Dan seperti biasanya jika di Poso, setelah makan kita tidak langsung pulang. Ada percakapan hangat tentang segala sesuatu sambil menunggu gong dan gendang di pukul, tanda Dero sudah dimulai.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda