Gawe Ada Ngkatuwu: Menggali, Menjaga, Merayakan Tradisi Suku Bangsa Pamona

0
861
TANPA PLASTIK – Gadis Desa Peura menuangkan air minum dari bambu pada jamuan molimbu pada Festival Tradisi Kehidupan di Desa Peura, Poso, Kamis 8 juni 2023. Foto : Dok.Yardin

SUASANA tenang Desa Peura Kecamatan Pamona Puselemba – Poso, tiba-tiba terlihat hidup. Kehidupan di desa yang berjarak 12 kilometer dari Kota Tentena terlihat menggeliat di sana-sini. Tua, muda, dewasa dan anak-anak terlihat begitu bergairah. Di Banua Mpogombo sejak sore hari berkerumun para tetua dalam balutan busana adat Pamona. Perempuannya dengan busana yang sama, lalu lalang mengantar penganan persiapan hajatan yang dihelat sesaat lagi. Di tugu desa,  lengkap dengan aksesoris ndatu’u, (ikat kepala adat) anak-anak belasan tahun bergerombol. Mereka mengitari meja berukuran sedang. Tetamu desa yang datang identitasnya dicatat. Sesaat kemudian diantar menuju kandepe mposambengi alias tempat penginapan.

Malam itu, Kamis 7 Juni 2023, di Desa Peura sedang berlangsung persiapan menyambut Gawe Ada Ngkatuwu,  hajatan yang berarti merayakan tradisi warga di desa. Hajatan ini diberi titel, Festival Tradisi Kehidupan 2023. Bagi warga Peura, setiap hari adalah penting. Rutinitas kehidupan yang padat tidak boleh dilupakan. Bagi mereka, setiap peristiwa hidup yang bergulir di atas titian waktu tetaplah bermakna. Karena itu, ia perlu dirayakan. Maka, mereka pun meluangkan waktu sehari penuh pada 8 Juni itu, untuk merayakan hari-hari mereka. Festival Tradisi Kehidupan yang berlangsung sehari itu digerakkan oleh warga setempat. Didukung penuh oleh Institut Mosintuwu dan Aliansi Penjaga Danau Poso (APDP).

Seharian penuh, festival ini diisi dengan pertunjukan yang melibatkan warga serta anak-anak di Desa Peura. Anak-anak memainkan permainan tradisional gasing dan congklak. Cuaca terik yang menghunjam di atas rumput lapang tak lagi dihiraukan. Mereka larut dalam permainan yang mengasyikan. Sekumpulan anak lainnya, menyimak legenda desa melalui molaolita alias mendongeng. Remajanya juga tak kalah sigap. Semua mengambil perannya masing-masing.

Sedangkan warga dewasa dan para tetua adat, seharian penuh khusuk di Banua Mpogombo Desa Peura. Mereka terlibat dalam diskusi yang sangat serius. Membincang kebiasaan-kebiasaan lama yang nyaris hilang dalam keseharian warga Pamona. Pertemuan Mapasimbaju Ada Ngkatuwu kali ini adalah lanjutan pertemuan sebelumnya di Dodoha. Pada pertemuan yang berlangsung 10 November 2022 silam itu, para tetua ada se-Kabupaten Poso, berkumpul dan berhasil mengidentifikasi setidaknya lima tema yang harus dimunculkan dan dibiasakan kembali.

Mampasimbaju Ada Ngkatuwu dengan topik Ada Pombetirinai dalam kegiatan Festival Tradisi Kehidupan di Peura, 8 Juni 2023. Foto : Dok. Mosintuwu

Lima tema itu adalah kebiasaan yang nyaris hilang dari kehidupan warga di zaman gadget ini. Antara lain, Ada Mporongo (tradisi perkawinan), Ada Mpojamaa (tradisi bertani), Ada Mpoagama (tradisi penyembahan), Ada Mpombetirinai (relasi sosial/keluarga) dan Ada Motaumate (tradisi kematian atau tradisi mencari tulang belulang). Kelimanya adalah kearifan lokal Tana Poso dalam mengelola kehidupan antar manusia dengan alam. Menggali dan membiasakan kembali tradisi lama ini adalah untuk mendorong kebijakan berbasis kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan dan budaya.

Baca Juga :  Kerja Kolaborasi Anak Muda Poso Merawat Toleransi, Budaya, Lingkungan

Namun pertemuan Ada Ngkatuwu kali ini, hanya membahas salah satunya. Yakni, Ada Mpombetirinai (relasi sosial). Dihadiri 115 tetua adat yang berasal dari 46 desa, Ada Mpombetirinai dibahas oleh tujuh kelompok dengan lima pertanyaan mendasar. Setiap kelompok membahas satu pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain, bagaimana memahami Ada Mpombetirinai. Kemudian, bagaimana wujud atau bentuk Ada Mpombetirinai itu sendiri. Pertanyaan ketiga, bagaimana pelaksanaan Ada Mpombetirinai termasuk apa yang sedang terjadi sekarang. Serta pertanyaan keempat apa yang perlu dilakukan untuk mewujudkannya termasuk siapa yang akan melakukannya. Pertanyaan terakhir yang harus didiskusikan adalah langkah-langkah apa yang perlu dilakukan. Hasil pembahasan masing-masing kelompok didiskusikan lagi dalam gabungan kelompok untuk mendapatkan masukan-masukan kritis dari kelompok lainnya.

Mampasimbaju Ada Ngkatuwu dengan topik Ada Pombetirinai dalam kegiatan Festival Tradisi Kehidupan di Peura, 8 Juni 2023. Foto : Dok. Mosintuwu

Pengarah diskusi yang juga Ketua Institut Mosintuwu Lian Gogali mengaku, para tetua adat yang terlibat dalam diskusi Ada Mpombetirinai kali ini, untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang adat dalam relasi sosial tempo dulu. Hasil dari diskusi akan dibuat dalam dokumen. Namanya dokumen Ada Mpombetirinai. Dokumen hidup ini akan terus disempurnakan sebelum dibukukan. Kelak dari buku Ada Mpombetirinai inilah warga Tanah Poso bisa membaca, mengetahui dan memahami serta membiasakannya dalam perilaku keseharian. Selain itu tambah Lian, dokumen ini kelak bisa menjadi contoh nyata bagi Balai Pelestarian Budaya wilayah XVIII Sulawesi Tengah.

Gawe Ada Ngkatuwu atau Festival Tradisi Kehidupan kali ini tak hanya mengangkat kayori, moende, molaolita, mobolingoni. Tapi juga menemukan lagu lama yang hilang sejak lama. Dalam usianya yang nyaris menyentuh seabad, sekaligus peserta tertua Ngkai Bintiri (84) menuliskan lagu lawas Suku Pamona yang tak lagi dinyanyikan oleh warga Poso saat ini. Bahkan lagu tersebut lenyap dari memori kolektif warga Pamona. Judulnya, Ntongonyapa Ri Pamona. Sebagai satu-satunya orang yang paham nada dan lirik lagu, Bintiri mengeja liriknya. Sedangkan rekannya Martina Labatu (60) tokoh adat asal Saojo bertugas menuliskannya.

Tak sampai 40 menit, lirik lagu sudah tertulis rapi di atas kertas karton. Tugas berikutnya, Ngkai Bintiri mengajarkan nadanya. Sedangkan tokoh APDP Wuri Yombu dan seniman karambangan Pamona, Nardi Banggai terpantau melafalkan notasi sesuai nada yang mengalun dari Nngkai Bintiri. Begitulah para tetua ini. Mereka tak kehabisan energi mengulik banyak hal soal budaya Pamona. Sesaat kemudian seratusan tetua adat berdiri merapat – maka mengalunlah lagu Ntongonyapa Ri Pamona lengkap dengan harmoni suara, tenor, sopran dan mesosoprannya. Menurut Lian, lagu ini juga akan masuk dalam dokumen yang dibukukan sebagai temuan baru yang memperkaya khasanah budaya Pamona. Menurut Ngkai Bintiri lagu ini diajarkan oleh gurunya saat ia duduk di bangku sekolah rakyat di zaman kolonial Belanda. Seiring perjalanan waktu, lagu sarat nilai itu hilang dan tidak pernah terdengar lagi. Lagu itu mengisahkan tentang relasi sosial suku yang mayoritas berdiam di sekitar Danau Purba Poso itu.

Baca Juga :  Teror dan Politik Ingatan

Dipengujung diskusi disepakati rencana tindak lanjut dari diskusi ini. Para tetua adat masih punya utang empat isu penting yang dibahas pada pertemuan berikutnya.  Pada pertemuan berikutnya, cukup satu tema dulu yang dibahas.  Yakni  Ada Mpojamaah atau tata cara bercocok tanam. Lian menjanjikan pertemuan selanjutnya, masih akan diselenggarakan di sekitar Pamona. ”Soal tempatnya kita akan berkabar lagi,” katanya menjanjikan.

Usai membahas Ada Mpombetirinai yang menyita waktu nyaris sembilan jam, masih di Banua Mpogombo, di sela menanti jamuan molimbu atau makan bersama, para tokoh bersahut-sahutan dalam lirik kayori alias berpantun yang dilanjutkan dengan mobolingoni (bersyair). Usai melahap kuliner racikan koki kampung hajatan sehari penuh ini diakhiri acara wajib, Moende atau tarian dero.

Desa Peura dari atas . Foto : Dok. Mosintuwu/Ray Rarea

SEKILAS TENTANG DESA PEURA

Desa Peura sebagai tuan rumah Festival Tradisi Kehidupan yang pertama, bukan tanpa alasan. Selain jejak sejarahnya yang panjang, desa yang dihuni 1.103 jiwa dari 338 kepala keluarga ini, mempunyai cerita perlawanan terhadap korporasi. Warga di desa ini tercatat pernah melakukan perlawanan sengit menolak pembangunan saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet). Berhari-hari mengelar demo walau akhirnya perlawanan itu tetap menempatkan pemodal dengan beking kekuasaan sebagai pemenang akhir.

Pembukaan Festival Tradisi Kehidupan di Banua Mpogombo malam itu, warga disuguhi dua film pendek. Film tentang sejarah Desa Peura. Film kedua adalah kehidupan keseharian warga di desa itu. Pemutaran film itu adalah untuk internalisasi sejarah desa Peura kepada masyarakat terutama generasi muda agar tidak melupakan akar dan sejarah desanya.

Baca Juga :  Anak Muda Adat Poso : Tolak Nama Yondo mPamona di Jembatan Poso Energy

Desa dengan luas 5.200 hektar itu merupakan salah satu desa dari sebelas desa yang ada di Kecamatan Pamona Puselemba, Poso. Menurut sejarahnya terbentuknya desa Peura awalnya merupakan kumpulan masyarakat dari beberapa pemukiman orang-orang tua dahulu. Seperti Towale, Sawi Meode, Tandobone, Sawirapati, Kaenggi-enggi dan Sapa.

Masyarakat dari beberapa pemukiman tersebut kemudian menetap pada dua tempat yang dipisahkan oleh sebuah sungai disebelah timur di sebut Sawirapati dan disebelah Barat di pinggiran danau Poso disebut Ka’enggi-enggi dan pada waktu itu masih sering terjadi perang antar anak suku. Pada suatu ketika kedua pemukiman tersebut di serang oleh suku Lage akan tetapi dapat dikalahkan. Akibat serangan tersebut tokoh-tokoh dari pemukiman Sawirapati dan pemukiman Ka’Enggi-enggi berunding.

Dari perundingan tersebut disepakati untuk menyatukan tempat pemukiman. Pergeseran kedua tempat tersebut dikenal dengan nama Meuranaka yang berarti bergeser. Kemudian dari istilah Meura ini dipakai sebagai nama tempat pemukiman baru tersebut. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 18 Oktober 1898. Setelah hadirnya pemerintah Hindia Belanda maka istilah Meura menjadi Peura. Nama tersebut kemudian menjadi nama desa sampai sekarang. Selanjutnya tahun 1960 Peura menjadi nama definitif serta dikuatkan melalui terbitnya peraturan pemerintah nomor 05 tahun 1979.

Suasana festival ketika para pomatua adat mengenang penggunaan alu untuk menumbuk padi sambil bernyanyi. Foto : Dok.Mosintuwu
Suasana festival ketika para pomatua adat mengenang penggunaan alu untuk menumbuk padi sambil bernyanyi. Foto : Dok.Mosintuwu

Melihat sejarahnya yang panjang, maka gelaran Ada Gawe Ada Ngkatuwu yang mempertemukan para Pomatua Ada (tetua adat) dari desa-desa di Kabupaten Poso, menjadi sangat relevan. Ada Gawe Ada Ngkatuwu seperti yang dikemukakan Iin Hokkey dari Institut Mosintuwu adalah ruang bertemu, menggali dan merayakan tradisi kehidupan Suku Pamona. Forum ini menurut dia adalah mendiskusikan bagaimana menjaga dan memelihara keberlanjutan tradisi kebudayaan dalam sebuah forum bersama.

Tokoh APDP Yuri Wumbu menjelaskan, hajatan Gawe Ada Ngkatuwu, adalah ikhtiar yang terus digalakkan untuk menjaga dan memelihara warisan budaya Suku Bangsa Pamona. Madzhab pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan, cenderungmengekstrak sumber daya alam tanpa ampun. Dalam banyak kejadian madzhab yang dianut negara berkembang seperti Indonesia – kerap menerabas batas-batas sakral kebudayaan secara sporadis. Mestinya ini tidak boleh terjadi. Negara jangan terlalu terobsesi membangun raga tapi tidak membangun jiwa. Itu adalah kegagalan.**

Catatan Redaksi : Tulisan ini adalah republikasi dari roemahkata.com

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda