Busung Lapar Sejarah di Poso

0
2856
Dua orang anak yang biasanya bermain di jembatan Pamona, menyaksikan pembongkaran jembatan oleh warga atas perintah Bupati berdasarkan MoU dengan PT Poso Energy. Foto : Dok. Aliansi Penjaga Danau Poso

Ungkapan;  ‘Poso adalah  surganya Heritage’,  sepertinya bukanlah sesuatu yang berlebihan.  Kota Poso dengan sejarahnya yang panjang  telah mewariskan  begitu banyak  tinggalan serta tradisi-tradisi budaya yang disebut sebagai warisan / heritage. Sayangnya, saat ini warisan-warisan yang tak ternilai harganya itu terancam keberadaannya. Berita tentang rencana dan terjadinya pemusnahan  tempat-tempat  bersejarah , menjadi tanda  bahwa pemerintah Poso sedang mengidap fenomena ahistoris.

Mengatasnamakan  investasi dan pembangunan,  saat ini  terjadi pemusnahan tinggalan sejarah dan budaya  serta pengubahan  alur alam yang ada di Poso. Fenomena ahistoris tersebut dimaknai sebagai  suatu “Busung Lapar Sejarah”. Penyakit “Busung Lapar sejarah’  atau Honger Oedema memory.  Menurut sejarawan JJ. Rizal , busung lapar sejarah adalah  suatu kondisi  saat elite, yaitu orang yang punya kekuatan untuk membuat kebijakan, bersekutu dengan pemilik modal.

Elite  yang terpapar Honger Oedema memory  pun tersirat sebagai  personal   yang memiliki nasionalisme cupet atau sempit dan hidup tanpa wawasan sejarah dan budaya. Tinggalan sejarah, budaya atau heritage termasuk didalamnya  alur serta bentangan alam,  yang sejatinya harus dipertahankan, justru dimusnahkan guna memenuhi  ‘birahi’ elit dan  Pemilik modal.

JJ Rizal mengatakan bahwa ketika elit dan modal bersepakat maka tinggalan sejarah, budaya dan heritage akan terancam demi investasi .  Katanya “ Modal itu tak perlu histori, modal hanya tahu hari ini dan ke depan. Ia enggak perlu menjual masa lalu, ia hanya menjual mimpi”. Selanjutnya dalam wawancara di Tirto saat peristiwa pembiaran dan pembongkaran rumah-rumah bersejarah di wilayah Jakarta, JJ Rizal mengatakan politisi dan pejabat yang berpandangan dan bersikap ahistoris adalah mereka yang tidak punya wawasan.

Baca Juga :  VCO Desa Kilo : Selaraskan Alam dan Perdamaian Poso

“Politisi macam itu tak punya wawasan. Mereka zombie. Enggak punya jiwa. Prof Eko Budihardjo (arsitek dan rektor Universitas Diponegoro 1998-2006) pernah bilang bahwa masyarakat kota tak peduli dengan bangunan bersejarah. Nah, politisi kita itu bagian dari kelompok manusia tanpa jiwa “

Di Poso, Fenomena  ‘Busung Lapar Sejarah” para elite di Poso, bukanlah kali ini saja terjadi. Tahun 1978, diagnosa serupa juga tergambar saat pembongkaran Tugu Kemerdekaan yang diresmikan oleh Presiden Soekarno, 4 April 1952, di Bonesompe.  Walau penyakit itu  sempat mereda di tahun 2008 saat tugu tersebut direvitalisasi, tetapi beberapa tahun kemudian penyakit kronis itu kembali mengganas. Ini ditandai dengan ‘reduksi sejarah’  pada tugu peringatan kematian Reinder Fennema, seorang geologist yang tenggelam di Danau Poso. Tugu  kecil yang terletak di pintu  masuk kota Tentena ditutup dengan dua patung baru yang tidak diketahui apa maknanya, patung antah berantah.

Hal ini yang terjadi pada situs cagar budaya Watu mPangasa Angga yang terancam karena investasi yang mengatasnamakan penataan sungai. Yang paling anyar  adalah Pembongkaran Jembatan bersejarah Yondo mPamona serta rencana pengubahan alur alam danau Poso.

Baca Juga :  Sawah-sawah Tenggelam, Kerbau Mati: Nasib Warga Tepi Danau Poso

Jembatan Pamona dalam sejarah orang Pamona dikenal sebagai jembatan yang menyimbolkan persatuan suku-suku untuk bekerjasama membangun jembatan. Diceritakan bahwa untuk membangun jembatan tua dari kayu tersebut pada tahun 1950-an, warga dari berbagai kampung bergotong royong selama satu tahun dengan membawa kayu-kayu dari hutan, memancangkan tiang-tiang jembatan dengan menggunakan tenaga manusia. Jembatan dari kayu ini, menjadi simbol apa yang disebut mosintuwu, bekerja bersama-sama orang Pamona.

Jembatan Pamona diketahui dibongkar atas persetujuan dan perintah Bupati Poso berdasarkan MoU kerjasama dengan PT Poso Energy dalam program yang mereka sebut penataan sungai Poso.

Pdt. Wuri , anggota Aliansi Penjaga Danau Poso pernah menceritakan kepada sekretaris daerah Provinsi Sulawesi Tengah, bahwa jika orang tua di Poso mau menceritakan kepada anak cucu mereka tentang apa itu mesale, atau mosintuwu, tidak perlu bercerita panjang lebar, cukup membawa mereka ke jembatan tua Pamona dan menunjukkan buktinya.

Disinilah letak fungsi warisan yang memiliki sejarah. Warisan yang memiliki sejarah memiliki fungsi menyampaikan nilai pada generasi, sehingga mereka bisa belajar dari nilai sejarah tersebut. Dalam Nawacita Jokowi, butir kedelapan menyebutkan “melakukan revolusi karakter bangsa melalui … pengajaran sejarah pembentukan bangsa”. Artinya karakter sebuah bangsa diakui berkorelasi dengan pengajaran sejarah pembentukan bangsa. Jika sebuah bangsa menghancurkan warisan yang memiliki nilai sejarah, akibatnya pada karakter bangsa itu.

Baca Juga :  Mencari Air : Seperti Padang Pasir di Bukit Bambu

Kasus dibongkarnya Jembatan tua Pamona adalah contoh laku para elite di Poso yang menggambarkan, bahwa mereka  terdiagnosa sedang digerogoti  Honger Oedema Memory atau ‘Busung Lapar Sejarah”.

Entah apa dan berapa lagi heritage yang akan dikorbankan untuk memuaskan hasrat para elit  yang terdiagnosa mengidap “Busung lapar Sejarah”?, Semoga saja  Penyakit menahun itu segera mendapatkan antibiotik, sehinggaHeritage yang  masih tersisa, seperti:  Masjid Tua Mapane, Rumah Missionaris Alb. C. Kruijt di Tentena serta beberapa lainnya terus lestari. Termasuk warisan kebudayaan danau seperti wayamasapi, dan mosango. Jika tidak, akibatnya orang Poso akan menjadi generasi yang kehilangan sejarah.

*Ketua Komunitas Historia Sulawesi Tengah

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda