“Semalaman saya tidak bisa tidur. Jangan-jangan besok saya sudah tidak bernyawa”
Sambil tergelak, Irma, 42 tahun menceritakan ketakutannya saat pertama kali menginap di Tentena. Bekal selama kelas sekolah perempuan yang didapatkannya diuji dalam pengalaman langsung. Bukan hanya dalam interaksi percakapan sehari-hari, tapi tinggal bersama dengan ibu-ibu lain yang berbeda agama . Dalam satu kamar.
Peserta Pengganti yang Menjadi Fasilitator
Kisah pada malam hari di tahun 2018 itu, dimulai tahun 2016 saat ibu Irma mendapat pemberitahuan ada pihak Institut Mosintuwu untuk datang ke Kantor Desa Tokorondo. Di kantor desa dia mendapat formulir untuk diisi jika ingin bergabung dengan Sekolah Perempuan. Irma tidak tertarik mengisinya. Selain punya banyak pekerjaan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga, Irma tidak melihat ada manfaatnya. Apalagi dia mendengar, bukan hanya perempuan Muslim yang akan bergabung tapi juga dari Hindu dan Kristen. Saat itu Institut Mosintuwu akan membuka kelas Sekolah Perempuan di 4 desa di kecamatan Poso Pesisir yakni Tokorondo, Masamba, Trimulya dan Kilo.
“Saya bilang, cari dulu ibu-ibu yang lain sejumlah yang diminta, kalau memang ada yang tidak bersedia, baru saya ikut” katanya.
Kelas hanya dibuka untuk 25 orang peserta saja. Akhirnya kuota itu tercukupi, kelas mulai berjalan dan Irma tidak termasuk didalamnya.
Di tengah perjalanan, satu orang peserta Sekolah Perempuan dari Desa Tokorondo mengundurkan diri. Untuk mencukupi kuota, Irma kemudian menggantikannya. Niatnya sederhana , sudah diundang ikut, tidak enak jika tidak menghargai undangan. Tentu saja keraguan mengenai peserta kelas yang beragama lain disimpannya rapat-rapat.
Sejak konflik kekerasan menjangkau desa Tokorondo tahun 2000, Irma tidak pernah lagi bertemu dengan sengaja atau bergaul dengan orang yang beragama selain Islam. Apalagi di kelas Sekolah Perempuan, Irma baru menyadari ternyata yang memiliki perasaan marah, benci dan takut terhadap orang yang beragama lain itu bukan hanya dirinya. Beberapa orang teman sekelasnya yang beragama Kristen ternyata memiliki perasaan yang sama dengannya.
“Selama ini kita sama-sama punya perasaan marah, jengkel tapi tidak pernah diungkapkan. Di kelas kami mengungkapkan perasaan itu”katanya.
Kelas sekolah perempuan memberikan kesempatan pada Irma dan semua peserta kelas untuk mengungkapkannya. Kesadaran bahwa setiap orang punya perasaan marah, jengkel hingga dendam dan curiga diolah dengan membicarakan mengenai alasan-alasan dibalik perasaan itu. Ruang untuk membicarakan alasan perasaan berdasarkan beragam peristiwa itulah yang membukakan kesempatan pada Irma memahami yang lain. Pertemuan demi pertemuan di kelas Sekolah Perempuan pelan-pelan membuka wawasannya tentang agama lain. Kelas yang berlangsung satu tahun itu membuat dia akrab dengan yang beragama Kristen dan Hindu yang sebelumnya sangat dia curgai.
Suatu saat, kelas Sekolah Perempuan mengajak seluruh peserta untuk melakukan kunjungan ke rumah-rumah ibadah, dalam kurikulum Agama dan Toleransi. Ini menjadi momen penting dalam hidup Irma. Di kelas ini dia merasakan bagaimana masuk kedalam Gereja dan Pura. Ini adalah pengalaman pertama seumur hidupnya yang sangat berkesan.
Irma dan peserta kelas lainnya mengunjungi Gereja di Desa Kilo. Dia menyadari ada perbedaan antara Islam dan Kristen dalam aturan di rumah ibadah.
“Di Gereja, kita umat agama lain boleh masuk sampai kedalam. Di Islam, agama lain cuma sampai di teras saja”.
Ini jadi momen yang paling diingatnya sampai saat ini. Untuk meyakinkan apakah dia boleh duduk di bangku dalam Gereja, Irma bertanya kepada seorang peserta yang beragama Kristen. “Dijawab boleh, tidak apa-apa, beda dengan di Muslim, disini agama apa saja bisa masuk”.
Demikian juga pengalaman ketika berkunjung ke Pura, Irma mendapat penjelasan siapapun boleh masuk yang penting tujuannya baik.
“Disitulah saya mendapat pengetahuan oh ternyata mereka (pemeluk agama lain) bisa merespon kita dengan baik” kata Irma lagi.
Dua tahun setelah lulus kelas Sekolah Perempuan angkatan 3 , Irma sibuk mengurus anak di rumah. Meskipun sibuk, Irma mulai mengingat pengalamannya di kelas Sekolah Perempuan sehingga mulai aktif dalam berbagai kegiatan di desa.
Cerita Satu Malam
Tahun 2019, Irma diajak menjadi fasilitator Sekolah Pembaharu Desa. Untuk membekali Irma dan fasilitator lainnya, semuanya diundang untuk mengikuti workshop di sekretariat Institut Mosintuwu di kelurahan Pamona, kecamatan Pamona Puselemba. Orang Poso dan Palu sering menyamakan wilayah ini dengan Tentena. Ini bukan pertama kalinya Irma menginap di Tentena, namun perbedaannya dia akan menginap dengan mereka yang tidak seagama. Bahkan hanya dia yang beragama Islam. Sebelumnya tahun 2017 saat wisuda Sekolah Perempuan, Irma sempat tinggal di Tentena bersama peserta sekolah perempuan yang beragam Muslim.
“Pasca kerusuhan kita tidak pernah menginjakkan kaki ke Tentena.”katanya. Biasanya, Irma dan keluarganya hanya melintasi wilayah Tentena dalam perjalanan dari Poso menuju ke Sulsel. Itupun tidak sampai masuk ke pusat kota Tentena karena kendaraan umum berbelok di kelurahan Tendeadongi kecamatan Pamona Utara.
Irma gundah. Sempat meminta pendapat suaminya, namun keputusan diserahkan kepadanya. Diantar oleh suaminya, Irma memutusan untuk mengikuti workshop .
“Perasaan ragu ternyata juga dirasakan teman-teman yang hindu dan kristen terhadap saya. Mereka ragu, saya mau ikut. Tapi saya telepon mereka dan bilang saya mau ikut”. Sebenarnya meski sudah menyatakan siap ikut, masih ada keragu-raguan di hatinya.
Pada malam pertama di Tentena, dia sekamar bertiga dengan Martince dan Rustomini. Sepanjang malam Irma tidak bisa tidur karena takut.
“Saya berpikir, apakah besok masih bisa hidup. Tapi saya coba tutup mata dan alhamdulillah ternyata sudah pagi” katanya.
Sejak peristiwa malam itu, dia merasa tidak ada sekat lagi dengan warga non muslim, khususnya yang beragama Kristen. Sebaliknya Irma tidak ragu membela komunitas Kristen apabila ada prasangka buruk terhadap mereka. Hal itu dilakukannya saat dia dipanggil oleh pemerintah desa Lape untuk mempertanyakan logo Institut Mosintuwu yang salah satu hurufnya mirip seperti salib. Desa Lape adalah salah satu desa yang didampingi Irma dalam kelas sekolah pembaharu desa dimana dia menjadi fasilitatornya.
“Mereka bertanya apakah ini organisasi Kristen yang datang mau mengkristenkan. Saya jelaskan kepada mereka tentang saya sebagai muslim yang bekerja dengan Mosintuwu , saya jelaskan mengenai program-program apa saja yang sudah dibuat oleh Mosintuwu. Lalu untuk meyakinkan, saya meminta Martince dan ibu Lian membantu saya menjelaskan mengenai makna dari logo Institut Mosintuwu “
Keyakinan Irma terhadap pentingnya kerjasama lintas agama dalam membaharui desa menempatkannya menjadi salah satu fasilitator pembaharuan desa melalui kelas Sekolah Pembaharu Desa.
Pegiat Pembaharu Desa
Menjadi fasilitator Sekolah Pembaharu Desa tidak serta merta dilakukan Pengetahuan lain dari kelas Sekolah Perempuan yang mempengaruhi hidup Irma adalah Perempuan dan Gender. Mengikuti kelas ini, Irma yang tinggal di desa dengan tradisi Islam kuat seperti Tokorondo menyadari bahwa perempuan juga punya hak dan posisis yang sama untuk terlibat dalam pembangunan di desa.
“Tradisi di desa, perempuan harus mendapatkan ijin dulu, dan sebenarnya tidak boleh terlalu aktif di luar. Tapi itu dulu” kenang Irma.
Sebelumnya yang selalu diundang untuk ikut rapat pembangunan desa hanya laki-laki. Dia kemudian mempertanyakan itu kepada pemangku kepentingan di desa. Cara mempertanyakannya dengan memperkuat kegiatan-kegiatan Sekolah Perempuan di Tokorondo dengan mengundang pemerintah desa. Aktifitas itu membuat pemerintah desa merasa harus mengundang pesertanya untuk dimintai pendapat dalam rapat.
Setelah wisuda sebagai angkatan ketiga tahun 2016, Irma aktif di dalam berbagai aktifitas di desa, dia menjadi bendahara Bumdes dan mengajar di sekolah dasar. Sebuah peristiwa politik hadir di depannya, yakni pencalonan anggota Badan Perwakilan Desa(BPD). Irma didorong sejumlah perempuan untuk maju sebagai kandidat. Diapun mendaftar. Namun proses pendaftarannya menemui banyak kesulitan. Dia mengalami tekanan dari sejumlah pihak agar tidak maju. Perbedaan pandangan dia dengan kepala desa saat itu yang sering dikritiknya membuat beberapa surat rekomendasi sulit didapatkan. Dia kemudian meminta surat rekomendasi dari Institut Mosintuwu yang menyatakan dia aktif sebagai pegiat. Dokumen pendukung lainnya adalah sertifikat kelulusan Sekolah Perempuan tahun 2016. Dia menjadi anggota BPD Tokorondo yang terbilang aktif.
Ketika kesempatan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di desa mulai terbuka, Irma merasa penting untuk mengasah kemampuan berbicara di depan umum.
“Awalnya berbicara di depan umum begitu kaku, takut, gemetar. Tapi akhirnya biarpun terbata-bata mengeluarkan pendapat, tapi tersampaikan”katanya.
Bersama dengan masyarakat desa yang bergabung di kelas Sekolah Pembaharu Desa, Irma sekarang menyusun proyek kemakmuran di desa untuk membaharui desa. Proyek kemakmuran ini disusun bersama oleh anggota kelas sekolah Pembaharu Desa di Tokorondo. Mereka memiliki 27 daftar indikator kemakmuran desa mulai dari lingkungan, kesehatan, pendidikan hingga pengembangan ekonomi . Bagi Irma, membaharui desa menjadi pekerjaan bersama yang harus dilakukan banyak orang. Karena itu, Irma mengorganisir bukan hanya kelompok perempuan tapi juga mengajak pemerintah desa dan anggota BPD lainnya untuk bersama-sama menjalankan proyek kemakmuran desa.
Diana, sekretaris desa Tokorondo adalah salah satu yang menjadi pegiat pembaharu desa bersama-sama dengan Irma mendorong pembaharuan di desa. Mereka bersama-sama mengajak anak muda ikut menjadi bagian dari kegiatan pembaharu desa ini. Irma menjadi figur pemimpin perempuan yang membaharui desa bukan hanya dari imajinasi tentang desanya tapi juga kesejahteraan.