Kopi Poso di Festival Kopi : Bukan Sekedar Rasa Kopi

2
2432
Biji Kopi organik dari desa Bancea. Foto : Dok.Mosintuwu/Lian

Pertama kalinya sejak tahun 1912, kopi Poso masuk Festival Kopi. Peristiwa ini menjadi catatan sejarah penting bagi perkebunan kopi di Kabupaten Poso. Adalah ibu-ibu anggota sekolah perempuan Mosintuwu yang pertama kali memperkenalkan kopi asli asal Poso yang diberi nama kopi Kojo. Festival Kopi Sulawesi Tengah yang diadakan setiap tahunnya, tahun 2017 melibatkan kopi dari Poso menjadi bagian dalam festival yang diikuti oleh perwakilan petani kopi perempuan asal Desa Bancea. Festival Kopi Sulawesi Tengah yang mengangkat tema “Menguak Identitas Kopi Lokal” dilaksanakan tanggal 20 – 21 Mei 2017 di Citra Land Palu.

Di atas meja berukuran 150 meter di stand bertulis “Kopi Kojo Poso”, jejeran 5 bingka dari bambu bermotif tradisional diisi sample biji kopi dalam berbagai proses sbeelum siap seduh. Biji kopi yang baru dipetik nampak memerah matang; biji kopi yang sudah dijemur di terik matahari; biji kopi yang berasal dari tenggorokan kelelawar dan kus-kus yang diperoleh tanpa proses pemetikan; biji kopi yang ditumbuk menggunakan lesung yang kulit arinya sudah terkelupas yang jika digoyang terdengar nyaring seperti bungi musik; biji kopi yang sudah disanggrai menggunakan belanga tanah. Semuanya berjejer indah di bagian depan stand, mengajak pengunjung untuk berdialog lebih dekat dengan kopi yang selama ini dinikmati.

Baca Juga :  Telusuri Budaya Peradaban Danau Poso : Cara Anak Muda Mengingat dan Jaga Warisan

Sejak hari pertama festival dibuka, Ibu Marce, ibu Herlina dan ibu Damaris, perempuan petani kopi dari Desa Bancea yang juga anggota sekolah perempuan berdampingan dengan Ibu Martince dan Ibu Evi dari Institut Mosintuwu nampak sibuk melayani pengunjung yang datang. Sebagian langsung membeli produk kopi, yang lain mencoba mencicipi kopinya , dan tidak kurang dari mereka berdiskusi mengenai kopi Kojo

Anak-anak muda asal Desa Bancea berpakaian adat Poso nampak menemani para pengunjung sambil berkampanye tentang desa mereka.

“Kopi Kojo laris manis” kata Neni, salah seorang peminat kopi yang pertama kali mengajak keterlibatan produk usaha desa Mosintuwu bekerjasama dengan petani kopi asal Desa Bancea terlibat di Festival Kopi “ Banyak yang suka dan tertarik karena ini pertama kalinya kopi Kojo dari Poso muncul”

Pengunjung yang berkewarganegaraan Korea Selatan, Filipina menjadi salah satu yang tertarik dengan rasa kopi Kojo Poso juga cerita dibalik kopinya. Arief , salah seorang penikmat kopi yang membeli produk yang dibawa langsung dari Desa Bancea ini mengomentari rasa kopi Kojo di media sosialnya “ Meskipun hitam pekat, tapi rasanya tidak asam seperti dugaan saya. Salut buat ibu-ibu di Desa Bancea”

Baca Juga :  Molanggo di Poso : Tradisi Tidak Tidur untuk Solidaritas

Bukan Sekedar Rasa Kopi

Bagi Institut Mosintuwu yang mengorganisir petani kopi perempuan dalam proses produksi kopi Kojo ini, keikutsertaan dalam festival kopi, merupakan bagian dari proses membangun kepercayaan diri komunitas petani di desa untuk mengembangkan diri dari sumber daya alam yang ada di desanya. “ Ini juga adalah bagian dari kampanye tentang wajah Poso yang bukan lagi wilayah konflik kekerasan, tapi tanah harapan dimana warga petani dan nelayan di desa saling bahu membahu membangun di desa untuk kehidupan ekonomi dan sosial yang lebih baik “ jelas Martince Baleona, koordinator pengorganisasian Mosintuwu “ Melalui kopi kami ingin sampaikan pesan, Poso damai, Poso tanah harapan, dan bahwa kami perempuan ada bersama-sama dengan seluruh warga di Poso ingin menjaga dan memastikan agar Poso damai dan adil untuk seterusnya” demikian tambahnya.

Selanjutnya, Martince menambahkan bahwa kopi Kojo asal Desa Bancea ini telah menyatukan komunitas di desa. Komunitas muslim, kristen, hindu yang selama ini bekerja sendiri-sendiri, sekarang bekerja bersama-sama untuk kehidupan ekonomi. “Bahkan, kelompok perempuan yang dulu tidak dihormati, sekarang menjadi dilibatkan dalam pembangunan desa juga dimasukkan dalam anggaran desa. Itu setelah produksi kopi Kojo berhasil diangkat menjadi kopi yang bertaraf nasional bahkan internasional, karena kopi ini sudah dibawa ke Amerika dan Belanda meskipun masih dalam jumlah terbatas” kata Marce dengan nada bangga.

Baca Juga :  Sekolah Perempuan Interfaith, Angkatan IIInterfaith Women School, 2nd batch

Karena itu, tambah Martince , membeli dan menikmati kopi Kojo sebenarnya bukan cuma soal membantu kehidupan ekonomi petani, tapi melanjutkan kehidupan damai dan adil bagi komunitas lintas agama dan khususnya perempuan di desa. Martince tidak lupa berkampanye agar barangsiapa yang ingin memesan kopi Kojo dapat mengakses dengan mengirimkan pesan ke Dodoha Mosintuwu, galeri produk usaha desa yang diorganisir Mosintuwu, melalui telepon 081354864491.

2 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda