Perempuan dan Gerakan Literasi untuk Perdamaian

0
2575
Perpustakaan keliling Sophia menemui masyarakat Peura yang antusias membaca buku
Perpustakaan keliling Sophia menemui masyarakat Peura yang antusias membaca buku

“Baca, maka kita akan mengenal lebih baik, tentang apa saja, lalu bergerak lebih effektif”, suasana dalam ruangan beraksesori bambu di tepi danau Poso, hari ini terlihat khidmat. “ Jika kalian bukan anak raja, atau bukan tokoh agama besar, maka menulislah” Kutipan ini dibaca oleh Lian Gogali, pendiri sekolah perempuan Mosintuwu dalam workshop tim anak, perempuan pembaharu desa. Wajah ibu-ibu yang berasal dari 24 desa nampak sumringah mendengar kutipan tersebut, terlihat anggukan setuju pada sebagian besar mereka.

Sejak lulus di kelas sekolah perempuan Mosintuwu, ibu-ibu berkomitment menjadi aktor yang menentukan perubahan dalam desa. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh perempuan akar rumput untuk terlibat mempengaruhi adalah akses pada informasi dan pengetahuan yang membukakan mata. Namun, para perempuan yang berprofesi sebagai petani, nelayan, buruh dan ibu rumah tangga ini telah belajar dari proses di kelas sekolah perempuan. Karena itu mereka tahu, literasi adalah kebutuhan warga desa untuk bisa melibatkan seluruh masyarakat desa dalam proses desa membangun.

“Literasi bukan hanya soal membaca, menulis, dan bercerita. Literasi melampaui aktivitas itu, karena membentuk, mempengaruhi bagaimana sistem dan mekanisme kehidupan sosial, ekonomi dan berpolitik , bahkan kehidupan kebudayaan kita” Ujar Lian. Hal ini diaminkan oleh Sri Ratna Mbaresi, koordinator Project Sophia, program Institut Mosintuwu yang selama ini fokus pada anak dan gerakan literasi. “Kami menemukan anak-anak , termasuk orang tua di desa sangat haus dengan pengetahuan dan informasi. Kenyataannya banyak anak-anak yang tidak mendapatkan akses buku dan pengetahuan alternatif, bahkan beberapa desa angka buta huruf sangat tinggi “ cerita Cici, panggilan Sri Ratna. “ Padahal buku dan pengetahuan alternatif yang bisa menjembatani kehidupan mereka dengan yang lain dan membentuk karakter mereka” sambungnya.

Baca Juga :  Ada "Ratapan Danau Poso" di Pertunjukan Teater

Temuan Institut Mosintuwu, di semua desa di Kabupaten Poso terdapat kurang lebih 5% warganya tidak dapat membaca dan menulis dan 85% warga tidak memiliki akses bacaan yang baik . Bahkan di Desa Wera, tercatat 40 orang dewasa tidak dapat membaca dan menulis. Salah satu warga, Armini, menjadi anggota sekolah Perempuan Mosintuwu yang didampingi hingga kemudian bisa membaca . “Hidup saya berubah dan lebih baik setelah saya tahu membaca. Saya bukan cuma tidak lagi ditipu orang tapi juga bisa memberikan kepercayaan diri dalam kehidupan sehari-hari” ujar Armini. Sementara itu perpustakaan Kabupaten Poso diketahui memiliki daftar buku bacaan yang cukup tetapi kurang aktif dan kreatif dalam mengembangkan perpustakaan keliling yang bisa menjangkau desa-desa kecil di berbagai sudut wilayah Kabupaten Poso.

Disatu pihak, ketiadaan akses atas buku bacaan dan aktivitas literasi lainnya yang membangun kehidupan bersama , juga mempengaruhi proses perdamaian. Di beberapa desa pelosok, mereka yang punya televisi tergantung pada informasi di televisi, termasuk tentang peristiwa di Kabupaten Poso. Bahan bacaan yang lebih banyak beredar adalah bahan bacaan yang menyebarkan kebencian dan hasutan. Hal ini bukan saja dirasakan di wilayah Poso Pesisir, tapi juga di beberapa daerah terpencil lainnya. Informasi yang diperoleh oleh Tim Mosintuwu menyebutkan keterbatasan akses untuk mengembangkan literasi menyebabkan warga seringkali mengantungkan informasi dan keputusan hanya pada televisi dan orang tertentu yang dianggap punya akses.

“Dalam konteks yang demikian, literasi bukan hanya menjadi gerakan melek baca tapi menjadi sebuah kebutuhan untuk membangun perdamaian yang berkeadilan bersama-sama dengan masyarakat” ujar Lian. Hal ini melatarbelakangi berdirinya Project Sophia yang menjembatani anak-anak dari berbeda agama untuk menjalin persahabatan melalui buku. Paska lulusan sekolah perempuan Mosintuwu angkatan 3, gerakan literasi ini berkembang seiring komitment para perempuan untuk mengembangkan di desa-desa dalam tim Anak.

Baca Juga :  Poso Darurat Kekerasan Seksual, Masyarakat Jangan Takut Lapor

Tim Anak Perempuan Pembaharu Desa dan Literasi

Senin, 27 Februari 2017, ibu-ibu yang berkomitmen menjadi pegiat literasi di desa berkumpul bersama di Dodoha, kantor Institut Mosintuwu. Difasilitasi oleh Lian Gogali dan Sri Ratna Mbaresi, 50 perempuan dari 22 desa di wilayah Kabupaten Poso ini belajar bersama tentang literasi sebagai model gerakan membangun perdamaian yang berkeadilan di desa. Diawali dengan membangun pemahaman bersama tentang literasi, para ibu melakukan analisis bersama persoalan literasi di desa mereka masing-masing. Ditemukan fakta bahwa di setiap desa terdapat warga yang tidak dapat membaca dan menulis, masih sulitnya akses pendidikan serta pengaruhnya dalam peningkatan kesejahteraan keluarga termasuk kehidupan bermasyarakat.

“Saya sangat senang bisa melakukan analisis bersama tentang kondisi anak-anak di desa kami. Cara ini membuat saya dan teman-teman menjadi lebih sadar kebutuhan untuk melakukan sesuatu untuk membuat perubahan di desa” kata Elmi, anggota sekolah perempuan dari Desa Wera. Nia, anggota sekolah perempuan dari Desa Watuawu menambahkan “ Saya ingin menjadi seseorang yang berguna untuk masyarakat desa. Melalui kegiatan ini saya bisa mengembangkan cara bagaimana meningkatkan kehidupan masyarakat. Jika perempuan diberikan kesempatan di desa pasti bisa”

Mereka yang bergabung dalam pertemuan hari itu berkomitmen untuk menjadi bagian dari gerakan membangun di desa dengan fokus pada isu anak-anak dan literasi. Analisis sosial persoalan anak di desa diikuti dengan penjelasan mengenai konsep kegiatan di desa, termasuk didalamnya bekerjasama dengan masyarakat mengorganisir anak-anak.

Baca Juga :  Mesidoe , Perjalanan Menemukan Kembali Kehidupan Danau

“Di desa, anak-anak biasanya tidak ada yang menemani dan tidak ada aktivitas setelah pulang sekolah, padahal banyak sekali energi yang mereka miliki” cerita Nurlaely dari Desa Masamba, “Apalagi kalau orang tua malas dan tidak mau repot, mereka akan membiarkan anak-anak mereka tergantung pada televisi, playstation, atau telepon genggam” tambahnya. Karena itu semua sepakat mengorganisir anak-anak di desa dalam beragam aktivitas akan menjadi ruang untuk memberikan kreativitas dan sekaligus membangun karakter kehidupan yang lebih positif.

Dibahas bersama mengenai kegiatan-kegiatan yang akan dikembangkan di desa bersama dengan anak-anak. Diantaranya membaca, menulis cerita bergambar tentang desa, mengembangkan permainan tradisional anak. Sahabat pena adalah salah satu kegiatan yang diminati untuk bisa dikembangkan di desa. “ Melalui sahabat pena, anak-anak bisa menuliskan cerita mereka dan sekaligus menjalin persahabatan “ kata Cici, koordinator Project Sophia.

Diskusi menjadi hangat karena diselingi oleh permainan-permainan menarik yang dibawakan oleh Cici. Para ibu yang berasal dari beragam desa, berbagai agama dan suku ini tampak akrab dan saling berbagi tawa. Para ibu yang juga adalah relawan Project Sophia ini diberikan kesempatan untuk mencoba permainan anak seperti ular tangga, lego, puzzle dan origami . Semuanya menikmati permainan anak. “ Kalau kegiatan seperti ini ada di desa, saya yakin anak-anak akan menjadikan literasi sebagai kegiatan yang bukan cuma menyenangkan tapi wajib mereka ikuti” seru Marce, anggota sekolah perempuan dari Desa Bancea.

Pertemuan diakhiri dengan komitmen bersama para perempuan menjadi pembaharu desa dengan menyanyikan lagu Perempuan Poso, dan seruan “Perempuan desa, maju, bersuara, bergerak, memimpin”

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda