Mesidoe , Perjalanan Menemukan Kembali Kehidupan Danau

0
1925
Salah satu pagar masapi, teknologi budaya untuk menangkap ikan endemik Danau Poso, Masapi. Foto : Dok. Mosintuwu

“Perspektif saya tentang danau berubah” ujar Pdt. Wuri , tangannya bersidekap sambil berbicara nampak lebih serius “ Saya tidak lagi melihat danau ini hanya sekumpulan air. Dia punya kehidupan”

Pernyataan salah satu tokoh agama di Poso ini muncul setelah perjalanan Aliansi Penjaga Danau Poso berkeliling desa sekitar Danau Poso. Berkeliling danau Poso selama 3 hari tentu hal biasa bagi sebagian orang disini, baik yang punya banyak keluarga apalagi yang senang melakukan petualangan menikmati keindahannya. Namun saat sejumlah orang tua, mulai dari agamawan, tokoh adat dan seniman bermalam di desa Tokilo, Pendolo dan Pandayora, ini bukan jalan-jalan biasa. Dalam tradisi Pamona berkunjung ke sebuah tempat dengan maksud tertentu disebut Mesidoe. Mendiskusikan tentang kehidupan Danau Poso 

R. Kabaya, tokoh kelurahan Sangele,  Pdt Y Wuri, agamawan yang juga musisi Poso, beberapa akademisi dan seniman musik Karambanga Sese Dongi Desa Soe berjalan dengan misi membangkitkan kesadaran orang-orang untuk menjaga danau mereka. Perjalanan ini seperti kisah Rama Cluring dalam cerita novel Arus Balik karangan Pramoedya Ananta Toer. Diceritakan Pramoedya, Rama Cluring berkeliling dari satu dukuh ke dukuh lain untuk berseru-seru pentingnya kembali ke kebudayaan untuk mengajak orang kembali ke kebudayaannya sebagai modal membangun.  

Dalam Mesidoe yang dimulai dari Desa Tokilo, 12 Juli 2018 ngkay Tudjuka mengungkapkan bagaimana dia menyayangi danau ini. “Kalau ada yang mau merusaknya, tentu itu untuk kepentingan pribadi. Hidup saya sudah susah tapi saya mencintai danau ini. Kita harus bersatu seperti semut melawan gajah kalau ada yang mau merusaknya”.

Mesidoe tidak langsung terjadi begitu saja. Sebelum diskusi di de

Baca Juga :  Membangun "Rumah" Perlindungan Perempuan dan Anak

sa Tindoli, terlebih dahulu ada penyampaian maksud yang disebut mo Sosora. Ini tahapan penting. sebab Sosora bukan hanya menyampaikan pesan awal. Yang melakukannya harus bisa meyakinkan warga desa akan isu yang akan dibicarakan dalam Mesidoe.

Mesidoe seperti di Desa Tindoli bukan hanya membicarakan berbagai ancaman terhadap danau Poso, namun juga pentingnya mempertahankan tanah. Cerita pak Kuru, pensiunan guru yang mencoba mengadvokasi tanah di desanya ketika dibeli murah, hanya 3 juta rupiah untuk pembangunan tower SUTT. pak Kuru dan warga lainnya mengadukan persoalan ini ke DPRD Poso, namun seperti yang sudah diduga, tidak ada tindaklanjut apapun.

Ngkay Viktor Mandjara mengemukakan tentang banyaknya tanah-tanah kebun pribadi dan desa yang lepas ke perusahaan seperti yang terjadi di desanya Tindoli dan desa lain yang masuk areal perkebunan sawit disebabkan sudah tidak ada tradisi membicarakan danau dan tanah secara bersama-sama. 

Perjalanan Mesidoe dari Tindoli dilanjutkan ke desa Bancea pada hari yang sama. Memerlukan waktu sekitar 1 jam lamanya dengan mobil. Melewati jalan yang tidak mulus, tentu memerlukan stamina yang cukup untuk melewatinya. Namun semangat yang ditunjukkan tim Mesidoe sungguh luarbiasa.

“Ini perjalanan sangat berkesan. Saya betul-betul merasa berjuang sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap danau ini”kata pemetik okulele Sese Dongi. Ini perjalanan pertama dia berkeliling danau dengan misi mengajak orang berjuang mempertahankannya dari pengrusakan. Jiwa mesale masih ada dalam Sese Dongi, sebab selama tampil non stop 3 malam, mereka tidak dibayar.

Ledoni, kayori yang dilagukan Sese Dongi menjadi pembuka setiap diskusi. Bait-bait yang diiringi geso-geso membuka kembali ingatan bagaimana orang tua dahulu menjaga danau. “Bahkan kami tidak pernah mau pakai pukat yang lubangnya kecil kalau menangkap ikan. Sebab itu berarti tidak menyisakan apa-apa untuk anak cucu”kata ngkay Otniel (78) salah seorang penduduk Bancea.

Baca Juga :  10 Tahun Mosintuwu : Membangun Gerakan tanpa Amplop dan Uang Duduk

Di Bancea, diskusi seputar dampak lingkungan bila pengerukan dilakukan disuarakan oleh ngkai Panjo, namun bukan hanya dampak akibat kemungkinan penurunan air danau. Disebutkan adanya mahluk selain manusia yang akan terganggu. Hubungan antara manusia dengan mahluk-mahluk penghuni danau Poso dikhawatirkan akan terganggu. 

Misteri danau Poso memang terkait dengan banyaknya cerita masyarakat sekitar yang melihat baragam mahluk yang sulit mereka jelaskan. Mulai dari Lampu Danau yang masih sering menampakkan diri, turun dari pada Marari lalu seperti bola api yang berkejaran diatas danau, hingga kemunculan naga bertanduk emas.

Mesidoe, Perjalanan Menemukan Kembali Makna Danau 

Perjalanan mengumpulkan suara masyarakat pesisir danau hingga saat ini menunjukkan besarnya ketergantungan orang-orang terhadap airnya. Bukan hanya sebagai sumber makanan, penghasilan, sarana transportasi namun juga untuk pertanian. Ngkai A Ranonto, dari desa Tokilo menyebutkan, sebagai nelayan pencari Bete (ikan Mas) dirinya bisa menghidupi keluarga dari hasil penjualannya. Sementara beberapa petak sawahnya juga tergantung ketersediaan air di danau. 

“Jelas kalau ada penggalian air akan turun, untuk kami yang ba sawah tidak akan cukup lagi untuk kami pakai”kata lelaki berusia sekitar 60 tahun ini. Dia mengatakan para petani dan nelayan menolak jika ada rencana mengubah bentang alam danau Poso. Sebab  mempengaruhi kehidupan mereka. 

Di desa Salukai, pada hari kedua Mesidoe, suara untuk merawat danau muncul dari nenek Via yang sudah berusia 74 tahun. Dia termasuk kelompok penduduk pertama ketika desa di kecamatan Pamona Barat ini dibuka pada sekitar awal tahun 1950an.

Baca Juga :  Sahur di Poso, Bersama Irama dari Sendok dan Botol Kosong

“Danau ini sudah banyak memberikan kepada kita jadi jangan dirusak lagi. Kata nenek Via, penghuni danau merestui mereka ketika pertamakali menginjakkan kaki di tanah Salukaia. Tidak satupun penghuni danau mengganggu mereka ketika menyeberang dengan perahu dari Pendolo. Begitupun saat menyeberangi sungai Meko.

Kesaksian tentang danau bukan hanya muncul dari masyarakat saat diskusi. Pendeta Wuri, ketika melepas penat di pantai desa Taipa tiba-tiba berkata “ Saya melihat air danau ini seperti hidup, punya jiwa”. 

Di desa ini Mesidoe sudah dimulai sejak pukul 07 hingga 11 malam. Berbagai harapan agar danau dilihat bukan hanya sebagai sumber ekonomi, tapi juga jiwanya orang Poso yang terus mengalirkan hidup kepada siapapun yang datang dan memanfaatkannya secara baik. 

Sesuai dengan tujuan Aliansi Penjaga Danau Poso yaitu untuk membangun peradaban kehidupan Danau Poso yang bersolidaritas pada alam, juga menguatkan kebudayaan peradaban Danau yang menjaga kehidupan, Mesidoe menjadi ruang penelusuran kembali makna Danau Poso. Sejak Mei 2018, Aliansi Penjaga Danau Poso telah melakukan serangkaian kajian dan diskusi bersama dengan masyarakat di pesisir Danau Poso, termasuk penelitian untuk menguatkan kajian kebudayaan kehidupan Danau. Kajian, diskusi dan penelitian yang dilakukan menemukan dampak hancurnya kehidupan masyarakat dan kehidupan danau jika ada rencana perubahan tata ruang secara massal dan masif  di Danau Poso

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda