22 Tahun Operasi Keamanan di Poso, Tidak Berhasil Melumpuhkan MIT

0
1647
Desa-desa di lembah Bada, Lore Selatan dan Lore Barat. Foto : Dok. Mosintuwu/Ray

2021 adalah tahun ke 22 operasi keamanan untuk memburu kelompok Mujahidin Indonesia Timur ( MIT ) di Kabupaten Poso dan Sulawesi Tengah

Selasa, 11 Mei 2021, empat petani desa Kalemago kecamatan Lore Timur, kabupaten Poso, Marten Solot, Simson Susa, Paulus Papa dan Luka Lese Puyu dibunuh dengan keji oleh kawanan yang disebut MIT. Peristiwa yang terjadi di Puho, sebuah lokasi perkebunan dimana warga setempat menanam kopi dan kakao. Pembantaian yang terjadi kesekian kalinya kepada petani akhirnya menggerakkan, masyarakat Poso untuk mempertanyakan secara terbuka mengapa teror tidak pernah selesai selama hampir 22 tahun.

Masyarakat lembah Lore  yang terhimpun di Kampai Tampo Lore kemudian mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Di hadapan para anggota DPRD Poso, hari Senin 17 Mei 2021, Sahir Sampeali, perwakilan warga membacakan 6 poin permintaan. Poin pertama, meminta presiden datang langsung ke Poso untuk melihat secara langsung kondisi masyarakat yang kini mengalami trauma pasca peristiwa itu.

Presiden diminta datang ke Poso tentu bukan untuk sekedar menghibur dan memberikan santunan kepada keluarga korban. Tapi supaya bisa menilai sendiri mengapa operasi keamanan tidak pernah selesai.  

Gustaf Methusala, warga Lore mengatakan pembunuhan terhadap warga sipil itu menunjukkan negara dikalahkan oleh para DPO pimpinan Ali Kalora itu. Padahal, menurut dia, banyak perwira menjadikan Poso seperti sekolah lapang teroris. Namun setelah memiliki kewenangan, tidak satupun yang menyelesaikan masalah.

“Kami sudah capek. Sudah delapan orang Lore yang mati oleh kelompok itu”keluh Gustaf kepada para wakil rakyat Poso yang berdialog dengan Kampai Tampo Lore. 

Peristiwa keji yang dialami petani di bagian Lore ini bukan yang pertama kalinya. Sebelum pembunuhan kepada 4 petani Kalemago, pada tanggal 12 bulan Desember 2014  2 orang warga Sedoa kecamatan Lore Utara, Yunus Penini dan Obet Sabola, dinyatakan hilang pada saat berburu babi hutan di hutan sekitar kampung itu. Hingga kini keduanya tidak ditemukan. Polisi memasukkan keduanya dalam daftar korban kekerasan kelompok MIT. Dua pekan kemudian, pada hari Sabtu 27 Desember 2014, Gara Taudu dan Harun Tobimbi, 2 orang warga desa Tamadue kecamatan Lore Timur dibunuh saat hendak mencari damar di hutan.

Baca Juga :  Kaleidoskop Keamanan 2020, Petani Masih Terancam

Selain petani di wilayah Lore, petani di wilayah Poso Pesisir Kabupaten Poso  termasuk di wilayah Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi mengalami hal yang sama . Saat ini sekurangnya sudah 27 warga sipil di Poso, Parigi Moutong dan Sigi terbunuh sejak tahun 2012. 24 orang dibunuh MIT, 3 orang ditembak aparat keamanan karena disangka teroris. 34 orang DPO juga meregang nyawa dan 14 aparat keamanan juga kehilangan nyawa.

“Sekarang jalan di kampung-kampung di Lore sepi. Takut orang keluar rumah. Orang yang tadinya tinggal di kebun sekarang sudah kembali ke kampung semua karena takut”kata ketua adat lembah Behoa, Yusak Mentara. Akibatnya, kini banyak kebun-kebun di lembah Lore mulai ditinggalkan petani. Kondisi seperti ini juga sebelumnya sudah terjadi di wilayah pertanian lain seperti kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso Pesisir hingga Poso Pesisir Selatan.

Panjangnya operasi pengejaran kelompok teror ini memunculkan banyak pertanyaan. Diantaranya ada yang bernada curiga, mengatakan operasi ini adalah proyek. Anggota DPRD provinsi Sulawesi Tengah, Muhaimin Yunus Hadi bahkan mengatakan, hampir 22 tahun operasi tidak memberikan rasa aman.  Silih berganti masyarakat biasa menjadi korban dari MIT maupun aparat keamanan. 

Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu menegaskan bahwa kecaman terhadap pembunuhan keji yang dilakukan kelompok MIT kepada para petani harusnya disertai dengan evaluasi serius terhadap operasi keamanan. Tanpa evaluasi serius mengenai metode dan pola operasi keamanan, maka peristiwa pembunuhan terhadap para petani akan berulang. Suara-suara agar evaluasi terhadap operasi keamanan sudah disampaikan sejak lama oleh kelompok masyarakat sipil. Direktur LBH Poso, Taufik D Umar meminta evaluasi melibatkan sebanyak mungkin warga Poso, khususnya keluarga korban. Taufik mengingatkan agar proses evaluasi ini tidak menggunakan sistem perwakilan masyarakat, apalagi perwakilan tokoh yang bersifat elitis. 

Baca Juga :  Galeri Hasil Bumi Poso di Festival

Hingga hampir 22 tahun operasi keamanan, belum ada evalusi yang sangat serius dengan melibatkan masyarakat korban. Yang terjadi adalah perubahan nama operasi keamanan, dari operasi Tinombala menjadi Madago Raya. Dan korban terus jatuh.

“Evaluasi diperlukan untuk menemukan dan memperbaiki dimana letak kesalahan dalam pelaksanaan operasi itu sehingga banyak warga sipil yang justru menjadi korban” ujar Taufik.

Operasi keamanan saat ini ternyata tidak menjamin persoalan keamanan di Poso. Iskandar Lamuka , anggota DPRD Poso menyindir janji sebelumnya pemerintah pusat bahwa sebelum tahun 2020 berakhir, persoalan keamanan di Poso selesai.

“Dulu kita anggap persoalan Poso akan selesai karena ada operasi Tinombala yang ternyata berjalan berjilid-jilid sampai 5 tahun. Tapi faktanya sekarang sudah ada lagi operasi Madago Raya yang sudah berjalan dua jilid” kata Iskandar. Jika dihitung-hitung sudah hampir 22 tahun masyarakat Poso hidup ditengah operasi keamanan. Lamanya hampir sama dengan operasi keamanan di Aceh.  Operasi keamanan di Aceh berlangsung selama 29 tahun. 

Jika Aceh sudah selesai, kabupaten Poso belum. 9 orang anggota MIT yang dipimpin Ali Kalora ataupun Qatar masih menguasai hutan. Menyebabkan ketakutan bagi petani yang berkebun di tanah-tanah subur yang membentang dipinggir hutan di Poso, Sigi dan Parigi Moutong.

Penyerahan surat terbuka warga Lore kepada Presiden Jokowi melalui DPRD Kabupaten Poso. Foto: Dok.Mosintuwu/Pian

Panjangnya jalan Operasi Keamanan Memburu Kelompok MIT

Operasi besar-besaran pengejaran kelompok Mujahidin Indonesia Timur dimulai tahun 2010. Diawali peristiwa dua orang anggota Polisi Bripka Sudirman Kanit Intel Polsek Poso Pesisir dan Bripka Andi Sappa anggota Buser Polres Poso yang diculik kelompok MIT . Keduanya lalu dibunuh di dusun Tamanjeka, Desa Masani kecamatan Poso Pesisir pada 8 Oktober tahun 2012. Jenazah keduanya baru ditemukan 6 hari kemudian, yaitu 16 Oktober 2012.

Baca Juga :  Memikirkan Partisipasi Masyarakat dalam Operasi Keamanan

Dua bulan kemudian, 20 Desember 2012, 10 orang anggota Brimob yang sedang patroli ditembak dari arah bukit di jalan trans Sulawesi desa Tambarana kecamatan Poso Pesisir Utara. 4 orang yakni Briptu Ruslan, Briptu Winarto, Briptu Wayan Putu dan Briptu Siswandi meninggal dunia.

Pasca dua peristiwa itu, Kepolisian menggelar operasi pengejaran bersandi Aman Maleo I yang dimulai pada 10 Januari 2013. Sebanyak 1,185 orang personi Polri dari Polda Sulteng dan mabes polri ditambah 170 orang personil TNI dikerahkan dalam Operasi ini. Brigjen Dewa Parsana yang menjabat Kapolda Sulteng saat itu menyebut operasi itu meliputi penegakkan hukum dan pengejaran para pelaku teror yang masuk dalam DPO Polisi. Disebutkan pula operasi juga akan melakukan dialog bersama masyarakat dan kegiatan bakti sosial.

Operasi-operasi ini kemudian berlanjut dengan operasi-operasi selanjutnya . Hingga saat ini terhitung  21 jilid operasi keamanan. 

Tahun 2013, dilangsungkan Operasi Aman Maleo I dan Aman Maleo II. Tahun 2014, operasi ini dilanjutkan dengan sandi yang sama yakni Aman Maleo I hingga Aman Maleo III. Tahun 2015, Pengejaran terhadap kelompok MIT pimpinan Santoso berlanjut. Kali ini operasi dengan sandi Camar Maleo yang berlangsung hingga empat jilid. Lalu tahun 2016 operasi berganti nama menjadi Operasi Tinombala . Tahun 2021 , nama operasi Madago Raya menggantikan sandi operasi Tinombala. 

22 tahun warga Poso hidup di antara operasi keamanan, 9 orang anggota MIT yang dipimpin Ali Kalora ataupun Qatar masih menguasai hutan, menyebarkan ketakutan dan membunuh para petani. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda