Danau Poso dan Spiritualitas Kemitraan dengan Semesta

0
1508
Danau Poso, dari udara . Foto : Dok.Mosintuwu/RayRarea

Danau Poso yang indah sedang berhadapan dengan proyek pembangunan PLTA. 

Kini, tidak tampak lagi karamba-karamba warga yang dulu tampak jelas di dekat Yondo Pamona. Yondo Pamona, jembatan yang menjadi simbol kerjasama orangtua di Poso juga dibongkar. Pengerukan outlet danau Poso dilakukan oleh perusahaan untuk memutar turbin PLTA meskipun telah mendapat protes warga. Warga menolak proyek pengerukan outlet danau Poso sepanjang 12,8 km  karena kegiatan tersebut berdampak pada mata pencaharian warga sebagai nelayan juga jenis usaha lainnya. Warga kesulitan mengakses air bersih dari danau. Tahun 2020,  ketika PLTA melakukan uji coba pintu air, sawah-sawah warga di sekeliling danau Poso pun terendam air. 

Dampak negatif lainnya adalah ekosistem sungai dan danau yang terganggu akibat pengerukan. Sogili , jenis ikan sidat yang oleh warga lokal dikenal sebagai masapi, salah satu spesies danau Poso terancam punah karena pembangunan bendungan PLTA menghalangi ruaya masapi dari danau Poso ke teluk Tomini serta anak-anak Masapi yang kembali ke danau Poso. 

Ini adalah gambaran nyata pergumulan warga yang hidup di sekitar danau Poso. Protes mereka diabaikan oleh pemerintah lokal termasuk oleh pemimpin gereja besar di Sulawesi Tengah yang menurut penuturan warga bahkan terlibat mendukung dilaksanakannya proyek pembangunan yang dilakukan oleh PT Poso Energi. Pembangunan ini dipromosikan sebagai pembangunan yang akan membawa kesejahteraan, kehidupan lebih baik bagi warga. Kenyataannya, proyek ini tidak hanya berdampak negatif pada perekonomian dan kebebasan hidup nelayan dan petani, tetapi juga peminggiran sosial budaya warga masyarakat yang terjalin erat bersama kehidupan di danau.

Paradigma pembangunan ekonomi dan ukuran kesejahteraan ini perlu dipertanyakan. Ukuran apa yang dipakai untuk menilai kesejahteraan? Apakah pembangunan ini benar-benar akan menjawab kebutuhan warga? Pembangunan ini sebenarnya untuk siapa dan menguntungkan siapa? Hal-hal ini perlu dipertanyakan ketika ‘proyek pembangunan’ didatangkan ke suatu tempat tanpa dialog dengan komunitas lokal dan tidak mempedulikan ciptaan-ciptaan lain.  

Berhadapan dengan proyek pembangunan turbin di Danau Poso yang abai terhadap suara komunitas lokal dan keberlanjutan lingkungan, Lian Padele seorang teolog perempuan dari Poso menekankan tentang teologi semesta. Dalam suatu wawancara bersama Radio Mosintuwu, Lian Padele menekankan pentingnya memahami air bersama dengan semesta yang ada di dalamnya maupun komunitas sosial yang hidupnya terjalin erat dengan air. Menurutnya air itu memberi kehidupan dan sumber kehidupan dari semesta yang ada di dalamnya. Apabila air rusak maka rusaklah alam dan juga kehidupan manusia yang hidupnya sebenarnya juga bergantung pada alam. Ia menekankan pentingnya untuk memiliki kesadaran dalam bertindak dan memperlakukan alam serta mengkritisi pembangunan yang tidak berpihak pada alam. Menurutnya, pembangunan seharusnya memperbaiki kehidupan dan bukan menggangu kehidupan itu. Catatan Lian Padele ini penting untuk mengkritisi lebih lanjut apakah pembangunan proyek di danau Poso ini bermanfaat untuk memperbaiki kehidupan? Ataukah seperti yang dikatakan Lian Padele bahwa proyek pembangunan tersebut telah menciptakan keterasingan dengan ciptaan yang lain? 

Berhadapan dengan kenyataan kerusakan lingkungan dan manusia yang  semakin terasing dengan ciptaan lainnya, kita perlu secara kritis mempertanyakan bagaimana manusia memahami dirinya sendiri dan selanjutnya bagaimana manusia memahami ciptaan Tuhan lainnya? Mengapa manusia sampai terasing dengan ciptaan lainnya? 

Baca Juga :  Surat Terbuka Akademisi STT GKST kepada Bupati Poso : Mari Membangun dengan Kemampuan yang Ada

Pada tahun 1967 seorang ahli sejarah Lynn White mengkritisi ajaran agama Kristen mengenai relasi manusia dengan ciptaan lain dalam tulisannya. Kritikannya menegaskan bahwa ajaran agama Kristen merupakan titik tolak kerusakan lingkungan. Apa yang orang lakukan terhadap lingkungannya bergantung pada apa yang mereka pikirkan mengenai diri sendiri dan hubungannya dengan ciptaan lain di sekitar mereka. Salah satu akar permasalahan ekologi dari perspektif teologi Kristen menurut Lynn White adalah ajaran antroposentrisme yaitu pemahaman yang menekankan manusia berada pada posisi yang lebih dari ciptaan Tuhan lainnya, pusat alam semesta. Kritik tersebut tentu muncul dalam konteksnya di Eropa yang menurutnya telah menekankan antroposentrisme dengan gabungan efek destruktif antara ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia dengan pandangan bahwa dirinya adalah pusat alam semesta mengontrol bumi demi kepentingannya semata sehingga segala sesuatu di bumi ini dibuat harus dapat menunjang  dan melayani kepentingan hidup manusia di bumi. Dalam pandangan antroposentris Barat ini, semesta alam hanyalah objek dan bukan subyek. Pandangan antroposentris yang kuat inilah yang dilihat Lynn White sebagai salah satu titik tolak dari perilaku manusia yang merusak dan tidak peduli pada keberlanjutan semesta alam. Komunitas Kristen didorong untuk memeriksa kembali ajaran agamanya dan melihat ulang teks-teks keagamaannya. 

Setelah Lynn White, para pemerhati lingkungan juga melihat kepelbagaian pengalaman agama-agama dalam relasinya dengan lingkungan, serta dalam etika lingkungan yang telah menggeser diskusi dari pembahasan antroposentrisme kepada kepelbagaian  yang merespon permasalahan lingkungan lebih jauh dengan kajian etika politik dan etika ekonomi. Bahkan muncul juga penekanan untuk menggali pemikiran etika lingkungan dari agama-agama lain secara khusus kosmologi agama-agama non-Barat yang pada umumnya lebih terjalin dengan alam. 

Perkembangan diskusi teologis dua dekade setelah Lynn White, menganalisa bahwa persoalan lingkungan yang dihadapi sekarang ini melampui pilihan perspektif antroposentrisme (penekanan pada manusia sebagai subyek dan superior) atau non-antroposentrisme (penekanan pada ciptaan lainnya sebagai subyek). Christopher Stone misalnya mengkritisi kompleksitas persoalan lingkungan yang menurutnya melampaui satu perspektif etis seperti perdebatan antroposentrisme atau non-antroposentrisme. Oleh karena itu ia mengusulkan pluralisme moral etis yaitu pendekatan yang menggunakan berbagai pendekatan etis dan menolak pendekatan yang berasumsi bahwa satu prinsip etis (terutama misalnya perspektif etis Kristen antroposentrisme atau non-antroposentrisme saja) akan bermanfaat untuk menjawab semua kompleksitas persoalan lingkungan. Artikel yang ditulis sejak tahun 1988 ini bergumul dengan persoalan lingkungan dan menyadari begitu kompleksnya persoalan lingkungan yang terkait dengan etika pembangunan ekonomi, sejarah reformasi agrarian, kepelbagaian nilai lingkungan dan budaya lokal yang tidak mampu dibicarakan oleh satu pendekatan etis  saja. Merefleksikan realitas kerusakan lingkungan di sekitar kita yang terjalin dengan paradigma ekonomi kapitalis, pembangunan tidak ramah lingkungan, gaya hidup konsumtif, konversi lahan, polusi lingkungan maka kita membutuhkan berbagai pendekatan lintas bidang dengan spirit kemitraan untuk meresponnya. Dalam pendekatan lintas bidang ini, perspektif teologis tetap perlu untuk disuarakan.

Komunitas-komunitas agama telah dan terus mengembangkan ekoteologi untuk mendukung pemulihan relasi dengan alam semesta demi hidup bersama yang berkelanjutan. Kritik terhadap  ajaran keagamaan yang tidak mendukung kehidupan menolong kita untuk melihat ulang perspektif tentang diri kita sebagai manusia yang cenderung memposisikan diri dalam relasi dominan dibandingkan ciptaan Tuhan lainnya sehingga kita menjadi terasing dari ciptaan lain. Relasi dominan menujukkan hubungan erat antara sikap dominasi terhadap alam dan sikap dominasi dalam struktur patriakal. Dengan demikian dari perspektif gender, analisa terhadap kerusakan lingkungan perlu juga menggali lebih jauh analisa struktur sosial.  Oleh karena itu perjuangan dalam melindungi alam juga terkait erat dengan perjuangan untuk struktur sosial yang baru seperti juga ditekankan oleh Vandana Shiva. 

Baca Juga :  Menjiwai Kedaulatan di Maskot Festival Mosintuwu
Toponyilo, nelayan yang mengambil ikan dengan cara monyilo mengibarkan bendera merah putih di perahu-perahu kecil mereka yang mengeliling kapal keruk PT.Poso Energy yang mereka duduki sejak Selasa 11 Agustus 2020 karena melakukan aktivitas yang mengganggu nelayan mencari nafkah. Foto : Dok.Lani

Para aktivis Penjaga Danau Poso melihat dengan jelas sikap dominasi terhadap alam ini di perspektif para pemimpin lokal, pemimpin umat dan PT Bukaka yang berkepentingan dengan proyek di Danau Poso. Para Penjaga Danau Poso ini mengkritisi sikap hierarkis dan dominasi terhadap alam ini. Mereka berusaha menunjukkan adanya hubungan erat antara manusia dan semesta termasuk Danau Poso. Kehidupan masyarakat di sekitar danau telah terjalin erat dengan danau dan nampak dalam nilai-nilai budaya dan tradisi mereka. Lewat beberapa aksi budaya , misalnya aksi Montibu di Danau Poso dan Megilu, Penjaga Danau Poso menunjukkan bahwa apa yang sedang diperjuangkan ini tidak hanya tentang budaya dan tradisi di danau tetapi terutama juga tentang perlindungan lingkungan alam. Masyarakat harus melindungi alam karena mereka ingin tetap hidup bermitra dengan alam semesta khususnya danau Poso. 

Salah seorang aktivis Penjaga Danau Poso, Pdt Yombu Wuri mengkritisi keserakahan korporasi yang mengganggu kehidupan di danau dan sekitar  danau Poso. Keserakahan dan rasa tidak puas dengan hasil dari proyek yang sudah dibuat di tempat lain telah menimbulkan masalah sosial dan lingkungan di danau Poso. Keserakahan ini adalah bentuk dari sikap dominasi terhadap manusia lainnya dan juga dominasi terhadap alam. Keserakahan telah membutakan spirit hidup bersama dan spirit hidup bermitra dengan ciptaan Tuhan lainnya. Teologi semesta yang ditekankan oleh Lian Padele adalah bentuk Ekoteologi yang memberi  pengakuan terhadap alam sebagai sesama ciptaan Tuhan. Dengan adanya pengakuan bahwa alam adalah sesama ciptaan Tuhan maka hubungan manusia dan ciptaan lainnya seharusnya dipahami dalam hubungan sejajar dan bermitra. Kesadaran bahwa manusia hidup di bumi ini berdampingan dengan mahluk ciptaan Tuhan lainnya seharusnya menggantikan pemahaman penguasaan (model dominasi manusia) yang menjadi ciri manusia kontemporer serta ciri paradigma ekonomi dan pembangunan kapitalis. Sayangnya kekayaan yang dihasilkan alam dan pekerjaan masyarakat lokal serta pengetahuan mereka akan alam danau Poso (beragam jenis ikan serta ekosistem di danau dan sekitarnya) tidak terlihat dan diperhitungkan dalam perspektif pembangunan ekonomi pemerintah lokal dan korporasi. 

Mengkritisi perilaku dominasi manusia terhadap alam semesta, ajaran teologi semesta yang ditekankan oleh Lian Padele secara sadar mengembangkan  hubungan kemitraan dalam pengakuan bahwa danau adalah sumber kehidupan. Dalam hubungan kemitraan yang sejajar ini, aspek yang sangat penting untuk dimiliki adalah sikap adil  terhadap manusia atau komunitas lainnya dalam pemanfaatan sumber  daya secukupnya dan terutama sikap adil terhadap alam sendiri. Inilah wujud nyata dari spiritualitas kemitraan.

Baca Juga :  Kalender Musim Masapi Danau Poso

Spiritualitas ekologis dalam kemitraan yang sejajar seharusnya bisa mempengaruhi keputusan pola hidup masyarakat, keputusan rencana pembangunan infrastruktur, keputusan pembangunan ekonomi dan banyak keputusan hidup lainnya. Spiritualitas kemitraan menuntut suatu sikap untuk ‘mendengarkan alam semesta’. Alam semesta sudah banyak memberikan  kepada kita air dan makanan sehingga kita bisa hidup. Sebagai manusia yang hidupnya tergantung pada kemurahan alam, kita harus menghormati persaudaraan kita dengan alam semesta sebagai sesama ciptaan Tuhan.  Dengan demikian seharusnya kita hidup dalam persatuan dengan alam semesta dan bukan justru dalam keterasingan dengan alam semesta. Spiritualitas kemitraan ini sebenarnya telah ditunjukkan dalam hidup para nelayan dan para petani danau Poso. Dalam konteks Danau Poso, akar dari gerakan melindungi danau adalah kesadaran bahwa danau ini adalah ciptaan dan pemberian Tuhan yang harus disyukuri sebagaimana yang dituturkan Iin Hokey, salah satu aktivis Penjaga Danau Poso. Dengan kesadaran bahwa danau tersebut adalah pemberian Tuhan maka masyarakat lokal bergerak untuk memperjuangkan keberlanjutan kehidupan komunitas lokal beserta nilai budaya, tradisi dan sumber hidup mereka serta melindungi kekayaan ekosistem danau Poso. Mereka ingin terus hidup bermitra dalam persaudaraan, dalam persatuan dengan alam danau Poso.

Lebih lanjut lagi sangat penting bagi kita untuk mempertanyakan dimana keberpihakan gereja? Gereja kita berhadapan dengan sistem nilai yang bertabrakan yaitu antara nilai konsumerisme dan paradigma ekonomi kapitalis dengan nilai spiritualitas kemitraan bersama alamsebagai sesama ciptaan Tuhan. Apakah gereja kita sudah sungguh melayani jemaat Tuhan yang adalah para petani dan nelayan yang hidup bersama dengan alam danau Poso? Sejauh mana gereja turut berperan dalam menjaga ruang hidup bagi para petani, nelayan dan generasi masyarakat lokal selanjutnya? Apakah gereja menyadari apa yang dipertaruhkan ketika nilai konsumerisme dan sikap serakah mengancam keberlanjutan lingkungan alam dan nilai bersama budaya masyarakat lokal?  

Merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini, kita sebagai gereja perlu secara jujur dan berani untuk bertobat serta mengakui peran kita dalam penghancuran alam. Hal ini memang tidak mudah tetapi kesadaran dan pertobatan adalah langkah awal yang baik bagi kita untuk bergerak membangun hubungan kemitraan yang sejajar dengan alam dan perspektif yang menghormati semesta. Gereja tidak boleh tinggal diam di hadapan permasalahan sosial dan lingkungan. Harapan ada bila gereja mau belajar dan bergerak bersama masyarakat adat, LSM, pemerintah lokal, aktivis lingkungan yang menggunakan berbagai pendekatan untuk secara sadar memperjuangkan keberlanjutan lingkungan bersama-sama. 

Pustaka :

[1] Wilis Jenkins, “After Lynn White: Religious Ethic and Environmental Problems,” dalam The Journal of Reigious Ethic vol 37 issue 2, 2009, hal.286.

[2] Wilis Jenkins, “After Lynn White: Religious Ethic and Environmental Problems,” hal.288-289.

[3] Christopher Stone, “ Moral Pluralism and The Course of Environmental Ethics, dalam Journal of Environmental Ethics vol.10 no.2, 1988, hal 143-144.   

[4] Christopher Stone, “ Moral Pluralism and The Course of Environmental Ethics, dalam Journal of Environmental Ethics vol.10 no.2, hal 146.

[5] Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology and Development, New Delhi, Zed Books, 1988, hal.47-48

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda