Lupakan Santoso, atau cerita tentang mereka yang katanya bersembunyi di gunung Tamanjeka, sesungguhnya cerita tentang Poso banyak kabar baiknya. Sangat banyak. Demikian pesan yang disampaikan para tokoh masyarakat dalam kunjungan Seknas Jaringan Gusdurian saat ke Poso. Respon yang sama diungkapkan oleh Alissa Wahid , putri sulung mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dalam kunjungan seharian di Poso, 5 Juni 2018, Alissa Wahid menyampaikan kekagumannya pada keindahan alam Poso dan menyatakan optimisme atas cerita baik dari Poso yang bisa kuatkan narasi kebangsaan Indonesia.
“Langsung merasa hijau dalam perjuangan menegakkan kedaulatan hidup rakyat” demikian tweet-nya, begitu menginjakkan kaki di Dodoha Mosintuwu kantor Institut Mosintuwu yang terletak di tepi Danau Poso
Perasaan optimisme ini melandasi diskusi bersama para tokoh agama Islam, Kristen dan Hindu di Kabupaten Poso untuk mencari narasi lokal Poso untuk narasi ke-Indonesia-an perspektif lintas agama. Selain Alissa Wahid, dialog yang merupakan kerjasama Gusdurian Nasional dan Institut Mosintuwu ini menghadirkan Savic Ali, aktivis mahasiswa 98 yang juga direktur NU Online serta jaringan Gusdurian Sulawesi serta Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu.
Dalam diskusi yang dihadiri 15 tokoh agama Islam, Kristen dan Hindu di Kabupaten Poso, Alissa mengemukakan hasil penelitian yang dilakukan Gusdurian di Sulawesi. Hasil penelitian Gusdurian yang menemukan meningkatnya sikap intoleransi ditengah masyarakat, khususnya kaum muda. Sikap intoleransi bermuara pada radikalisme. Penelitian ini menunjukkan makin tingginya ekslusivisme beragama di Indonesia dan Sulawesi, termasuk di Sulawesi Tengah. Gejala ini menunjukkan beratnya tantangan yang dihadapi kelompok Islam moderat dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk tetap mempertahankan Indonesia yang berazaskan Pancasila.
Ekslusivisme yang berujung pada radikalisme ini terungkap lebih jelas dalam sikap remaja di Palu. Dari penelitian Gusdurian ini ditemukan ada 14 anak remaja yang mengaku siap menjadi pembom bunuh diri. Dari jumlah itu, 3 orang mengaku sangat siap.
Mencermati keadaan ini, menurut Alissa Wahid dibutuhkan narasi yang memperkuat ke Indonesiaan ditengah masyarakat. Karena itulah, Gusdurian mengajak para tokoh agama dan anak-anak muda berembuk untuk merumuskan langkah mengangkat kearifan lokal yang menjadi kekuatan bersama mempertahankan ke Indonesiaan. Saat ini, kelompok radikal jumlahnya memang masih kecil. Namun melihat pengaruh mereka dikalangan generasi muda, bukan tidak mungkin, dimasa mendatang ekslusivisme agama akan makin menguasai publik.
“Ekslusivisme agama membuat orang merasa superior dan begitu bertemu dengan pemahaman superioritas maka paham ini semakin hidup. Jika masih kecil, pengaruhnya mungkin belum begitu terasa. Namun jika sudah besar ini akan berbahaya”kata Alissa.
Savic Ali, direktur nu.or.id mengatakan, kebangkitan kelompok radikal di Indonesia sudah sampai pada sikap melawan pemerintah dengan berusaha mengganti dasar negara. “Bila di Indonesia kelompok ini memiliki senjata bisa sangat berbahaya”kata aktivis muda NU ini.
Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu yang menjadi pembicara ketiga dalam diskusi ini memaparkan kuatnya narasi kebangsaan orang Poso bahkan pada saat konflik terjadi. Saat dipengungsian di hutan menurutnya, orang Poso yang berbeda agama bahkan saling menolong. Diceritakan pula tradisi kebudayaan Poso yang seharusnya menjadi modal bersama narasi dari Poso untuk Indonesia tentang penghargaan keberagamaan.
Membangun narasi ke Indonesiaan dari Poso yang kongkrit ditawarkan ketua STT GKST, Dr Yuberlian Padele, dikatakannya, Indonesia adalah rumah kita bersama, menjadi tempat tinggal kita semua. “Menjaga perbedaan adalah juga kristiani. Toleransi dan perbedaan itu juga harus kita jadikan kotbah di Gereja”kata mantan ketua umum majelis sinode GKST itu.
Diskusi yang berakhir dengan buka puasa menyepakati nilai-nilai Tuwu Malinuwu, Tuwu Siwagi dan Sintuwu Maroso menjadi narasi yang harus diperkuat dengan cerita keseharian masyarakat Poso yang saling menghidupi, saling menopang dan bekerja bersama-sama. Tuwu Malinuwu yaitu saling menghidupi antara lain ditampilkan dalam saling mendukung antar orang Poso saat terjadi pernikahan maupun kedukaan , yaitu memberikan sumbangan materiil maupun psikologi. Sementara itu Tuwu Siwagi yang artinya saling menopang terlibat dalam tradisi bekerjasama. Mesale, atau bekerja bersama-sama pada suatu tempat secara bergantian misalnya sawah atau ladang, adalah contoh yang masih sebagian besar masyarakat mengerjakannya.
“Sintuwu Maroso bisa jadi menggambarkan keutuhan hidup bersama di Poso. Sintuwu Maroso jadi inti budaya berpikir positif masyarakat Pamona , ada pedoman tentang saling menghargai, saling menghidupi dan saling tolong menolong” demikian Pdt. Asyer Tandampai dalam beberapa tulisannya .
Direncanakan hasil diskusi ini akan ditindaklanjuti dengan membangun narasi Poso untuk kampanye Poso sebagai tanah harapan .
“Mari bercerita hal baik dari Poso untuk Indonesia termasuk soal perjuangan untuk mempertahankan tanah, membangun perdamaian” demikian ajakan bersama seluruh peserta di akhir diskusi terfokus.
Gusdurian dan Mahasiswa di Poso Diskusikan Wadah Perjuangan Bersama
Kehadiran koordinator nasional Gusdurian, Alissa Wahid yang merupakan putri sulung almarhum Gus Dur , mantan Presiden Republik Indonesi ke empat di Dodoha Mosintuwu, dimanfaatkan oleh puluhan mahasiswa yang ada di kabupaten Poso untuk berdiskusi membangun jejaring gerakan mahasiswa. Diskusi ini digagas oleh jaringan Gusdurian Poso.
Dalam diskusi yang dimulai sejak pukul 19:00 hingga tengah malam itu hadir pula Savic Ali, aktivis muda Nahdlatul Ulama yang juga direktur nu.or.id. Dalam pembuka diskusi, Savic menjabarkan pentingnya memiliki idealisme dalam diri setiap mahasiswa untuk membangun gerakan yang mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Adapun Alissa Wahid menegaskan bahwa, perjuangan Gusdurian tidak dalam rangka menentang negara atau orang akan tetapi melawan perilaku-perilaku yang tidak benar.
“Namun untuk melakukan itu selain pengetahuan dibutuhkan usaha membangun jaringan diantara kelompok-kelompok mahasiswa menjadi sebuah gerakan bersama”kata Savic.
Menyambut Savic Ali, sejumlah mahasiswa yang merupakan utusan organisasi-organisasi intra kampus langsung memberikan respon. Rian Djamorante dari Front Mahasiswa Nasional (FMN) menyoroti kondisi pendidikan yang dianggapnya belum memberikan solusi terhadap problem yang dihadapi masyarakat.
“Biaya kuliah naik terus. Semakin mahal bahkan sudah diluar kemampuan orang tua untuk membayarnya. Sementara pada saat mahasiswa kelar kuliah, lapangan pekerjaan justru tidak tersedia”.
Sementara itu perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa Unsimar mengkritisi perlakuan masyarakat terhadap Pancasila yang menurutnya hanya dijadikan hiasan dinding.
“Pancasila hanya kita kenal pada saat upacara hari senin saja, diluar itu tidak, karena itu kita harus memenangkan Pancasila”. Kritik terhadap pengaruh penggunaan simbol-simbol Sara dalam politik pilkada tidak luput dalam diskusi yang berlangsung hingga larut ini.
Dihadiri oleh BEM Unsimar , BEM Unkrit, BEM STIKES, perwakilan mahasiswa dari STT Tentena, juga GP Ansor, PMII, GMKI Tentena dan Poso, diskusi juga mengarah pada bagaimana agar mahasiswa dan anak muda bisa relevan berperan dalam . Kehadiran sekitar 50 mahasiswa di Dodoha Mosintuwu ini mendiskusikan bagaimana mahasiswa bisa berperan relevan dalam kehidupannya.
Perwakilan PMII Poso misalnya menceritakan bagaimana dikampungnya yang ada di pelosok kabupaten Tojo Una-Una menjadi panas karena pengaruh pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu. Hal itu menurut dia karena diseretnya isu agama dalam proses perebutan kekuasaan.
“Bayangkan di Ujuntibu, panasnya pilkada Jakarta itu terbawa, cuma kita memang sabar saja, sebab orang sudah pake mengkafirkan sesama”.
Adapun perwakilan dari mahasiswa STIKES Bakti Husada Poso menceritakan bagaimana dia yang merasakan dampak konflik Poso sempat merasa benci terhadap orang dengan keyakinan berbeda.
“Saya merasakan itu karena konflik terjadi pada saat saya masih kecil dan ikut dibawa-bawa waktu mengungsi. Tapi itu sudah masa lalu, kita harus berubah”katanya. Hal ini direspon oleh mahasiswa lainnya yang bersepakat untuk membangun gerakan bersama.
Beragamnya persoalan yang disampaikan para mahasiswa ini kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana agar ada organisasi yang menjadi payung bersama para mahasiswa ini untuk bergerak bersama memperjuangkannya. Lian Gogali, Direktur Institut mosintuwu yang menjadi moderator diskusi kemudian mendiskusikan bersama para mahasiswa untuk merumuskan langkah selanjutnya agar diskusi ini tidak lantas selesai begitu saja tanpa aksi tindak lanjut.
Setiap organisasi memberikan pandangannya terkait langkah selanjutnya tentang pentingnya wadah bersama untuk menjadi alat perjuangan selain organisasi kampus yang sudah ada. Sebagian besar berharap agar ada pertemuan lanjutan untuk membahas langkah-langkah mengkongkritkan hasil diskusi. Jaringan Gusdurian Poso menjadi wadah bersama untuk mahasiswa secara individu menggali nilai-nilai perjuangan mahasiswa merespon persoalan yang terjadi di sekitar mereka.