Pemulasaraan Jenazah, Dialog Mencari Persamaan dalam Islam

0
675
Training pemularasan jenazah di Desa Tokorondo. Foto : Dok.Mosintuwu/Pian

Dalam ajaran Islam, jika ada orang yang meninggal  maka wajib bagi seluruh ummat Islam menguburkannya. Bila sudah ada yang melakukannya, maka ummat yang lain gugur dari kewajiban itu. Ini disebut Fardhu Kifayah. Namun di tengah ummat Islam ada perbedaan mahzab bagaimana cara mengurus jenazah. Perbedaan itu tidak jarang menjadi sumber pertengkaran termasuk di desa-desa berpenduduk Islam di kabupaten Poso.

Selain perbedaan pandang dalam caranya. Problem lain adalah, semakin sedikit umat Islam yang punya pengetahuan mengurus jenazah di desa. Dalam sebuah diskusi, Andi Baso Tahir, ketua BPD desa Tokorondo kecamatan Poso Pesisir mengatakan, tahun 2022 lalu, ada warga dari dusun Pasau, desa tetangga mereka datang mencari pegawai Syara desa Tokorondo dengan maksud meminta agar memandikan dan mengkafani jenazah di tempat mereka. Perbedaan pandang kedua, apakah perempuan boleh ikut mengantarkan jenazah ke pemakaman? ini menjadi isu yang tidak kurang menimbulkan pertengkaran , tidak jarang hingga ke dalam keluarga.

Jadi masalahnya, selain ada perbedaan pendapat di internal ummat Islam, jumlah orang yang punya pengetahuan melakukannya juga sudah semakin berkurang. Di desa Lape dan Tokorondo, jumlahnya hanya tersisa beberapa orang tua saja, baik perempuan maupun laki-laki. Dalam rangka mencari kesamaan pandang dan memberikan akses pengetahuan kepada lebih banyak orang, training pemulasaraan jenazah diselenggarakan oleh Pegawai Syara Desa Tokorondo dan Desa lape bekerjasama dengan Institut Mosintuwu sebagai bagian  dari kelas sekolah keberagaman.

“Harapannya, training ini membuat pengetahuan pengurusan jenazah tidak terpusat di pegawai Syara saja, tetapi juga ada ditengah masyarakat luas”. Demikian Andi Baso Tahir, Ketua BPD Desa Tokorondo dan salah seorang inisiator training ini mengatakan.

Training pemulasaran di desa Lape antar kelompok agama Islam. Foto : Dok.Mosintuwu / Pian

Mencegah Perpecahan Mengurus Jenazah

Sekitar 34 orang warga desa Lape hadir sejak pagi hari di tanggal 28 Juli 2023 di Balai Pertemuan. Mereka mendengarkan penjelasan 2 orang narasumber, yakni Abdul Hamid, Kepala KUA Poso Pesisir dan Muhamad Salman, imam Masjid Desa Pinedapa.

Baca Juga :  Ranta, Sisa Peradaban Lembah Bada yang Hampir Hilang

Abdul Hamid mengatakan, training ini sangat penting karena menyangkut salah satu kewajiban penting umat Islam dimanapun berada. Sementara jumlah orang yang punya pengetahuan dan kemampuan melakukan pemulasaraan jenazah semakin berkurang. Di desa rata-rata tinggal 3-5 orang, mereka umumnya orang-orang tua. Inilah salah satu tantangan serius yang dihadapi umat Islam di kabupaten Poso. Tantangan lainnya adalah semakin kurangnya anak muda yang mau belajar pemulasaraan jenazah. Kondisi ini menurut Abdul Hamid menjadi tantangan serius yang dihadapi ummat Islam di Poso.

“Kalau kekurangan ini tidak segera kita atasi akan membuat banyak faham-faham baru yang bisa memecah belah ummat lebih mudah masuk”katanya.

Dia berharap, training ini menjadi solusi bukan hanya meningkatkan jumlah warga yang bisa mengurus jenazah namun juga mencegah pertentangan yang tidak perlu ditengah ummat mengenai tata cara memperlakukan jenazah. Soal banyaknya perbedaan dalam proses pemulasaraan jenazah Muhamad Salman menjelaskan ‘Cara Umum’. Cara ini menurut dia berguna untuk menghalau perbedaan-perbedaan yang tidak substansial. Dia mengatakan, yang paling penting dalam memulasarakan jenazah adalah mengetahui dasar hukumnya.

Dia membacakan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah :

“Lima hal yang wajib dilakukan seorang muslim terhadap saudaranya; yaitu menjawab salam, mendoakan orang bersin, menghadiri undangannya, mengunjungi orang sakit, dan mengantarkan jenazahnya”. (HR. Muslim)

Mengenai jumlah lapisan kain kafan yang digunakan yakni perempuan 5 lapis dan laki-laki 3 lapis tidak ada perbedaan. Perbedaan justru ada pada cara memotong kain. Sebagian berpendapat, kain sebaiknya disobek, sebagian lagi berpendapat kain digunting. Tentang perbedaan ini, baik Abdul Hamid maupun Muhamad Salman menyerahkan pada kebiasaan yang berlaku dimasing-masing tempat.

Salman mengatakan “Itu bukan hal prinsip yang perlu diperdebatkan. Lakukan saja menurut kebiasaan di tempat masing-masing”.

Dimana Posisi Perempuan?

Seorang peserta perempuan berdiri sambil mengacungkan tangan. “Saya mau bertanya. Bagaimana kami perempuan? apakah boleh memandikan atau melihat proses memandikan ketika yang meninggal itu adalah suami kami?”

Baca Juga :  Mosikola Teologi : Berteologi yang Kontekstual Membebaskan

Menjawab pertanyaan itu, Mohamad Salman mengatakan,perempuan tidak boleh datang dan memandikan suaminya kecuali jika tidak ada penduduk lain lagi di tempat itu yang datang mengurus jenazah. Salman menambahkan penjelasannya bahwa sebaliknya jika yang meninggal adalah seorang istri, suami tidak boleh datang dan memandikan.

Pertanyaan peserta perempuan itu menimbulkan diskusi menarik tentang posisi perempuan dalam tradisi pemakaman menurut Islam. Bukan hanya apakah boleh ikut memandikan jenazah laki-laki apakah itu suami, orang tua atau anaknya. Juga apakah perempuan boleh ikut prosesi pemakaman? Muhamad Salman mengatakan, sebaiknya perempuan tidak ikut ke pemakaman. Dia mendasarkan pendapatnya pada hadits yang diriwayatkan dari Ummu Athiyyah. “Kami dilarang mengiringi Jenazah”. Saman menambahkan, larangan perempuan ikut ke pemakaman karena biasanya perempuan menarik perhatian banyak laki-laki, terutama bila pakaian yang digunakan menunjukkan bentuk tubuh dan wajahnya menarik gairah.

Namun pandangan yang disampaikannya ini sebenarnya tidak disepakati oleh para ulama. Umumnya para ulama di dunia tidak mengkategorikan larangan itu sebagai perbuatan haram. Dan tidak secara tegas melarang perempuan ikut ke pemakaman.

Hal lain yang bisa disebut mendiskreditkan perempuan dalam prosesi kematian ini adalah pandangan bahwa hati perempuan lemah sehingga bisa menangis meraung-raung sehingga membuat perhatian dari mayat teralihkan. Dalam Islam memang ada beberapa Hadits yang melarang orang menangisi kematian. Namun yang dilarang adalah tangisan yang berlebihan atau meratap.

“Bukan dari golongan kami siapa yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju, dan menyeru dengan seruan jahiliah (meratap).” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103).  Meski sebenarnya menangisi orang meninggal boleh, namun banyak yang tidak memahami konteks Hadits itu sehingga menanggap kesedihan, lalu menangis karena ada yang meninggal adalah hal dilarang.

“Kalau keluargaku atau anakku mati, biar dilarang, tetap saya mau ikut ke pemakaman. Siapa yang mau larang?”seorang peserta perempuan berteriak sengit. Menurut dia, melarang perempuan ke pemakaman adalah aturan yang tidak adil dan tidak jelas dasar hukumnya.

Baca Juga :  Melatih Mediator Damai Poso, Mendengarkan dan Berpikir Ke Depan

Dalam penjelasannya mengenai larangan perempuan mengantarkan jenazah ke pemakanan sebagaimana dikutip dari laman nu.or.id, Hafidz Kurniawan mengatakan itu bukan larangan keras dalam agama. Apalagi dimasa sekarang, partisipasi perempuan mengantarkan jenazah ke pemakaman adalah hal lumrah. Namun dia meminta baik perempuan maupun laki-laki menjaga sikap sepanjang prosesi pemakaman hingga selesai.

Perempuan Memandikan Jenazah

Kegiatan yang sama diadakan di desa Tokorondo pada tanggal 29 dan 30 Juli 2023. Karena banyaknya peserta, training dibagi dua kelompok, perempuan dan laki-laki. Pembagian ini disepakati sepekan sebelumnya dengan alasan untuk efektifitas training.

Jika di Desa Lape training memerlukan relawan sebagai objek jenazah yang dimandikan, di Tokorondo sudah ada manekin yang disiapkan. Banyaknya jumlah peserta perempuan di Tokorondo menggambarkan pentingnya menambah perempuan yang bisa melakukannya di desa.  Dari sekitar 20 orang peserta misalnya, hanya sekitar 5 orang yang punya pengalaman memandikan jenazah..

Itu sebabnya, selama training, semuanya aktif bertanya mulai dari hal paling dasar yakni dasar hukum dan syarat-syarat dalam memandikan jenazah dalam hukum Islam. Aktifnya perempuan di Tokorondo juga bukan hanya dilihat dari jumlah pesertanya, namun juga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selama training.

“Berapa lapis kain untuk membungkus?”tanya seorang peserta. Apakah tali pengikatnya harus dilepas ketika sudah dimasukkan ke liang lahat?, demikian pertanyaan lainnya. Di Tokorondo, tidak ada pertanyaan tentang boleh tidaknya perempuan ikut mengantarkan jenazah ke pemakamanan. Semua peserta menyerahkan pandangan soal ini kepada masing-masing orang.

“Semua kembali kepada keyakinan masing-masing. Tidak perlu saling menyalahkan apakah boleh atau tidak”kata Hadra seorang peserta. Apa ang dikatakan Hadra menunjukkan kenyataan saat ini dimana setiap prosesi ke pemakaman selalu dihadiri banyak perempuan.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda