Pesan Damai dari Bakul Ikan

0
989

“Ikan, ikan, ikan segar. Lima ribu sekilo”

Waktu kecil, suara ibu yang berjualan ikan keliling di desaku adalah hal yang aku tunggu. Bukan karena aku suka makan ikan, tetapi aku menyukai rasa hangat di dada ketika melihat ibu penjual ikan yang berpenampilan berbeda dari mamaku.

Mama biasanya menggunakan daster dan mengikat rambut hitamnya dengan rapi.  Ibu penjual ikan menggunakan daster yang lebih panjang dari mama dan menutup kepala dengan kain.

Setiap mama membeli ikan, aku akan ikut sambil mengintip di balik punggung mama untuk bisa melihat ibu penjual ikan. Si ibu seperti biasa akan senyum dan menyapaku:

“Mia, Mia apa kabar? Kok gak pakai sendal? Mana sendalnya?”

Seperti biasa juga aku tidak menjawab, hanya akan tersenyum sambil bergelayut di daster mama

Tidak butuh waktu lama untuk memilih dan membayar ikan. Tapi mamaku dan si ibu penjual  ikan menghabiskan waktu lebih lama karena bercerita akan banyak hal : bagaimana kegiatan melaut, apakah hasil panen padi berhasil dengan baik, cara membuat ikan asin yang tahan lama, bahkan di mana penjual minyak tanah yang paling murah.

Anehnya ketika saling menanyakan kabar sanak saudara di desa lain, suara mama dan si ibu penjual ikan akan berbisik , bahkan kadang aku merasa mama sengaja memintaku untuk mencari sendal hanya supaya aku tidak mendengar apa yang sedang mereka bahas.

Masa kanakku dipenuhi memori itu. Ibu penjual ikan yang menutup kepala dengan kain dan selalu bertanya banyak hal padaku

“Mia, sendalnya mana? Mia, sini ibu lap ingusnya. Mia, mama mana? Mau beli ikan? Wah Mia gunting rambut? Jadi lebih manis ya? Mia, Mia ulang tahun hari ini? Selamat ulang tahun”

Selalu seperti itu. Semua berjalan dengan baik-baik saja dan perasaan hangat didadaku juga selalu mendampingi.

Beberapa bulan berlalu.

Saat aku sudah bisa memakai sendal dengan baik, pagi itu ada yang berbeda, aku tidak mendengar seruan “ikan,ikan,ikan” seperti pagi-pagi sebelumnya. Sampai waktu makan siang, aku masih menahan diri untuk bertanya pada mama, tetapi setelah makan malam rasa penasaran ku tidak terbendung

“Mama, ibu yang biasa teriak ‘ikan’ikan’ikan’ itu dimana? Kenapa hari ini tidak datang?” tanyaku

“Oh ibu Sarino? Ibu Sarino mungkin sedang sakit sayang sampai tidak jual ikan hari ini” jawab mama

Baca Juga :  Bingka Wando , Warisan Lokal yang Bernilai Internasional

“Sakit apa” tanyaku lagi

“Umh, kelelahan mungkin? Kan ibu Sarino jualan ikan setiap hari, jadi sepertinya hari ini ibu Sarino mau istrahat” jawab mama dengan lembut

Aku mengangguk , meskipun tidak paham jawaban mama. Yang tidak sempat kulihat dan kusadari adalah senyum cemas mama.

Hari-hari berikutnya berjalan dengan asing. Tidak ada suara ibu Sarino berjualan ikan. Lingkungan rumahku terasa jauh lebih sunyi. Papa tidak biasanya sekarang lebih banyak tinggal di rumah, tidak ke kebun. Aku tidak diizinkan untuk bermain di teras rumah. Kata papa bermain sembari menemani mama di dapur jauh lebih asyik. Aku menuruti saran papa.

Hingga suatu malam aku terbangun dalam pelukan mama. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi, aku bisa mendengarkan detak jantung mama. Nafasnya berhembus tidak beraturan.

Papa dengan suara yang serak berseru “

Gendong Mia, tinggalkan  yang lain. Sudah? Ayo sini lewat belakang”

Aku terguncang selaras dengan langkah kaki mama yang terburu-buru. Rambut mama yang panjang terurai menutup sebagian pandangan ku. Aku tidak bisa melihat jelas di tengah kegelapan desa. Yang kuiingat ada bunyi letusan yang memekakkan telinga dan suara tangisan dari beberapa arah termasuk suaraku sendiri. Aku tidak tahu sejauh apa mama berjalan sambil menggendongku. Hal pertama yang aku lihat ketika membuka mata adalah punggung papa yang sedang duduk bercerita dengan bapak-bapak lain yang aku kenal dari sekitaran tempat tinggalku. Kami sudah tidak lagi di desaku.

“Mia, sudah bangun sayang? Kita main disini dulu ya, nanti papa akan buat kandepe buat Mia main, bisa main masak-masak dengan teman yang lain”

Sembari berkata seperti itu aku menatap wajah mama yang kelelahan . Mata mama bengkak, entah karena tangisan atau kurang tidur

Sejak saat itu aku terhanyut dalam kegiatan yang menyenangkan. Bermain masak-masak di tengah hutan, mandi di sungai berjam-jam! Aku dan beberapa teman bisa berlarian tanpa sendal, memetik daun untuk jadi bahan makanan dan selalu berbagi makanan dengan yang lain.

Meskipun bersenang-senang, tapi aku menyadari beberapa hal berubah di sekitarnya. Bukan hanya bahwa kami tinggal di hutan, tapi aku juga bertanya-tanya mengapa orang dewasa di tempat ini termasuk mama dan papa selalu terlihat murung? Apakah mungkin karena mereka tidak bisa main masak-masakan seperti kami? Aku ingat merayakan ulang tahun ke 6 dan 7 di tengah hutan. Ulang tahun ke 6 aku mendapatkan kue yang dibuat dari sagu dan parutan kelapa. Ulang tahun ke 7 masih sama tapi dengan tambahan gula merah. Enak sekali

Baca Juga :  Festival Mosintuwu : Ruang Bertemu, Belajar dan Merayakan Desa-Desa Poso

Suatu hari saat sedang sibuk mengumpulkan batu di sungai, papa datang memanggil.

“Kita akan pulang” kata papa.

Pulang. Sebuah kata yang tanda tanya buatku “pulang”, entah kemana maksudnya. Tapi aku bergegas mengikuti papa.

Ternyata, yang dimaksud pulang oleh papa adalah pulang ke desa. Kembali ke rumah kami di desa. Rumahku baik-baik saja walaupun berdebu. Aku tidak ingat berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh mama dan papa untuk membersihkan rumah hingga tidak terasa asing lagi olehku.

Aku kembali ke rumah tapi kehidupan yang dahulu aku kenal tidak kembali. Desaku masih sunyi. Aku tidak bisa bermain masak-masakan dengan bebas seperti saat di hutan. Aku hanya berpapasan satu dua kali dengan teman-temanku yang juga tidak boleh main diluar oleh orang tua mereka. Meskipun begitu, aku senang. Aku bisa makan dengan baik, aku tidak perlu berbagi tempe gorengku dengan yang lain. Sampai aku  merayakan ulang tahun ke 9 keadaan desaku masih sama. Sunyi dan semuanya berjalan dengan sangat lambat dan terasa melelahkan.

Rabu pagi tahun 2000, aku baru saja selesai berdoa bersama mama dan papa merayakan ulang tahun ku yang ke 10. Saat hendak memotong kue, aku mendengarkan suara sayup-sayur yang sangat akrab di telingaku

“ikan..ikan…ikan…ikan. Ikan segar. 5 ribu sekilo”

Perasaan hangat itu muncul kembali mengiringi langkah kakiku ke arah suara di luar rumah. Mama mengikutiku. Aku sempat melirik mama, matanya berkaca-kaca, wajahnya tersenyum. Tidak lama kemudian, ibu di depan dan samping rumahku juga bermunculan di teras rumah.

Suara itu semakin mendekat

“ikan…ikan…ikan segar. Lima ribu sekilo”

Saat hampir tiba di depan rumahku, mama dan ibu-ibu lainnya terlihat bergegas menghampiri. Itu ibu Sarino. Saya masih mengingat wajahnya.

Melihat mama dan ibu-ibu lainnya bergegas menghampiri ibu Sarino, aku menduga “Wah pasti semuanya rindu ingin makan ikan”.

Anehnya, aku tidak mendengar suara tawar menawar . Yang kedengar dan saksikan, suara tangisan haru diantara mama dan ibu-ibu lainnya. Ibu Sarino nampak menurunkan jualannya ke tanah. Mereka saling berpelukan. Lama dan hangat. Beberapa saat kemudian sebelum aku kembali ke dalam rumah menghabiskan kue ulang tahunku, yang kuingat mama, ibu Sarino dan ibu-ibu lainnya bercerita cukup lama. Mama terlihat menitikkan air mata, juga ibu Sarino dan ibu-ibu lainnya. Entah apa yang mereka ceritakan. Awalnya di teras rumahku, lalu ke rumah tetangga. Bercerita, menangis, berpelukan. Lalu mengulang lagi.

Baca Juga :  Padungku, Sebuah Pesta atau Pengucapan Syukur?

Mama kembali ke rumah dengan 7 ekor ikan. Belakangan aku tahu itu ikan jenis cakalang. Wajah mama sulit kugambarkan. Seperti lega, senang, rindu, juga kelelahan. Tak lama kemudian, tiba-tiba seseorang memanggilku.

“Mia, Mia. Aduuuhhhh Mia sudah besar, lama tidak ketemu” seru ibu Sarino.

Aku berdiri kaku. Mataku entah kenapa berkaca-kaca saat ibu penjual ikan yang kurindukan ini memelukku. Pelukannya dalam dan hangat. Aku punya banyak hal yang ingin aku katakan padanya. Tentang aku yang sudah lebih baik dalam memakai sendal, tidak  lagi ingusan dan betapa senangnya aku akan menikmati menu ikan goreng malam ini.

Sejak hari itu, suara ibu Sarino menjadi hal yang kembali aku tunggu setiap pagi. Melihat sosok ibu Sarino yang membawa ikan di bakul besar yang disimpan di atas kepala selalu membuatku semangat. Aku pernah ingin mencoba membawa bakul ikan sebesar itu di atas kepalaku sambil berjalan keliling desa. Desa tempat ku tinggal perlahan mulai hidup kembali, aku dan teman-teman bisa bermain di teras bersama, papa juga perlahan kembali ke kebun.

Dewasa ini aku tahu, kenapa ibu penjual ikan yang sangat kunantikan selalu menutup kepalanya dengan kain. Ibu Sarino adalah seorang muslim. Ketika konflik pecah di Poso, agama-agama yang ada bersitegang satu dengan yang lain. Dalam keadaan konflik, ibu Sarino berjalan kaki sejauh 20 km setiap hari untuk bisa sampai ke desaku dengan bakul ikan di kepalanya.

Menjual ikan tentu saja adalah alasan kedua, alasan pertamanya karena dia ingin bertemu saudara berbeda iman dan memastikan kami baik-baik saja. Bakul ikan membawanya ibu Sarino kepada kami. Bakul ikan dan teriakan nyaring ibu Sarino akan selalu kuingat.

“ikan,ikan, ikan segar. Lima ribu sekilo”

Cerita : Lani Mokonio

Editor : Lian Gogali

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda