Merawat Sejarah Perempuan Lewat Film oleh Ratna Asmara

0
989
Ratna Asmara dibalik kamera. Foto : Istimewa

Ketangguhan perempuan dalam konstruksi masyarakat patriaki punya jejak sejarah yang panjang. Salah satunya tergambar dalam film dr. Samsi. Film berdurasi kurang lebih 88 menit ini , diproduksi tahun 1952 . Gambarnya masih hitam putih. Film ini sudah dalam bentuk digital setelah  direstorasi dan digitalisasi oleh Kelas Liarsip. Liarsip merupakan sebuah kolektif yang menelusuri arsip-arsip film yang diproduksi oleh Ratna Asmara. Mereka mengerjakannya sejak tahun 2020. Lewat proses panjang, melelahkan dan rumit kini kita bisa menonton filmnya secara digital.  Setidaknya ada tiga hal paling menarik dari film ini. Pertama Ratna Asmara sendiri yang jadi pemeran utama sekaligus sutradara. Kedua cerita film ini yang berbeda dari naskah aslinya yang sebelumnya dipentaskan teater Dardanella pimpinan Andjar Asmara. Ketiga, upaya digitasasi yang dilakukan kelas Liarsip .

Tokoh utama film, Sukaesih yang diperankan oleh Ratna Asmara, tak pernah mengeluh didera derita hampir sepanjang umurnya. Yatim piatu sejak kecil, hamil diluar nikah di usia muda, terpaksa meninggalkan rumah tempat tinggalnya, kehilangan anaknya di rumah sakit karena diambil menjadi anak dr. Samsi sebagai pengganti anak dr.Samsi yang meninggal. Lalu menikah dengan Leo, lelaki tak bertanggungjawab demi memelihara harapan menemukan buah hatinya. Ketika akhirnya bertemu Sugiat anak kandungnya, dia tidak mengungkap jati dirinya hanya untuk menjaga perasaan perempuan yang sudah merawat anaknya sejak bayi.

Begitulah kisah film produksi Asmara Film tahun 1952,  7 tahun setelah Indonesia merdeka. Sutradaranya Ratna Asmara. Nama belakang yang dipakainya adalah bekas suaminya, Andjar Asmara yang menulis naskah dr.Samsi.  Ratna tercatat sebagai perempuan pertama Indonesia yang jadi sutradara dan memproduksi film. Tapi, namanya seperti tidak pernah dibicarakan seperti Usmar Ismail. Di tahun  itu, Usmar Ismail juga memproduksi film Darah dan Doa.  Usmar Ismail kemudian dikenal sebagai pelopor film nasional.

Tanggal 5 Januari 2023 sore, kami menonton film dr.Samsi  di Perpustakaan Sophia di kantor Institut Mosintuwu.  Efi Sh yang membawa dan memperkenalkan kami pada film ini.

“Kalau saja film ini disutradarai laki-laki, jalan ceritanya pasti beda. Laki-laki jadi menonjol sebab akan jadi pemegang rahasia. Di film ini, Sukaesih yang pegang rahasia. Disitu kekuatannya. Kekuatan perempuan” komentar IYM. Wuri, pendeta emeritus di GKST yang ikut menonton.

Apa yang dikatakan pak Wuri seperti pertanyaan Umi Lestari, penulis biografi Ratna Asmara yang membahas film ini sore itu. Umi menyebut hilangnya nama perempuan dari pembicaraan tentang film Indonesia tidak lepas dari kondisi politik yang berupaya menghilangkan jejak karya perempuan. Posisi penting perempuan seperti hendak dihilangkan dari ingatan publik.

Baca Juga :  Anyaman Rotan Desa Dulumai

Dalam artikel Ratna Asmara and dr Samsi Go to Eye Filmmusseum, Umi menulis, di Indonesia hanya sedikit digitalisasi film karya perempuan dalam 10 tahun terakhir. Begitupun artikel yang khusus membahasnya. Ratna Asmara bahkan dipandang hanya menumpang nama besar suaminya Andjar Asmara yang dianggap Bapak Teater Modern Indonesia.   Umi Lestari menyebutkan jika Usmar Ismail disebut pelopor perfilman nasional maka selayaknya Ratna Asmara juga harus disebut pelopor yang bergabung dalam diskusi lewat zoom.

Ada lapisan penggambaran kekuatan perempuan yang tercermin di film ini.  Apalagi, diceritakan oleh Umi bahwa naskah film yang ditulis oleh Andjar diputar di beberapa negara berbeda dengan cerita . Kontrol atas bagaimana akhir cerita dalam film dr. Samsi ditentukan oleh Ratna Asmara

Menonton film karya Ratna Asmara di Perpustakaan Sophia

Ikut menonton film ini bersama yang lain, saya melihat bagaimana kontrol Ratna untuk memilih bagaimana cerita berakhir membuktikan bagaimana dirinya dengan serius memberikan arti atas posisi perempuan dalam konstruksi sosial. Bukan hanya memaknai posisi perempuan tapi Ratna juga dengan terang menguatkan posisi perempuan dalam pengambilan keputusan.

Sebagai sutradara dan perempuan, Ratna menggambarkan Sukaesih yang tangguh dan berpikir kompleks. Sukaesih memilih menikah dengan orang yang tidak dicintainya bahkan memanipulasinya untuk memastikan punya akses informasi mengenai keberadaan anaknya. Sukaesih mengambil keputusan tidak membuka identitas sebagai ibu kandung anaknya Sugiat yang tinggal bersama dr. Samsi. Sangat mungkin karena tidak ingin melukai istri dr. Samsi yang sudah merawat dan membesarkan anaknya. Atau, karena  rasa syukur pada akses pendidikan yang bisa diraih anak kandungnya karena keluarga dr. Samsi. Pilihan ini bahkan disampaikan secara terbuka kepada dr. Samsi yang ternyata adalah cinta pertamanya .

Dalam film, bahasa tubuh Sukaesih terlihat tangguh dan mengendalikan. Saat mengambil keputusan bahwa tidak perlu memberitahu dirinya sebagai ibu kandung Sugiat, Sukaesih melakukannya sambil rebahan dengan kedua tangannya di bawah kepala, sementara dr. Samsi dan sahabat laki-lakinya duduk di sekitarnya.

Upaya kelas Liarsip melakukan restorasi atas film karya Ratna Asmara bukan hanya membuka sejarah baru perfilman Indonesia dengan menguatkan adanya peran perempuan, tapi juga mencatatkan bagaimana pikiran perempuan dalam merespon jamannya. Film dr. Samsi adalah salah satu karya yang merekam karya sutradara perempuan tapi juga pikiran perempuan atas dinamika sosial masyarakat.

Umi menceritakan alasan mengapa film dr. Samsi ini sebagai langkah awal :

Baca Juga :  Surat untuk Jokowi : PLTA Poso Memiskinkan Kami Warga di Sekeliling Danau Poso

“Dalam sepuluh tahun terakhir ini, tidak ada satupun film karya sutradara wanita Indonesia yang direstorasi.  Meski Ratna Asmara dielu-elukan sebagai sutradara wanita pertama dari Indonesia, film-filmnya belum pernah didigitalkan.  Ketika saya memulai penelitian tentang Ratna Asmara, pertengahan tahun 2020, tidak ada detail tentang biografinya yang ditulis dalam artikel ilmiah.  Berdasarkan beberapa artikel populer, terutama dari kolom gosip di media massa, masyarakat melihat Ratna Asmara sebagai perempuan yang memiliki status istimewa sebagai istri Andjar Asmara sehingga bisa menjadi sutradara film.  Pandangan inilah yang menjadi salah satu faktor yang membuat film Asmara Ratna terpinggirkan dalam industri perfilman.  Meski Armijn Pane pernah membuat validasi atas proses penyutradaraannya, namun namanya jarang disebut dalam artikel yang ditulis oleh dua sejarawan laki-laki pada masa Orde Baru, Misbach Yusa Biran dan Tanete Pong Masak. “

Umi melanjutkan bahwa tanpa film Ratna, mustahil baginya untuk membaca lebih lanjut.  Setelah setahun berjuang sendiri bagaimana memahami Ratna dan film-filmnya, Umi akhirnya bertemu dengan Efi Sri Handayani, Imelda Mandala, Lisabona Rahman, dan almarhum Siti Anisah .  Melalui kelas Liarsip, pada tahun 2021, kami mempelajari historiografi tentang agensi perempuan dalam sinema dan teori melestarikan film dari perspektif Global South.  Diskusi di kelas Liarsip membuka perspektif  tentang bagaimana menulis biografi Ratna, meski tanpa arsip yang “layak”.  Di awal tahun 2022, kelas Liarsip berinisiatif mendigitalkan film-film Ratna.

Peran Perempuan Poso Juga Hilang dari Perbincangan

Penghilangan peran dan karya perempuan dari ruang publik bukan hanya dalam karya seni. Di kabupaten Poso, generasi sekarang tidak lagi mengenal perempuan sebagai pemimpin seperti To po Wurake. Topowurake  merupakan sebutan bagi pemimpin perempuan di Poso. Topowurake memiliki peran sebagai pemimpin spiritual, sebagai tabib, sebagai hakim dan negosiator dalam perang suku. Peran ini dihilangkan dalam proses kolonialisme melalui masuknya agama samawi. Situasi politik Indonesia memperkuat berubahnya peran perempuan dari pemimpin jadi pengurus rumah dan keluarga saja.

Jika peran To po Wurake dimasa lalu dihilangkan oleh kolonialisme yang mengubah perempuan dari pemimpin publik menjadi Nyora, istri. Maka dimasa konflik peran besar perempuan dalam menjalin damai dihilangkan dari pandangan publik.  Proses damai di Poso digambarkan sebagai peran para pemimpin negara  mulai dari Presiden sampai menteri dan tokoh agama yang sudah pasti dominan laki-laki. Para pemimpin ini menginisiasi dan memimpin dialog formal, mempertemukan dan menyuruh pihak yang bertikai bersalaman.

Baca Juga :  Mengungsi dengan Sepuluh Jari, Punya tanah dari beras 5 kilo

Adapun peran ibu Sarino, ibu muslim dari desa Tokorondo yang berjalan kaki menjual ikan ke kampung-kampung berpenduduk mayoritas Kristen saat konflik sudah agak reda tidak dituliskam sebagai cara membangun perdamaian yang paling nyata. Begitu juga Pdt Gebby yang rajin membangun komunikasi dengan pengungsi muslim di hutan lalu mengajak warga yang mengungsi kembali ke kampungnya setelah mengamati bahwa situasi sudah aman. Atau cerita Mama Cici yang memimpin perkampungan pengungsian menjadi perkampungan baru. Saat cerita tentang bagaimana perempuan berperan dalam proses kepemimpinan di masyarakat dan membangun perdamaian tidak dibicarakan, secara perlahan kepemimpinan perempuan juga dihilangkan.

Merawat Dokumentasi, Merawat Ingatan

Film Dr Samsi bisa hidup kembali berkat upaya restorasi arsip yang luarbiasa dari Kelas Liarsip. Dari film ini kita bisa melihat gambaran kehidupan dimasa sebelum kemerdekaan. Kalau tidak salah,  film ini bersetting tahun 1925. Belajar dari upaya ini, kita juga bisa menelusuri arsip-arsip sejarah dan tentang hidup perempuan di Poso dari masa lalu.

Hingga kini, belum ada satu karya ilmiah tentang sejarah perempuan di Poso yang ditulis baik oleh sejarahwan maupun para peneliti.  A.C.Kruyt etnolog Belanda memberikan banyak sumbangan karya tulis yang sangat penting tentang kondisi sosial budaya dan politik Poso dan Sulawesi awal tahun 1900 an. Namun dia hanya sedikit menyinggung soal perempuan dan apa perannya dalam sosok to po Wurake. Tidak ada penjelasan lanjut tentang siapa dan apa serta mengapa seseorang perempuan bisa disebut sebagai pemimpin.

Menonton dr. Samsi memberikan gagasan untuk mencoba menggali kembali sosok to po Wurake ini lewat riset.  Literatur yang membicarakan tentang Poso sejak dahulu dan kini memang masih sangat minim. Sebagian bahkan masih berbahasa Belanda dan Inggris. Ini muga menjadi satu sebab mengapa pengetahuan sejarah Poso ditengah masyarakatnya masih rendah.Saya, Martince Baleona dan Asni Hamidi pernah menuliskan bagaimana peran perempuan dalam konflik dan perdamaian Poso, sayangnya masih belum diakses oleh publik luas khususnya masyarakat Poso.

Mengajak banyak orang untuk meneliti dan menuliskan sejarah Poso menjadi satu pekerjaan menarik untuk mengungkap banyak sisi kehidupan dimasa lalu untuk mencari petunjuk tentang apa yang terjadi saat ini dan kemungkinan dimasa mendatang. Jika buku adalah satu media, maka film tentang Perempuan Poso bisa jadi media lain untuk meningkatkan literasi tentang sejarah perempuan di Poso kepada generasi masa kini.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda