Meningkat dan Menakutkan, Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Poso

0
787
Ilustrasi - canva

Awal tahun 2023 kita dikagetkan dengan kasus perkosaan yang dialami RDS, seorang anak usia 13 tahun di kabupaten Tojo Una-Una. 13 orang pelakunya kemudian ditangkap Polisi. Peristiwa perkosaan ini terjadi siang hari 11 Januari 2023.  Tidak sampai satu bulan kemudian, 1 februari 2023, Polisi di kabupaten Banggai Kepulauan menangkap 10 orang pemuda karena memperkosa seorang murid SMP. Polisi menyebut, perkosaan dialami korban selama 2 tahun, sejak 2020 sampai 2022.

Kasus perkosaan beramai-ramai jadi semacam fenomena baru di Sulteng dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun 2018, 4 orang remaja di kecamatan Poso Pesisir kabupaten Poso memperkosa seorang anak umur 13 tahun. Mereka melakukannya bukan hanya 1 kali.

Tahun 2021, seorang anak 13 tahun di kabupaten Poso juga diperkosa 3 orang dirumahnya sendiri secara bergantian. Kasus ini sudah disidangkan di pengadilan negeri Poso. Masih di tahun yang sama, seorang anak berusia 10 tahun juga diperkosa tidak jauh dari rumahnya. Para pelaku adalah orang-orang yang dikenal baik oleh korban.

Institut Mosintuwu mencatat, sepanjang tahun 2021, 8 orang anak yang mengalami kekerasan seksual. Sedangkan di tahun 2022 ada 6 anak yang mengalami kekerasan seksual, 1 orang jadi korban eksploitasi. Para pelaku umumnya adalah orang yang dikenal oleh korban maupun orang tuanya. Masih di kabupaten Poso, tahun 2022, seorang anak berusia 14 tahun mengalami perkosaan berkali-kali hingga hamil. Pelaku adalah ayah kandungnya sendiri. Berusaha menutupi kasus ini, pelaku bersama beberapa anggota keluarga memindahkan korban ke desa lain.

Rentetan peristiwa ini menimbulkan pertanyaan, apa sebenarnya yang sedang terjadi dimasyarakat kita?

Sejumlah ahli pendapat salah satu sebab banyaknya kasus perkosaan adalah sistem  Patriarkhi yang masih subur ditengah masyarakat. Misalnya dalam beberapa kasus, korban justru dituduh jadi penyebab karena berpakaian terbuka. Faktor lain adalah relasi kuasa yang timpang dimana kekuasaan pelaku lebih dominan.

Setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi seorang pelaku perkosaan, faktor dari dalam dan  luar diri. Dikutip dari thinkuknow.co.uk, faktor psikologis muncul karena beberapa hal, salah satunya adalah kesulitan memahami aturan sosial. Kondisi ini biasanya dipengaruhi oleh pengalaman  hidup masa lalu dan sekarang. Misalnya, seorang anak tumbuh dewasa dengan melihat serta merasakan kekerasan dalam rumah tangga.

Sedangkan konstruksi sosial di masyarakat juga berperan besar membentuk cara berpikir orang dan dapat memberikan alasan yang bisa mereka pakai. Budaya kita misalnya, sering menjadikan perempuan dan anak sebagai objek seksual. Masyarakat masih sering memperlakukan korban pelecehan dengan keraguan, sehingga membuat pelaku merasa lebih yakin bahwa mereka lolos begitu saja. Singkatnya, meski di satu sisi masyarakat geram dengan pelecehan, di sisi lain, banyak pesannya yang justru mempromosikan kekerasan dan mendorongnya.

Baca Juga :  Poso Darurat Kekerasan Seksual, Masyarakat Jangan Takut Lapor

Latar Belakang Pelaku Beragam

Para pelaku perkosaan atau jenis kekerasan seksual lainnya di Sulawesi Tengah punya latarbelakang beragam, dari pelajar, pengangguran, Polisi hingga pejabat negara. Para pelaku perkosaan sepertinya punya kesamaan dalam memandang posisi perempuan khususnya anak, yakni mahluk lemah yang mudah dikuasai.

Di kecamatan Buko, Banggai Kepulauan, seorang anak diperkosa bertahun-tahun oleh 10 orang secara bergiliran. Pelaku pertama dan paling sering memperkosanya adalah sepupunya sendiri, pemilik rumah dimana dia tinggal.

Dari segi umur, para pelaku mulai dari umur 16 tahun.

Dari keterangan Kepolisian Resor Bangkep diketahui, korban yang masih kelas 2 SMP itu tinggal dirumah pamannya yang merupakan seorang kepala desa. Namun anak kepala desa berinisial SP yang berarti sepupunya sendiri justru adalah orang pertama yang memperkosanya. SP juga yang kemudian memberi informasi kepada pelaku pemerkosa lainnya kalau korban adalah orang yang gampangan. Istilah ini maksudnya ‘mudah untuk dikuasai’.

Pandangan anak perempuan mudah dikuasai ini juga menyebabkan 13 orang pemuda di kabupaten Tojo Una-Una memperkosa seorang anak yang masih duduk di bangku SMP. Cara para pelaku mengidentifikasi korbannya juga sama. Yaitu meletakkan label anak perempuan yang mudah dikuasai atau gampangan.

Label atau stigma gampang dan mudah dikuasai juga jadi alasan pejabat Pengadilan Agama Ampana memperkosa seorang pelajar SMK di wilayah itu. Dengan jabatannya sebagai petinggi di lembaga peradilan, dia merasa bisa menguasai korbannya.

Begitu juga seorang perwira Polisi di Parigi Moutong ketika memaksa seorang perempuan untuk berhubungan badan dengannya setelah melihat korbannya itu tidak berdaya karena kekuasaan yang dimilikinya dipandang oleh korban bisa membantu membebaskan ayahnya yang sedang ditahan karena sebuah kasus kriminal.

Setelah sepupu, pejabat, Polisi, pelaku perkosaan paling banyak justru orang-orang terdekat. Catatan Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA) Mosintuwu tahun 2021-2022 menunjukkan hubungan korban dengan pelaku  perkosaan di kabupaten Poso sebagai berikut : tetangga 5 orang, orang sekampung 4 orang, ayah kandung 1 orang , pacar 1 orang.

Cerita Ibu Lina Mendampingi Korban

Kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah kebiadaban yang luarbiasa dilakukan manusia. Namun, tidak sedikit yang berusaha menjadikannya seperti kejahatan biasa. Salah satu contoh sikap itu adalah menyembunyikan kasus ini dengan dalih aib dan ekonomi dan mempermalukan kampung.

Ibu Lina Laando, koordinator Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA) Mosintuwu menceritakan bagaimana sebuah kasus perkosaan terhadap anak oleh ayah tirinya yang ditanganinya dihadapkan pada kekuatan adat di desa yang mengambil alih kasus ini. Para tetua adat menjatuhkan hukuman denda kepada pelaku. Adapun anak yang jadi korban justru dipindahkan dari desa. Paralegal yang menangani kasus ini kemudian menghadapi kekerasan psikis di kampungnya. Dia dianggap tidak menghormati adat dan mencemarkan nama kampung.

Baca Juga :  Perempuan dan Gerakan Literasi untuk Perdamaian

“Kasus perkosaan ini awalnya hanya diselesaikan secara adat. Pelaku hanya didenda seekor kerbau yang di Kamba (diganti) dengan uang. Lalu kasusnya dianggap sudah selesai”kisah Lina Laando, koordinator RPPA Mosintuwu. Kasus ini terjadi di sebuah desa di kecamatan Pamona Puselemba tahun 2021 lalu.

Kasus perkosaan yang diceritakan Ibu Lina Laando sebenarnya hampir dinyatakan selesai begitu saja ketika lembaga adat desa sudah memutuskan hukuman denda kepada pelaku. Untungnya di desa itu ada seorang paralegal RPPA Mosintuwu yang kemudian menggalang petisi dari warga setempat agar kasus itu dibawa ke ranah hukum positif.
Dia berhasil mendapatkan dukungan, dengan modal itu dia melaporkan kasus itu ke kepolisian. Kasus disidik, pelaku kemudian ditangkap. Pengadilan memvonis pelaku 15 tahun penjara. Tapi sang Paralegal justru dihukum di kampungnya. Dia dijatuhkan denda karena dianggap tidak menghormati adat.

Beberapa Penyebab Fenomena Gang Rape

Tahun 2022 kita dikagetkan dengan 2 kasus perkosaan beramai-ramai yang terjadi di kabupaten Tojo Una-Una dan Banggai Kepulauan. Korbannya pelajar, pelakunya anak-anak muda.

Sekjen Kelompok Perjuangan kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah (KPKPST) Soraya Sultan menyebut beberapa hal yang bisa jadi pemicu banyaknya kasus perkosaan. Di beberapa kasus perkosaan yang dilakukan beramai-ramai menunjukkan korbannya berlatar keluarga miskin.

“Semakin miskin suatu wilayah, semakin jauh dari akses informasi, komunikasi dan transportasi, akibatnya makin rentan terhadap kekerasan”katanya kepada mosintuwu.com. Perkosaan beramai-ramai seperti yang terjadi di Tojo Una-Una dan Bangkep menunjukkan hal itu. Kemiskinan juga berkorelasi bukan hanya dengan jumlah kasus kekerasan terhadap anak, tetapi juga perkawinan anak. Pengalaman KPKPST mendampingi penyintas bencana gempa bumi, likuefaksi dan tsunami 28 September 2018 menunjukkan hal itu. Namun karena tidak ada data pembanding, Soraya mengatakan, tidak bisa memastikan apakah jumlah kasus yang terjadi pasca bencana lebih tinggi dari sebelumnya.

Akan tetapi, kemiskinan jadi problem tambahan. Bencana menyebabkan hancurnya ekonomi banyak orang bukan hanya di 3 wilayah yang paling terdampak, tapi juga mereka yang terhubung secara ekonomi. Mencari pekerjaan tambahan menjadi pilihan satu-satunya untuk menghidupi keluarga bagi para penyintas. Pilihan itu membuat perhatian ke anak berkurang drastis.

“Yang tadinya mamanya cuma kerja di kebun. Setelah kebun rusak harus kerja jadi ART. tukang cuci. Otomatis harus keluar rumah untuk beraktifitas. Bapaknya yang tadinya hanya di kebun harus jadi buruh tambang atau TKW. Ada situasi begitu yang menyebabkan orang tua jadi lost control pada anak-anaknya”jelas Soraya.

Problem berikutnya, akses terhadap proses hukum formal. Banyak orang masih masih berpikir kalau mau ke Polisi. Lamanya proses nemakan waktu, tentu konsekuenasinya mengeluarkan biaya juga. Bisa dibayangkan kalau orang yang tempat tinggalnya jauh dari kantor kepolisian.

Baca Juga :  Morono, Tradisi Menangkap Ikan Kecil Danau Poso

Problem ketiga, Soraya menyebut institusi negara sampai di level paling bawah masih rendah dalam menyerap informasi-informasi peraturan. Dicontohkannya mengenai 13 poin SDGS di dalam  UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang belum dipahami betul oleh pemerintah desa.

Padahal, 13 nilai SDGS itu ada poin perlindungan terhadap perempuan dan anak. Dimana pemerintah desa harusnya mengalokasikan anggaran untuk pelaksanannya. Sayangnya nilai-nilai itu tidak diserap secara bersamaan dengan program lain. Kita sudah mahfum, sebagian besar pemerintah desa lebih berpikir bagaimana membelanjakan DD untuk pekerjaan fisik.

Beberapa kasus perkosaan yang menarik perhatian publik tahun 2022.

Pelajar SMP di Perkosa 10 orang Pemuda

Bangkep

Pelajar SMP di Perkosa 13 orang Pemuda

Tojo Una-Una

Pelajar SMK di Perkosa Pejabat Pengadilan Agama

Tojo Una-Una

Anak Usia 12 tahun di perkosa Ayah Tiri

Sigi

Kemampuan Lembaga Komunitas Terbatas

Untuk memudahkan proses advokasi korban kekerasan, KPKPST punya strategi membentuk satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di desa. Pembentukan Satgas ini diback up oleh peraturan menteri diatasnya yang mengatur bahwa Pembentukan Satgas PPA dari kabupaten sampai desa.

Satgas PPA di desa wajib di SK kan oleh Kepala Desa. termasuk dialokasikan dukungan pendanaan. Ini diatur lewat Peraturan Menteri PPPA dan amanat UU. Di Sigi dan Donggala satgas ini sudah berwujud karena ada Perda dan peraturan Bupati.

Pembentukan satgas ini tentu sulit diharap lahir dari inisiatif pemerintah daerah. Lembaga masyarakat sipil seperti KPKPST harus mendorongnya agar terwujud. Padahal anggaran pembentukannya mengacu pada pengalaman KPKPST di Sigi dan Donggala tidak besar. Tapi Soraya mengatakan, yang dibutuhkan adalah pengawalan sampai benar-benar terbentuk.

“Kita mengadvokasi mulai dari kebijakannya, kasusnya, pengorganisasiannya sampai pembentukan strukturnya. Persoalannya, hampir semuanya menaruh beban pelaksanannya di Ngo lokal. Mungkin karena di Pemda anggarannya terbatas”kata Soraya.

Selain Satgas PPA, pekerjaan penting lain yang harus dilakukan untuk menghentikan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah sosialisasi UU nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

UU ini diharap menjadi perisai khususnya bagi anak-anak dari incaran predator seksual yang ada disekitarnya. Salah satu kelebihan UU ini adalah adanya faktor pemberatan bagi pelaku dari golongan tertentu, misalnya guru atau penegak hukum. Hukuman bagi mereka bisa ditambah 1/3 dari vonis yang dijatuhkan hakim. Selain itu UU ini juga mengatur pemberian ganti rugi kepada korban dari pelaku. Ini sifatnya wajib. Untuk pelaksanaan UU ini masih menunggu aturan turunannya untuk bisa dilaksanakan.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda