Film Sekandung Badan : Beda Agama Tidak Putuskan Kekeluargaan

0
184

Komunitas Kayu Hitam meluncurkan film pendek berjudul Sekandung Badan ini diluncurkan di malam kedua Kemping Padu Satu, 9 Agustus 2024. Berdurasi 27 menit, film ini bercerita tentang hubungan kakak beradik yang berbeda agama. Neta yang beragama Kristen dan adik kandungnya Nata yang beragama Islam.

Kakak beradik itu sudah 25 tahun bertemu karena konflik Poso yang terjadi sejak tahun 1998. Sejak itu, hubungan banyak keluarga beda agama menjadi canggung, akibat konflik horisontal yang terjadi hingga 2003. Kerumitan makin panjang karena munculnya berbagai paham yang tidak membolehkan mengucapkan salam kepada yang beda agama, bahkan ada membolehkan pembunuhan terhadap saudara yang berbeda keyakinan.

Pukul 19:00 wita, layar putih berukuran 2×4 meter terpasang di panggung utama kemping yang malam itu diubah sementara menjadi bioskop. Tanpa atap tentu saja. Penonton duduk rapi di bangku kayu depan layar.

Kisahnya dimulai ketika, Neta menerima pesan Nata yang mengabarkan dia akan datang bersama keluarganya di hari Natal. Nata sendiri tidak serta merta mengirim pesan itu. Hatinya bungah, namum disaat yang sama bergumul dengan banyak pertanyaan seputar hubungan beda agama. Misalnya apakah kakaknya akan menerima kehadiran dia dan keluarganya yang muslim? mengingat dia seorang muallaf.

Sebaliknya bagi Nata, apakah harus mengucapkan Assalamualaikum atau Selamat pagi ketika mengetuk pintu rumah adiknya? Bagaimana dengan makanan? Apakah sebagai muslim bisa bermalam di rumah yang beragama Kristen? Meskipun itu adalah saudaranya sendiri.

Film menggambar kebingungan Kakak dan keluarganya saat sempat tertahan di depan pintu karena bingung apakah harus mengucapkan Assalamualaikum atau Selamat pagi saat hendak masuk.

Baca Juga :  Menakar Kesiapan Penanganan Covid-19 di Poso

“Selamat pagi saja, karena biasanya begitu”kata Vita yang berperan sebagai ponakan Dewi kepada kedua orang tuanya.

Diantara semua pertanyaan dan kerumitan itu, terjalinnya kembali hubungan keluarga itu berkat budaya masyarakat Poso yang saling mengunjungi yang dikenal dengan sebutan Pasiar.

Film ini menjadi sangat relevan bukan hanya karena latarbelakang konflik yang melibatkan Islam dan Kristen di Poso, tapi juga momen ini sangat relevan untuk didiskusikan setelah MUI mengeluarkan fatwa umat Islam tidak boleh mengucapkan selamat kepada umat agama lain. Namun PBNU menegaskan pengucapan salam atau selamat merayakan hari raya tidak masalah diucapkan karena menjadi bagian yang menyatukan warga negara Indonesia yang beragam.

Salah satu bagian penting dari program fim ini adalah Interaksi Sosial : Produksi film Sekandung Badan tidak hanya sekedar kerja membuat film semata. Selama proses mulai dari workshop  sound enginer, workshop bedah naskah hingga workshop membaca naskah merupakan proses interaksi penting diantara semua orang yang terlibat.

Produksi film “Sekandung Badan ” oleh komunitas Kayu Hitam sebagai bagian dari kolaborasi karya kegiatan Hibah Partisipatif JISRA Indonesia. Foto : Komunitas Kayu Hitam

Para pemain, Dewi Pomounda, Lius Tadale, Tasya  yang beragama Kristen dan tinggal di wilayah Pamona Puselemba dan Pamona Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen  harus tinggal sementara di wilayah Poso Kota yang mayoritas warganya beragama Islam.  Interaksi mereka dengan pemain lainnya yang beragama Islam Afni Ondu, Ruslan Maku, Nurfita Libbe dan Muhamad Alif.M Syahrir mampu membangun dialog  yang sebelumnya jarang dilakukan.

Percakapan-percakapan seputar nilai-nilai agama Kristen dan Islam ini membuat Dewi dan Lius lebih memahami hal-hal sederhana yang bisa menimbulkan kesalahpahaman. Misalnya soal apakah warga Muslim boleh mengucapkan selamat hari raya Natal. Atau apakah orang Islam boleh makan makanan yang dimasak dengan menggunakan panci yang sebelumnya digunakan memasak makanan yang bagi warga muslim najis. Dua isu ini sebenarnya sangat sederhana, namun masih menjadi pembicaraan penting di tengah warga Muslim maupun Kristen, khususnya yang ada di pedesaan.

Baca Juga :  Ohaiyo Pakaroso, Seruan Menguatkan

Selain film Sekandung Badan yang menggambarkan betapa beragam dan tolerannya masyarakat Poso sejak dahulu

Anak Muda dalam Bingkai Perbedaan Agama

Sepanjang film banyak penonton yang berkaca-kaca. Sebagian dari mereka pernah merasakan suasana seperti dalam kisah Nata dan Neta.

“Seharusnya kehidupan masyarakat Poso seperti di film ini setelah sekian lama kita hidup pasca peristiwa-peristiwa masa lalu itu” kata Jonathan, salah seorang yang menonton.

Penonton lainnya, Gea mengatakan, budaya Pasiar, saling mengunjungi seharusnya tidak dibatasi oleh perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan agama.

“Sebagai sesama manusia, kita tidak memilih untuk dilahirkan sebagai pemeluk agama apa. Karena itu harusnya perbedaan itu tidak jadi masalah”katanya.

Komunitas Kayu Hitam memproduksi film dengan latar belakang cerita hubungan keluarga Muslim dan Kristen di Poso yang canggung paska konflik kekerasan. Proses produksi film ini mengajak anak muda dari dua komunitas Islam dan Kristen bekerjasama di belakang layar dan sebagai pemeran dalam film. Launching film Sekandung Badan menjadi momen bagi anak-anak muda yang menontonnya berefleksi kembali tentang kondisi sosial disekitarnya. Banyak diantaranya, tidak mengalami langsung konflik itu. Namun mereka masih merasakan dampaknya.

“Harus diakui, kita memang menjadi hati-hati dalam bergaul. Takutnya kalau ada salah paham, urusannya jadi melebar kemana-mana”kata Andi seorang mahasiswa yang turut menonton malam itu.

Baca Juga :  Berteologi Kontekstual Pembebasan dalam Kemiskinan

Dia menceritakan sebuah kejadian salah paham antar beberapa orang pemuda di kecamatan Poso Pesisir tahun 2021 lalu yang isunya tiba-tiba berkembang menjadi isu agama. Kejadian seperti ini menurut dia adalah dampak konflik 25 tahun lalu.

Peluncuran Film “Sekandung Badan” dimulai dengan duo Melagu menyanyikan soundrack film dengan lagu “Tersenyumlah Hari Ini” di lokasi kemping Padu Satu. Foto : Dok.Mosintuwu/PianSiruyu

Bagi Dewi Pomounda dan Nur Fita Libbe yang menjadi pemeran di film ini, proses produksi adalah tempat untuk saling belajar dan mengerti mengenai perbedaan. Itu sebabnya, hubungan mereka menjadi sangat akrab setelah seluruh proses produksi. Dewi tinggal di Desa Tindoli kecamatan Pamona Tenggara yang hampir seluruh penduduknya beragama Kristen dan Fita Libbe tinggal di Desa Tokorondo, kecamatan Poso Pesisir yang penduduknya hampir seluruhnya beragama Islam.

Saat peluncuran film, Saifullah Mechta, sutradara film bercerita, film ini  bertujuan mengangkat realitas ditengah masyarakat Poso pasca konflik. Salah satunya soal saling percaya. Dalam hal paling sederhana adalah, soal makanan. Hingga kini banyak yang masih ragu apakah makanan di rumah orang beragama lain dijamin halalnya.

Keraguan soal makanan ini adalah contoh sederhana yang sebelum konflik sebenarnya hampir tidak ada. Sebab, pada saat itu, saling percaya diantara sesama orang Poso begitu tinggi.

“Saling percaya itu adalah satu hal yang perlu kita kembalikan lagi”kata Saifullah.

Film yang didanai oleh JISRA melalui program PGM ini rencananya akan di putar di desa-desa yang menjadi wilayah program Institut Mosintuwu untuk menguatkan persaudaraan, toleransi dan kebudayaan di Kabupaten Poso. Bukan berarti di tempat lain tidak bisa menyaksikannya.

Nantinya, film ini bisa disaksikan secara luas lewat platform seperti youtube.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda