Poso Merespon Covid-19, Harusnya Belajar dari Tadumburake

0
1680
Tadumburake, imam perempuan pada masa sebelum agama samawi masuk ke Tana Poso.

Catatan sejarah tentu menjadi pengalaman berharga untuk menghadapi Covid 19. A.C Kruyt, etnografer Belanda kelahiran Mojowarno, Jawa Timur, menceritakan pemimpin masyarakat Poso yang masih dijumpainya ketika tiba di Poso sekitar tahun 1892 yaitu Tadumburake (imam perempuan sebelum masuknya agama samawi). Dia menggambarkan sosok Tadumburake sangat tegas menerapkan kebijakan yang sudah diputuskan untuk menyelamatkan masyarakat saat wabah merajalela. Sikap tegas itu lahir karena sadar obat untuk wabah cacar dan penyakit lain yang mendera belum ditemukan.  

Teolog STT GKST Tentena, Dr Gede Supradnyana dalam artikelnya Menengok Ulang dan Berefleksi Atas Sejarah Pandemi di Sulawesi Tengah ( artikel ditulis ulang dengan judul Catatan Sejarah Pandemi Poso, Berulang. Dipublikasi di website mosintuwu – Red) , menggambarkan Tadumburake sebagai pemimpin yang sangat konsisten dalam perkataan dan perbuatannya. Bahkan sangat detil. “Lihat saja bagaimana dengan tegas menitahkan :”Bila ada orang yang terpaksa harus melewati kampung yang terinfeksi, hendaknya dilewati dengan memalingkan muka”.

Dalam refleksinya, Gede menyebutkan, dalam menghadapi pandemi, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan bersinergi seperti kolaborasi yang dicontohkan oleh Kruyt sebagai pemimpin agama dan Tadumburake (imam perempuan) dalam mengambil keputusan-keputusan penting dan tepat sehingga bencana dapat diminimalisir.

Sejak tahun 1800an, Poso dan daerah lain di Sulawesi Tengah sudah berkali-kali ditimpa wabah penyakit hingga menyebabkan ribuan orang meninggal dunia. Diantaranya wabah Cacar dan Flu Spanyol. Dalam catatan yang ditulis Adriani pada tahun 1915 menyebutkan, pada tahun 1911 sekitar 10 persen penghuni desa-desa di pinggiran danau Poso meninggal karena berbagai penyakit seperti radang paru-paru. Pada masa itu, jumlah 10 persen setara dengan 2000 orang dari 21.977 orang jumlah penduduk berdasarkan hasil sensus saat itu.

Baca Juga :  Mendorong Penetapan Warisan Geologi Danau Poso, Melindungi Sejarah dan Situs Geologi

Lalu bagaimana kepemimpinan saat ini ketika wabah datang , dan Kabupaten Poso dimungkinkan mengalaminya?

Hingga Selasa 24 Maret 2020, kabupaten Poso masih belum ada warga yang disebutkan terkena Covid-19. Setidaknya belum ada laporan medis yang menyatakan ada penduduknya yang positif COVID-19. Kepala daerah, Darmin A Sigilipu mengeluarkan edaran nomor 800/0276/BPSDM PSO/2020 tentang pencegahan antisipasi penyebaran Covid-19 di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Poso. Salah satu poin surat ini, meminta agar menunda kegiatan yang mengumpulkan massa dalam jumlah besar dan tidak melakukan kontak fisik. 

Dan agar silaturahmi tidak terganggu, Bupati memperkenalkan salam Corona, yaitu mengatupkan kedua telapak tangan di dada (seperti ber soja). Sebelum edaran ini dikeluarkan, pemda Poso juga sudah meliburkan sekolah yang ada di Kabupaten Poso selama 14 hari mulai Selasa 17-31 Maret 2020. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Namun tidak seperti Tadumburake yang begitu tegas, dimana orang bahkan harus memalingkan muka ketika melewati kampung yang terinfeksi. Saat ini bahkan menjalankan kebijakan yang dibuat sendiri saja menjadi hal yang sulit. Senin, 23 Maret 2020, sepekan setelah edaran dan keputusan itu keluar, Darmin muncul di salah satu stasiun TV nasional. Stasiun televisi tersebut mewawancarai Bupati Darmin A Sigilipu tentang kegiatan resminya dua hari sebelumnya, Sabtu 21 Maret 2020. Melalui surat undangan resmi, Darmin mengumpulkan banyak orang di satu tenda, di taman kota Tentena dalam rangka bagi-bagi gerobak untuk pedagang kecil . Para pedagang kecil ini  sebelumnya digusur dari pinggir lokasi proyek pengerukan sungai Poso. Jabat tangan, jarak antar orang kurang dari satu meter, tanpa pengaman seperti masker jadi pertanyaan presenter Televisi itu, karena justru terjadi di sekitar kepala daerah sendiri.

Baca Juga :  Covid-19 dan Kearifan Budaya Lokal

Dua hari sebelum acara di taman kota Tentena itu, pada 19 Maret 2020, Kapolri Jenderal Idham Aziz mengeluarkan maklumat yang salah satu isinya agar tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak baik di tempat umum ataupun lingkungan sendiri.

“Ketika kita cek lokasi tiba-tiba masyarakat mendekat untuk minta foto. Jadi pada saat itu secara spontan melayani masyarakat. Tetapi sebelumnya kita sudah sampaikan kepada masyarakat ada bahaya Covid ini yang melanda dunia maupun indonesia, tetapi perlu diketahui bahwa untuk wilayah sulawesi tengah dan kabupaten poso ini yang terinfeksi covid ini belum ada, masih nol disini” demikian klarifikasi Darmin kepada presenter itu mengenai sebab dia tidak melakukan ‘social distancing’ yang sebelumnya sudah diimbaukannya sendiri kepada masyarakat lewat surat edaran dan salam Corona.

Social Distancing atau menjaga jarak, memang hanyalah satu cara saja dimasa sekarang ini untuk mencegah penularan virus Corona penyebab Covid 19. Perintah untuk melakukan kebijakan ‘jaga jarak’ ini semacam antisipasi sementara sampai ada metode yang lebih mumpuni dikemudian hari. Itu sebabnya semua orang harus berupaya mengikuti arahan ini. 

Baca Juga :  Dokumen Warisan Geologi, Langkah Menuju Geopark Danau Poso

Di Poso dalam sejarahnya juga sudah beberapa kali menerapkan konsep jaga jarak ini. Gede Supradnyana, mengatakan, kebijakan ini diberlakukan sekitar tahun 1884 ketika wabah Cacar melanda. Dahsyatnya wabah ini menurut dia menyebabkan sekitar 6 desa hilang, sekitar 900 orang di Togian wafat, hanya wilayah Napu yang aman dari penyakit ini.

Ketika wabah cacar melanda, semua obat tradisional Poso maupun obat-obatan dari Eropa, tak sanggup mencegahnya. Kruyt mencatat, Tadumburake  melarang setiap perjumpaan dengan kampung yang terinfeksi; bila ada orang yang terpaksa harus melewatinya, hendaknya dilewati dengan memalingkan muka.

Bukan hanya Social Distancing. Catatan Graubauer dan Kruyt menyebutkan, jika suatu kampung terinfeksi oleh suatu wabah, maka kampung itu di lockdown (di isolasi) dalam waktu satu minggu, dengan simbol dikibarkannya bendera putih. Tidak seorangpun boleh memasuki atau meninggalkan kampung itu. 

Tapi, dalam sejarah, memang selalu ada yang tidak patuh pada upaya-upaya untuk memutus penyebaran penyakit yang membuat social distancing atau lockdown tidak berhasil. Ada saja yang melarikan diri dari kampung yang di isolasi lalu bersua dengan orang-orang di kampung yang belum terjangkit. Lalu kampung itupun tertular. Harusnya kita belajar dari pengalaman itu, mumpung Poso masih negatif Covid 19, pemimpin harusnya menunjukkan teladan supaya masyarakatnya mengikuti.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda