Album Satuara  : Suara Musisi Poso Lawan Perusakan Lingkungan, Rawat Toleransi, Kuatkan Persaudaraan

0
154
Cover Album Satuara, mini album kolaborasi 5 band anak muda Poso terdiri dari Borgol, Guritan Kabudul, NFLY, Stonehead, YET ( Your Escape Tommorow ). Album ini dikoordinir proses produksinya oleh Kurang Kreatif, sebagai bagian dari pelaksana program Hibah partisipatif didukung oleh Institut Mosintuwu dan JISRA

“Saat suara kita satu dia tidak berkutik”(Stonehead/Anisoptera)

Lima band asal Kabupaten Poso meluncurkan album kolaborasi berjudul Satuara dalam acara Kemping Padusatu di Hutan Pinus Panorama Tentena Sabtu 10 Agustus 2024.

Didepan panggung sederhana berukuran 4×8 meter yang dinaungi pohon-pohon Pinus, seratusan penonton antusias menanti penampilan band meski udara sejuk mulai menggigit di pukul 22:00wita. Posisi panggung yang menghadap ke timur sekaligus menjadikan pemandangan Kota Tentena yang ada disebelah barat sebagai latar panggung.

Hawa sejuk berangin berganti hangat saat NFLY menghentak panggung dengan lagu Persepsi.

Album yang digarap selama hampir 4 bulan ini berisi 5 lagu yang menggambarkan toleransi, kebudayaan dan persaudaraan di Kabupaten Poso. Mereka juga menyelipkan pengingat tentang ancaman kerusakan alam yang disebabkan manusia dan intoleransi yang harus diantisipasi terutama oleh kaum mudanya.

Lima band/musisi yang terlibat adalah Borgol, NFLY, YET, Guritan Kabudul dan Stonehead. Kelima band/musisi ini juga menggambarkan keragaman bukan hanya jenis musik, tapi latarbelakang para personilnya.

Saiful Dunda, anggota komunitas bernama Kurang Kreatif yang menjadi penggagas album ini mengatakan, kolaborasi ini menjadi wadah mereka menyatukan suara untuk mewartakan keadaan Poso yang sebenarnya kepada publik yang lebih luas.

Penampilan Grup Band yang tergabung dalam Mini Album Poso SatuAra yang dikelola oleh komunitas Kurang Kreatif dalam Kemping Padu Satu yang diorganisir oleh komunitas anak muda Poso pelaksana Hibah Partisipatif yang didukung oleh Institut Mosintuwu dan JISRA. Foto : Dok. Basrul Idrus

Ichad, salah seorang musisi di band NFLY yang terlibat dalam penggarapan album ini mengatakan, sebagai musisi mereka kerap mendapat pertanyaan mengenai kondisi keamanan di Poso.

“Masih banyak yang bertanya. Apakah Poso aman atau tidak”kata Ichad. Menurutnya, pertanyaan itu lahir karena image dan persepsi Poso sebagai wilayah yang pernah mengalami konflik horisontal hingga masalah terorisme masih lekat di ingatan publik Indonesia dan dunia.

Baca Juga :  Buku : Merajut Masa Depan Anak

Menurut dia, album ini jadi salah satu upaya mereka menceritakam langsung kepada dunia, bahwa Poso sudah menjadi wilayah yang layak dikunjungi oleh siapapun tanpa membawa rasa khawatir.

Musisi beraliran hip hop,  Eki Salua, yang punya nama panggung Stonehead menyoroti ancaman kerusakan lingkungan serius dengan menceritakan peran penting Capung(anisoptera) dalam sitem kehidupan di bumi. Anisoptera kemudian menjadi judul lagu yang ada di dalam album Satuara.

“Anisoptera adalah cara untuk mengukur apakah air kita masih bersih”kata Eki tentang peran hewan mirip helikopter itu sebagai penguji kualitas air. Bagi dia, lagu menjadi kritik bagi para pengambil kebijakan, sekaligus kritik bagi diri sendiri agar berbuat lebih baik.

Keresahan atas ancaman kerusakan lingkungan di Poso juga diapungkan Your Escape Tomorrow(YET). Lewat lagu berjudul Cocide, Iksan sang vokalis mengingatkan pengrusakan alam secara sadar dan sengaja akan memusnahkan manusia itu sendiri. Cocide adalah Ecocide, mereka memilih judul ini untuk menggambarkan perilaku serampangan manusia bukan hanya pada alam, tapi juga menghancurkan mereka yang masih berkategori miskin. Ecocide lebih spesifik adalah upaya penghancuran lingkungan yang dilakukan di wilayah yang tingkat kemiskinannya tinggi sehingga menimbulkan masalah sosial dan ekonomi serta wabah penyakit.

Jika YET menyoroti pemghancuran ekologi, Borgol lewat nomornya, Tamak, melihat sebab kerusakan lingkungan dan terjadinya konflik akibat kolaborasi kapitalisme dan intelektual penghamba uang dengan membodohi masyarakatnya sendiri. Kerusakan yang dihasilkan dari perkawinan Kapitalisme dan intelektual pendukungnya akhirnya menghilangkan kepedulian sesama manusia dan mempercepat kerusakan alam yang massif.

Baca Juga :  Menjadi Pemimpin Perempuan di Lembah Lebanu PosoBecoming Women Leader

Liriknya tajam menyoroti kondisi politik kekinian yang sering kita tonton dan baca di media. Diantara gebukan drum yang menghentak dan distorsi gitar cenderung kasar, coba  dengarkan serak suara Ipan Lakepo dengan seksama.

Orang pintar semakin membodohi

Berhati suci sibuk menghakimi

Moncong senjata tega menjajah

Yang jelata dipaksa musnah

Pak Tua, Sisa Konflik yang Masih Membekas

Bukan hanya menyorot masalah yang tampak di permukaan. Album Satuara, menelisik lebih dalam apa yang masih dialami banyak orang Poso. Salah satunya soal trauma.

Banyak orang berpikir ketika konflik sudah selesai yang ditunjukkan hanya dengan indikator tidak adanya gangguan keamanan atau teror maka semua telah pulih. Jarang yang melihat apalagi menelisik bahwa masih banyak jiwa yang belum sepenuhnya pulih. Mereka memiliki trauma yang tidak terungkap.

Konflik horisontal di Poso yang sudah berlalu lebih dari 20 tahun lalu ditambah munculnya aksi-aksi terorisme diantara 2005-2018 mengawetkan ingatan buram bukan hanya pada orang luar. Pada sebagian orang Poso, sejarah kelam itu ternyata masih membekas. Hal itu dituangkan duet folk Guritan Kabudul yang digawangi Riston Pamona dan Raymond Kuhe dalam lagu Sampuraga. Liriknya bercerita tentang seorang tua yang tinggal di sebuah desa terpencil diantara kabupaten Poso dan Tono Una-Una yang mengira masih ada konflik horisontal yang terjadi di wilayah ini.

Baca Juga :  Melatih Mediator Damai Poso, Mendengarkan dan Berpikir Ke Depan

“Pak tua ini bahkan masih terus waspada karena mengira akan ada serangan yang datang ke kampungnya”cerita Riston Pamona, vokalis Guritan Kabudul tentang sosok nyata yang mereka ceritakan di Sampuraga.

Di Satuara, mereka bercerita tentang trauma yang masih dialami sebagian orang akibat konflik yang sudah berlalu 20 tahun lalu. Lagu berjudul Sampuraga adalah cerita dari seorang tua yang masih terus menerus besikap waspada, dihantui ancaman serangan sehingga menyimpan anak panah di rumahnya. Lagu ini Guritan Kabudul mengingatkan kita semua bahwa konflik fisik bisa segera selesai, tapi dampaknya tidak cepat pergi.

Saiful Dunda, lima lagu di album Satuara bisa segera dinikmati lewat berbagai platform mulai dari spotify, apple music dan youtube.

Dia berharap, pesan yang disampaikan para musisi di album ini bukan cuma didengarkan, tapi mendorong pendengarnya dan berbuah tindakan untuk menjaga lingkungan, merawat toleransi dan membuat kaum muda semakin peduli pada sesama manusia, juga seluruh ekosistem di alam semesta.

“Saat suara kita satu dia tidak berkutik”pekik Stonehead diatas panggung. Dia mengajak semua orang bersatu dan bersuara melawan pengrusakan lingkungan dan intoleransi yang sering hadir bersamaan dengan investasi yang mengeksploitasi alam dan merusak kerukunan masyarakat, terutama diwilayah yang kaya sumberdaya alam.

 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda