Memaknai Hari Buku diantara Tantangan Literasi Poso

0
738
Buku-buku di perpustakaan SMK GKST 2 Tentena, sebagian besar adalah buku teks pelajaran. Foto : Dok.Mosintuwu/ Ray Rarea

2022 adalah tahun ke 20 dirayakannya Hari Buku Nasional. Merayakannya perlu dimaknai  terus-menerus, mengingat banyak masih banyaknya problem yang masih harus dipecahkan. Salah satunya, hubungan antara ketersediaan buku yang terbatas dengan kualitas literasi yang cukup mengkhawatirkan. Padahal, buku adalah elemen penting bagi kemajuan bangsa. 

Dewi Mowose, pustakawan di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan kabupaten Poso menjelaskan beberapa penyebab, kondisi literasi atau minat baca masyarakat wilayah Kabupaten Poso masih rendah. Pertama, pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Indonesia (PPKM) selama   2 tahun terakhir di kabupaten Poso disebut turut berkontribusi terhadap menurunnya minat baca, termasuk kunjungan ke perpustakaan dan peminjaman buku. 

Soal kedua adalah, pemahaman pada sebagian masyarakat, bahwa perpustakaan hanya milik pelajar saja. Pandangan ini jadi semacam tembok pemisah antara perpustakaan dengan masyarakat secara umum. 

Ketiga, berkaitan erat dengan informasi mengenai keberadaan perpustakaan itu sendiri. Termasuk diantaranya letak perpustakaan yang tidak berada di jalur utama yang mudah diakses membuat publik sulit menjangkaunya. Tapi sepertinya ini problem yang sangat kecil, mengingat teknologi pencari alamat sudah begitu canggih.

Pendapat lain dikemukakan Floris Frindiani. Pustakawan di SMK GKST 2 Tentena. Flori menuturkan, masalah utama literasi pelajar di sekolah erat kaitannya dengan ketersediaan bacaan yang menarik minat. Menurutnya, pelajar lebih menyukai novel dan komik. Namun, perpustakaan sekolah belum menyediakan bacaan seperti itu. Ditempatnya hanya tersedia buku pelajaran saja, sehingga kurang menarik minat.

“Kebanyakan sekarang, siswa suka baca novel , komik. Nah, sedangkan di sini di dalam perpustakaan ini kebanyakan buku pelajaran semua . Kebanyakan siswa yang masuk sini bertanya ada buku ini? oh tidak ada, semua buku pelajaran di sini” ujarnya. 

Baca Juga :  Kami, Anak Perdamaian: Suara Anak untuk Perdamaian PosoWe are the Children of Peace: Children's Voice for Peace in Post Conflict Poso

Selain sekolah dan kampus, di Tentena ada beberapa perpustakaan komunitas. Salah satunya, Perpustakaan Rano Poso, berlokasi dibelakang kantor Sinode GKST di kelurahan Sangele, kecamatan Pamona Puselemba. Meski punya buku beragam, sayangnya saat kami berkunjung, sedang tutup. Seorang warga yang tinggal tidak jauh dari gedung perpustakaan menuturkan, layanan perpustakaan itu sudah tutup setahun yang lalu. Tidak ada lagi aktivitas sejak pemilik bangunan pindah. 

Pelajar Tentang Literasi

Akses buku dan perpustakaan terkait erat dengan literasi. Bagaimana generasi Z di Poso memahami literasi?

Saat saya bertanya kepada Veronica, seorang pelajar SMK salah satu sekolah di Tentena, apakah mengetahui apa yang dimaksud literasi? pelan dia menjawab “Tidak tahu”. Tapi ketika bertanya seberapa penting membaca buku? “Sangat penting untuk menambah pengetahuan”jawabnya.

Viktor seorang pelajar lainnya menjelaskan, peran literasi untuk memperlancar tutur kata, bahasa, dan bagaimana membaca kitab suci agar terdengar lebih enak ditelinga. 

Kedua jawaban ini menggambarkan bahwa fasilitas perpustakaan yang kurang, termasuk ragam buku yang menarik berkontribusi pada rendahnya literasi di Kabupaten Poso, sehingga  perlu disikapi dengan serius. Pemahaman bahwa perpustakaan hanya milik mereka yang terpelajar perlu diperbaiki. Kurangnya pilihan bacaan, kurangnya akses ke perpustakaan, serta pemahaman tentang literasi yang kurang. Harus jadi perhatian serius.

Baca Juga :  Kerja Kolaborasi Anak Muda Poso Merawat Toleransi, Budaya, Lingkungan
Pengunjung di Perpustakaan dan Arsip Poso. Foto : Dok.Mosintuwu/ Ray Rarea

Dewi Mowose, petugas perpustakaan Kota Poso, mengatakan bahwa mereka berupaya melakukan peningkatan literasi melalui berbagai workshop dan bimbingan belajar sejak tahun 2019. Ini merupakan program nasional transformasi berbasis inklusi sosial.  Upaya lain yang mereka lakukan adalah perpustakaan keliling yang dilakukan sebulan sekali, menumpang pada program Bunga Desa. Sebuah kegiatan seremonial Bupati Poso, Verna Inkiriwang yang melakukan pelayanan administrasi berpindah dari desa ke desa.

Untuk mengembangkan program, Dewi Mowose mengatakan, mereka sudah menjalin mitra dengan empat desa yaitu desa Tagolu di kecamatan Lage, desa Sangginora dan Betalemba di kecamatan Poso Pesisir Selatan, dan desa Pasir Putih di kecamatan Pamona Selatan.  Keempat desa tersebut sudah menurut dia mereplikasi kegiatan yang dilakukan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan.

Perpustakaan untuk Semua

Hasil survey Programme for International Student Assesment (PISA) yang dilakukan Organization for Economoc  co- Operation and Development (OECD) tahun 2018 menunjukkan  perolehan nilai siswa Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan nilai di rata-rata negara lain di ASEAN. Menurut survey ini, pelajar Indonesia cenderung lemah di bidang matematika. Selain itu kemampuan membaca juga merupakan bidang terlemah.

  Lalu bagaimana kualitas literasi di Sulawesi Tengah?  Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 menemukan, minat baca di Sulteng berada di skor 39,11 persen. Angka itu menempatkan Sulteng di posisi ke 31 dari 34 provinsi di Indonesia . Sulteng berada di peringkat 7 terbawah tingkat aktifitas literasi membaca (alibaca) di Indonesia dengan indeks 31,55.

Baca Juga :  Covid-19 dan Kearifan Budaya Lokal

Adapun akses terhadap perpustakaan dan bahan bacaan di sekolah, Sulteng sangat rendah, ada di posisi ke 6 paling bawah dengan indeks 16,17. 

Dalam momen 20 tahun Hari Buku Nasional, gerakan literasi di Poso perlu diperiksa kembali misalnya melihat setinggi apa minat baca masyarakat, khususnya pelajar dan bagaimana upaya pemerintah menumbuhkannya. Jangan-jangan, peringatan ini hanya perayaan rutin setiap tahunnya.

Paradigma buku hanya untuk kaum terpelajar, aksesbilitas perpustakaan, program kerja literasi yang “membeku” menjadi penanda bahwa literasi di Poso masih memiliki sekat yang perlu direspon secara serius, terlebih oleh pemerintah yang memang telah diamanatkan Undang-Undang. 

Tentu saja, bila membicarakan literasi, pemerintah bukanlah satu-satunya aktor yang harus mengada, perlu ada sinergi dari semua pihak untuk percaya dalam satu frekuensi, bahwa literasi wajib ada dan terus dihidupi sebagai aspek penting manusia di Poso. Dengan begini, maka bisa diharapkan tercipta ekosistem literasi yang memadai dan kualitasnya pun akan muncul seiring waktu. Mungkinkah mimpi ini menjadi ada? Sangat mungkin!

Ketika ditanya harapan sebagai seorang pustakawan di sekolah, Floris berharap ada tambahan buku yang bisa menarik minat siswa berkunjung ke perpustakaan. Sedangkan Dewi Mowose berharap, perpustakaan lebih dikenal dan dicintai masyarakat. 

Jadi, perayaan hari buku nasional kali ini akan dirayakan seperti apa? Barangkali kita membutuhkan pemaknaan bukan perayaan. “Selamat memaknai Hari Buku Nasional!”.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda