Sederhana menjadi milik Natal kali ini. Layar kaca di ruang tamu mengambil alih mimbar gereja. Beribadah tanpa berdandan dan make up berjam-jam, bebas dari kepanikan memilih atau menyiapkan baju dan sepatu khusus, bisa menggunakan baju rumahan, bahkan kadang tanpa perlu mandi. Duduk mendengarkan kotbah dan bernyanyi bersama keluarga di dalam rumah. Hanya ada beberapa lampu hiasan natal dipasang di sudut rumah. Lani, 23 tahun anak muda yang tinggal di kelurahan Sangele, bercerita tentang suasana natal di keluarganya.
Biasanya, atau tahun lalu, jadi kata yang mengawali cerita tentang Natal tahun ini. Jam 11 siang hingga malam di hari Natal, biasanya akan terdengar anak-anak silih berganti di depan pintu menyanyikan lagu natal. Diantaranya yang terkenal adalah lagu donat, sebuat singkatan dari doi natal. Uang dua ribuan tidak perlu lagi disiapkan sebagai donat dalam nyanyian itu. Tradisi yang mulai menggantikan pemandangan anak-anak berjalan dengan kantong plastik yang penuh dengan beragam kue dari rumah yang dikunjungi saat Natal.
“Itu pemandangan yang menghibur. Kadang ada sekelompok anak yang sudah 3 kali bolak-balik di depan rumah dan singgah istirahat minta minum di rumah sebelum lanjut misi donat mereka” ujar Lani sambil tertawa.
Kebiasaan itu tidak nampak hingga hari kedua Natal . Lani tidak sendirian. Iin, 45 tahun seorang ibu rumah tangga di kelurahan Sangele punya cerita yang sama.
“Tahun lalu, dua hingga satu minggu sebelumnya seluruh isi rumah sudah sibuk. Bikin kue, menghias rumah, menyiapkan makanan, merencanakan jadwal ibadah, menelpon teman-teman untuk rencana kunjungan. Lebih meriah” ceritanya.
Pasar, menurut Iin, dulunya hingga beberapa jam sebelum malam Natal masih akan dipenuhi pembeli. Pesanan kue Natal akan membanjiri toko kue. Cerita Lani dan Iin, cerita yang sama pada banyak keluarga.
Pada dua bulan terakhir yang berakhiran Ber setiap tahun, jemaat di berbagai gereja sudah membentuk panitia khusus perayaan Natal. Lomba-lomba antar kelompok di dalam gereja meramaikan suasana Natal. Paduan suara , baca puisi, karaoke, menghias pohon natal per kelompok dan sebagainya. Kalender ditandai tumpukan jadwal natal untuk lansia, kelompok ibu, kelompok bapak, remaja, pemuda, anak sekolah minggu, kelompok keluarga, kelompok gereja. Jalanan diramaikan pawai natal yang dilakukan oleh ratusan gereja bergantian hampir setiap minggunya.
Pesan bijaknya, jangan coba membuat acara seminar atau workshop semenarik apapun pada saat itu. Tapi itu dulu.
Tahun-tahun sebelumnya , suasana kampung diramaikan dengan kisah para perantau. Natal kali ini sepi dari cerita para pelajar dan mahasiswa yang baru pulang dari luar Poso. Tentang kampus atau trend yang sedang mereka ikuti sambil sesekali membanggakannya. Celoteh para pencari kerja yang merantau di kota-kota besar. Tentang pekerjaan dan gaji mereka, sambil sesekali memamerkan barang-barang yang jarang ada di kota kecil seperti Tentena. Tidak ada hiruk pikuk reuni. Reuni sekolah, reuni keluarga. Suara tarikan motor di malam Natal tidak terlalu terdengar, meski beberapa masih berusaha melakukannya.
Namun semangat untuk merayakan Natal dengan ritual khas Natal tetap berusaha dihidupkan. Di Desa Gintu kecamatan Lore Selatan, anak-anak sekolah minggu masih melakukan pawai Natal. Mengikuti protokol kesehatan, demikian cerita Ngkai Bontinge yang sedang berlibur Natal di Lembah Bada. Ibadah bersama di gereja juga dilakukan di beberapa gereja termasuk di Gintu dan Desa Tonusu dengan aturan mereka yang berusia 50 tahun ke atas hanya boleh bergereja di rumah. Di Gereja Bethel Kelurahan Pamona, kursi-kursi tempat ibadah dibuat dalam jarak berjauhan. Mereka yang memilih tidak beribadah di gereja bisa mengikuti melalui pengeras suara yang dipasang di gereja. Beberapa kelompok dalam sebuah gereja memilih untuk tidak beribadah di gereja tetap beribadah dalam bentuk kelompok dengan mengikuti prosesi ibadah di layar kaca.
Tidak ada salaman, apalagi pelukan.
Pandemi Covid-19 mengatur cara merayakan Natal. Menggunakan masker memungkinkan wajah dengan make up tidak berguna. Pagelaran fashion show baju-baju baru ala Natal di gereja tidak lagi menjadi topik hangat. Jaga jarak dan menjauhi kerumunan memungkinkan pertemuan antar keluarga lebih intens. Tidak ada yang terlalu peduli dengan pakaian apa yang dikenakan. Kesibukan persiapan Natal tidak lagi di pasar, toko-toko pakaian atau mall. Makanan di atas meja bersumber lebih dekat di sekitar, diolah bersama keluarga.
Sepi, tidak meriah.
Namun sepi tidak selalu hal yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, bagi Lani dan Iin, Natal kali ini memberikan kesempatan yang lebih baik untuk memaknai Natal yang sebenarnya.
“Lebih punya banyak waktu dengan keluarga. Lebih tenang dan lebih khusuk” kata Lani. Sambil melanjutkan bahwa ketenangan yang dirasakan dalam Natal kali ini membuatnya lebih reflektif memandang kehidupannya sendiri.
Tidak ada tamu yang berkunjung memungkinkan keluarga di kompleks rumah Lani masing-masing memasak makanan secukupnya lalu membagikan kepada tetangga. Ini juga terjadi di kompleks rumah Iin. Kehangatan natal menjalar dengan saling berbagi makanan. Tradisi ini sudah mulai hilang dalam 20 tahun belakangan saat persiapan natal menyita waktu setiap orang.
Eka, 21 tahun anak muda asal Desa Tonusu yang merayakan Natal dengan kedua orang tuanya menyebutkan Natal memang seharusnya dirayakan seperti ini. Sederhana. Tidak bermewah-mewah. Di rumahnya, makanan yang disiapkan adalah makanan sehari-hari. Toples berbagai macam kue yang tahun-tahun sebelumnya hadir tidak nampak. Kata Eka, ini terjadi hampir di semua rumah di desanya.
“Yesus lahirnya di kandang domba. Sangat sederhana dan tidak megah. Yusuf dan Maria bahkan sempat ditolak di rumah-rumah penginapan” demikian refleksi Eka.
Leoni, 18 tahun anak muda di Desa Tonus bahkan memilih kata menyenangkan untuk menggambarkan kebahagiaannya di Natal kali ini. Kedua orang tuanya dari Kulawi berkesempatan pulang mengunjunginya yang tinggal bersama neneknya. Mereka lebih punya banyak waktu bercerita tanpa repot oleh kesibukan Natal.
Senada dengan keduanya, Ngkai Bontinge ketua adat Pamona dan Bapak Hajai Ancura tokoh adat di Sawidago menyebutkan kesederhanaan Natal harus dilihat sebagai sebuah momentum untuk mengembalikan makna Natal pada kelahiran Yesus yang sederhana, bukan pada pesta. Berkumpul dengan keluarga merupakan hal dan kesempatan terbaik yang diberikan di hari Natal tahun 2020.
“Kita masih beruntung bisa bersama-sama dengan keluarga di hari Natal. Coba pikirkan para petugas medis, atau mereka yang kehilangan keluarga karena pandemi” kata Hajai Ancura.
Pandemi bukan satu-satunya alasan. Bagi Iin, Natal kali ini menjadi kesempatan untuk mundur sejenak dari ambisi kemegahan hidup dalam kehidupan dan pembangunan modern yang merusak alam. Tahun 2020 dalam refleksi Iin, kerusakan lingkungan dan alam di wilayah Kabupaten Poso khususnya Tentena sangat masif terjadi. Pengrusakan yang dilakukan untuk kehidupan modern.
“Natal yang lebih sepi, tenang, tidak meriah harusnya membuat kita melihat ulang kehidupan di sekitar kita, untuk tidak merusak alam dan menghilangkan kebudayaan hanya demi pembangunan yang modern” kata Iin.
Iin menyebutkan slogan pembangunan modern untuk menjadikan kota Tentena sebagai kota wisata dengan mengorbankan sungai dan Danau Poso, sebagai contohnya. Ada semacam imajinasi tentang kemakmuran dalam kemegahan dunia modern. Cara merayakan natal kali ini menarik ulang cara orang berpikir untuk memaknai sebuah pelayaran atas kelahiran dengan cara yang lebih membumi.
Natal kembali pada citranya. Kesederhanaan.