Jalan Panjang Petani Menuntut Keadilan : Dari Mediasi, Aksi hingga Mogok Makan, Cor Kaki

0
781
Para petani dan mahasiswa yang bersolidaritas melakukan mogok makan dan cor kaki di depan kantor Gubernur Sulteng.

“Hutang menumpuk, bunga berjalan setiap bulan. Sudah 2 tahun, kami menuntut supaya Poso Energy membayar kerugian yang mereka sebabkan tapi tidak pernah dipenuhi” Roslin, petani desa Meko.

Roslin menjadi salah satu perwakilan petani yang bersama puluhan mahasiswa di Kota Palu mendatangi kantor Gubernur Sulteng,  Selasa 24 Mei 2022. Tujuannya, mendesak Gubernur menyelesaikan persoalan terendamnya sawah dan kebun mereka akibat pembangunan bendungan PLTA Poso I milik PT. Poso Energy anak perusahaan Bukaka Group. Sawah dan kebun itu sudah tidak bisa diolah sejak April 2020.

Akibat sawah dan kebun terendam, para petani kehilangan sumber utama pencaharian. Beberapa orang terpaksa menghentikan biaya kuliah anaknya. Sebagian besar tidak bisa membayar hutang di koperasi, penggilingan padi hingga bank. Pada beberapa petani, bunga dari hutang mereka sudah mencapai 20 juta. 

“Kami tidak akan pulang kalau tidak ada hasil. Kami sudah berusaha meyakinkan koperasi dan bank bahwa kami akan ada hasil supaya bisa bayar hutang kami” ujar Roslin Langgara, kepada Ridha Saleh, Tenaga Ahli Gubernur Sulteng yang menemui mereka diluar pagar kantor Gubernur. Roslin sudah tidak bisa mengolah sawahnya sejak tahun 2020 karena terendam. Roslin dan para petani menceritakan, apa yang mereka tuntut adalah hak mereka. Tuntutan ganti untung ini 

“Kami tidak cari untung, tapi tuntut keadilan atas apa yang jadi hak kami” tegas Roslin.

Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan para petani menyampaikan apa yang mereka tuntut tidak sebanding dengan penderitaan yang mereka alami. Jika dalam soal jumlah uang, para petani menyebutkan ganti untung yang akan mereka terima hanya akan dapat menutupi hutang dan bunga hutang. 

Kesabaran petani diuji untuk mendapatkan keadilan atas kerugian yang disebabkan oleh Poso Energi.  Tiga perwakilan petani dan 1 mahasiswa yang bersolidaritas atas kondisi petani melakukan mogok makan dan cor kaki sebagai pilihan para petani menyampaikan kondisi mereka.  Jefri Saka, petani dari Desa Peura menyampaikan mogok makan dan cor kaki adalah cara mereka sampaikan pesan pada gubernur dan PT. Poso Energy bahwa bendungan telah menyebabkan mereka kelaparan dan jatuh miskin karena sudah tidak lagi bisa mengolah sawah mereka. 

Para petani dan mahasiswa melakukan aksi mogok makan dan cor kaki sambil menunggu Gubernur Sulteng, Rusdi Mastura dan menuntut Poso Energy selesaikan tuntutan petani atas sawah dan kebun yang terendam akibat bendungan PLTA Poso Energy.

“Kami ajak kalian semua lihat apa yang dialami bapak ibu petani ini . Kondisi petani di Poso sudah sangat memprihatinkan. Jika ini tidak jadi perhatian dan prioritas, entah bagaimana hati nurani kalian” ujar Jefri . 

Baca Juga :  Mosangki dan Cerita Perempuan yang Tersingkir dari Panen Padi

Jefri dalam orasinya mengatakan bahwa semua cara telah ditempuh petani untuk mendapatkan keadilan. Mereka menemui DPRD Poso, Pemda Poso, Wakil Gubernur hingga akhirnya Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdi Mastura. Namun, keadilan tidak kunjung didapatkan sebaliknya petani semakin menderita. 

Ridha Saleh meminta petani menunggu proses mediasi yang masih sedang berlangsung dan menyebutkan bahwa hingga saat ini mereka masih terus berupaya menghadirkan Direktur Utama PT.Poso Energy, Ahmad Kalla. Para petani ini sudah pernah bertemu Ridha Saleh ketika tanggal 18 Februari 2022, mantan komisioner KOMNAS HAM itu datang meninjau langsung sawah dan kebun petani di desa Meko, kecamatan Pamona Barat yang terendam. Ketika berdiskusi dengan seratusan petani di baruga desa Meko, dia mengatakan, pemerintah tidak boleh netral, tapi harus mengayomi masyarakat. Dia juga menyampaikan sikap Gubernur yang menegaskan investasi tidak ditolak, tapi juga tidak boleh merugikan masyarakat.

Lalu, satu bulan kemudian, pada 29 Maret 2022 perwakilan petani bertemu Gubernur untuk menyampaikan langsung persoalan yang sedang mereka alami. Dalam pertemuan itu, Gubernur Rusdi Mastura berjanji akan menemui Ahmad Kalla, direktur utama PT Poso Energi untuk menyampaikan persoalan yang disampaikan kepadanya.  Namun dua bulan berlalu, tidak ada kabar mengenai hal itu.

“Kita mendesak PT Poso Energi untuk segera menyetujui permintaan yang diminta oleh warga atas kerugian yang disebabkan oleh aktifitas Poso Energi”jawab Ridha Saleh kepada petani dan mahasiswa. “Bahkan Gubernur akan memperjuangkan aspirasi itu,”sambungnya. Katanya lagi, termasuk mencarikan solusi untuk menambah (nilai) kompensasi yang diminta oleh warga.

Pernyataan itu terdengar meyakinkan. Namun, Margaretha, petani lain yang turut dalam aksi itu tidak lupa proses-proses mediasi yang panjang dan melelahkan antara petani dengan perwakilan PT Poso Energi yang sudah mereka ikuti, belum menunjukkan hasil. Ada kesan, pemerintah seakan kurang berdaya dihadapan perusahaan milik keluarga Kalla itu.

Ridha mengakui tanpa menghadirkan direktur utama PT Poso Energi, Ahmad Kalla ke meja perundingan, tidak akan ada kesepakatan. Sebab keputusan perusahaan yang membangun PLTA Poso I semuanya ditangan adik Jusuf Kalla. 

Baca Juga :  Begonia ranoposoensis, Spesies Baru Endemik Sulawesi dari Danau Poso

“Keputusan tertinggi dari kompensasi yang akan dibayarkan itu ada di tangan pak Ahmad Kalla, bukan ditangan pemerintah, karena mereka yang menyebabkan degradasi dan kerugian”kata Ridha Saleh. Pernyataan ini menunjukkan pemerintah tidak bisa mendesak perusahaan untuk bertanggungjawab atas kerusakan sumber pencaharian warga akibat proyek mereka.

Kompensasi atas sawah dan kebun yang selama 2 tahun tidak bisa diolah adalah tuntutan jangka pendek petani di pinggir Danau Poso. Poso Energy telah memberikan ganti rugi pada sejumlah petani lainnya sejumlah 10 kg beras per are, belakangan di tahun 2022 diganti rugi sejumlah 15 kg per are. Bagi para petani, ganti rugi ini tidak adil. Dalam telaah petani penghasilan yang mereka peroleh bisa mencapai 40 hingga 50 kg per are. Selama 2 tahun lebih mereka menuntut ganti untung yang layak dan adil.

Hal lain yang juga mereka perjuangkan adalah hak untuk tetap bisa mengolah lahannya dimasa mendatang. Tantangannya adalah, ketinggian air Danau Poso tidak lagi surut mengikuti siklusnya sejak pintu bendungan PLTA Poso I dioperasikan tahun 2020 lalu. 

Sarto, petani Desa Meko menunjukkan bibit padi yang ditanamnya telah menjadi padi karena tidak sempat diolah akibat sawahnya terendam paska uji coba pintu air bendungan PLTA Poso I. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

Seharusnya, petani di pinggir Danau Poso mendapatkan hasil panen 2 kali dalam setahun. Berdasarkan kalender bertani, lahan sawah dan kebun palawija mulai mulai diggarap di bulan November sampai panen di bulan Maret. Saat itu Danau Poso sedang surut. Pada bulan April hingga Juni, sawah dan kebun di pinggir danau tidak diolah karena air mulai naik seiring musim hujan. Lahan-lahan itu mulai digarap lagi di bulan Juli hingga panen bulan November.

Dari kebiasaan bertani itu juga, para petani mengatur hidupnya. Termasuk membiayai kebutuhan pendidikan anak-anak. Karena punya lahan yang sudah pasti bisa menghasilkan, mereka percaya diri meminjam uang untuk memenuhi biaya kuliah hingga kebutuhan lain. 

Yang memberi pinjaman, dari yang resmi seperti bank, pegadaian dan koperasi hingga yang modalnya ‘saling percaya’ seperti pemilik penggilingan, tidak ragu memberi pinjaman, karena mereka ketahui, setiap panen, hutang itu akan dibayar. Ini terjadi sebelum datangnya proyek PLTA Poso I. Saat siklus tinggi air Danau Poso belum berubah oleh proyek itu.

Baca Juga :  Geospasial, Cara Anak Muda Rencanakan Desa Membangun Paska Bencana

Aksi dihentikan oleh aparat keamanan dengan alasan jam waktu aksi telah usai di atas pukul 18.00 wita. 

Menunggu Janji Gubernur, Menuntut Kehadiran Ahmad Kalla

Para petani memutuskan menunggu di Palu hingga Gubernur untuk menuntaskan janjinya mewakili petani menyuarakan tuntutan mereka. Jefri menegaskan, tuntutan ganti untung atas sawah terendam adalah tuntutan jangka pendek. Yang juga menjadi penting bagi para petani adalah mengembalikan siklus air danau Poso. 

Bentang alam Danau Poso berubah mengikuti proyek listrik. Dinaikkannya permukaan air Danau sebagai konsekuensi diijinkannya  pembangunan bendungan PLTA Poso I. Proyek itu diiringi pengerukan sepanjang 12,8 kilometer dari outlet danau ke sungai Poso. Semua itu sudah dapat kritik dari para peneliti. Terutama karena melihat terancamnya kelestarian ekosistem Danau.

Bukan hanya dari aktifitas perusahaan, masyarakat yang bermukim di pinggir Danau Poso kini dihadapkan pada kemungkinan tersingkir dari desanya. Adalah Rancangan Peraturan Daerah Tentang Sempadan yang sedang dibahas DPRD Provinsi Sulawesi Tengah yang menyebutkan batas tertinggi banjiran air Danau Poso pada level 513 mdpl.

Pada titik 513 mdpl ini, ada 982 rumah, 16 sekolah dan 15 rumah ibadah di 20 desa akan berstatus quo. 344,01 hektar lahan sawah dan kebun akan jadi kawasan sempadan sehingga tidak mungkin di sertifikat.

Sumber data ketinggian air ini berasal dari BWSS 3 Palu. Dalam dokumen sosialisasi yang dipresentasikan ke sejumlah kepala desa di pinggir Danau Poso akhir tahun 2021 lalu, disebutkan, pengambilan titik ketinggian 513 mdpl didasarkan pada tinggi bendungan PLTA Poso I. Cara penentuan angka 513 mdpl ini kemudian mendapat penolakan dari sejumlah pihak, terutama para petani.

Danau Poso pada dasarnya akan diubah fungsinya menjadi waduk untuk kepentingan PLTA Poso milik keluarga Jusuf Kalla, mantan wakil Presiden ini. Para petani telah merasakan dampaknya dengan kehilangan lahan sawah dan kebun yang selama berpuluh-puluh tahun telah diolah. Bukan hanya petani, nelayan, dan seluruh warga di sekeliling Danau Poso akan menanggung kemiskinan dari proyek PLTA ini. Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Poso tidak memberikan respon atas persoalan yang dihadapi warga, bahkan beberapa keputusan yang dibuat mendukung perusahaan dan mengabaikan warga. 

Bagikan
Artikel SebelumnyaMemaknai Hari Buku diantara Tantangan Literasi Poso
Artikel SelanjutnyaKonferensi Perempuan Poso Tentang Tanah, Air dan Hutan
Pian Siruyu, jurnalis dan pegiat sosial. Aktif dalam kegiatan kemanusiaan sejak konflik Poso. Sejak 2005 aktif menulis di surat kabar lokal dan media online. Sekarang aktif menulis tentang isu ekonomi, sosial, politik di Kabupaten Poso dan Sulawesi Tengah untuk media Mosintuwu termasuk berita di Radio Mosintuwu

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda