Mosintuwu Award 2018 : Penghargaan Para Penjaga Kebudayaan Poso

0
1650

Mengingat, Merayakan Pengetahuan dan Alam Poso menjadi tema festival Mosintuwu tahun 2018. Ini merupakan kali ketiga Institut Mosintuwu menggelar acara yang melibatkan puluhan desa se kabupaten Poso, dua festival terdahulu diberi nama Festival Hasil Bumi. Mosintuwu bisa diartikan bersama-sama, saling membantu, saling menguatkan yang merupakan akar kebudayaan masyarakat Poso dalam hal pengelolaan alam dan kehidupan. Ada banyak orang, pengetahuan dan karya yang membuat tradisi ini masih hidup sampai hari ini. Diantara mereka adalah budayawan dan pengrajin yang menurunkan pengetahuan itu hingga sampai ke kita. Mereka inilah yang membuat kita masih berpijak pada akar kebudayaan.

Untuk mengingat jasa-jasa mereka inilah Institut Mosintuwu memberikan penghargaan kepada orang-orang yang dinilai berjasa menjaga tradisi masih tetap ada dan hidup di tana Poso, mulai dari bahasa hingga sandang. Dalam kehidupan sehari-hari mereka seperti orang biasa, namun dibelakang itu apa yang mereka hasilkan memiliki dampak besar bagi generasi selanjutnya.

Mosintuwu Award adalah sebuah penghargaan kebudayaan dari masyarakat Poso kepada para figur yang bekerja, hidup dan berjuang untuk mempertahankan kebudayaan Tana Poso. Mereka yang dianggap pantas mendapatkan penghargaan ini adalah individu, kelompok atau masyarakat desa yang selama hidupnya hingga saat ini memperjuangkan kebudayaan Poso sebagai identitas menjalani kehidupan. 

Penghargaan diberikan setelah melalui proses penelitian kepada individu, kelompok dan masyarakat desa setempat.

Pemberian Mosintuwu Award bertujuan untuk menguatkan dan meneruskan langkah para penjaga kebudayaan Tana Poso, untuk mewariskannya pada generasi masyarakat Poso. Tahun 2018 ini, Mosintuwu Award diberikan pada tiga orang hebat:

  1. Abdurrahman Balie untuk kategori Penjaga Bahasa
  2. Elizabeth Kalahe untuk kategori Penjaga Tradisi Sandang
  3. Yustinus Hokey untuk Penghargaan tertinggi atas pengabdian dan karya kebudayaan
Baca Juga :  Desa, Benteng Kita Saat Pandemi Silih Berganti

Mosintuwu Award menjadi sebuah penguatan atas komitmen masyarakat desa dalam pengelolaan alam dan kehidupan yang berakar pada kebudayaan Mosintuwu. Sebuah ajakan untuk bersama-sama, lintas generasi untuk kembali menggunakan kebudayaan Mosintuwu sebagai nilai-nilai hidup untuk membangun Poso.

Ada alasan kuat mengapa ketiga orang ini dinilai pantas mendapatkan award. Yang pertama tentu saja pengabdian atas kebudayaan yang begitu kuat dan kedua warisan yang ditinggalkan menjadi bekal penting bagi generasi mendatang agar tidak tercerabut dari akarnya sebagai orang Poso.

Abdurrahman Balie, lahir di desa Sayo tanggal 5 Agustus 1938, 80 tahun lalu. Setiap hari masih sering kita jumpai dia  berkeliling kota Poso menggunakan ojek untuk menjual kamus bahasa Pamona-Indonesia yang ditulisnya.

Balie menulis 340 halaman kamus bahasa Pamona-Indonesia selama 3 tahun dengan hanya menggunakan sebuah buku catatan besar, dia menuliskan setiap kata dengan rapi dipondoknya yang belum dialiri listrik. Saat ini dia tinggal di sebuah pondok kecil beratap rumbia di kelurahan Tegal Rejo, Poso Kota Utara.

Menulis kamus ini supaya orang Poso masih bisa mengklaim dirinya sebagai orang Poso. Kalau orang sudah tidak fasih lagi berbahasa ibunya sulit dia disebut sebagai orang bersuku itu, demikian alasan  Ngkai Balie mengapa harus menyusunnya.

Bahasa Pamona saat ini menghadapi tantangan serius ditengah berbagai bahasa yang makin beragam digunakan oleh masyarakat, khususnya generasi muda. Menurut ngkay Balie ada beberapa kata dalam bahasa Pamona yang sulit dicari padanannya pada bahasa Indonesia.  Persoalan seperti ini menurut dia menjadi salah satu tantangan serius yang harus dipikirkan para kaum terpelajar Poso.

Baca Juga :  Kongres Perempuan Poso : Perempuan Poso Maju, Bersuara, Bergerak untuk Perdamaian dan Keadilan

Kamus Pamona-Indonesia adalah karya keduanya, sebelumnya dia telah menulis sebuah buku kumpulan derita rakyat Poso dalam bahasa Pamona. Meski belum ada yang membiayai penerbitannya, buku yang berisi 12 cerita dari 4 suku besar di kabupaten Poso kemudian di fotocopy di kertas bekas, lalu disampulnya. Buku itu kemudian disumbangkannya ke Perpustakaan daerah.

Cucu ibu Elisabeth, mewakili penerimaan Award kategori Kriya

Elizabeth Kalahe membuat Poso dikenal di dunia karena Fuya, kain kulit kayu yang masih dibuatnya hingga saat ini. Butuh proses panjang untuk menghasilkan setiap inci kain. Mulai dari pemilihan kayu yang akan dikuliti hingga memukul-mukulnya menggunakan Ike, batu bermotif yang usianya sudah ribuan tahun, lalu dijemur kemudian diwarnai menggunakan pewarna alami dari kayu dan dedaunan.

Di usianya yang sudah sekitar 80 tahun, Elizabeth tentu tidak lagi bisa menghasilkan Fuya lebih banyak. Namun dia berhasil menurunkan pengetahuan itu kepada generasi dibawahnya. Saat ini di lembah Bada sudah ditemukan beberapa generasi baru pembuat kain yang digunakan sebagai bahan baju adat. Selain untuk kebutuhan masyarakat sekitar, beberapa pengrajin  di Bada bekerjasama dengan pengrajin dari luar seperti Bali mengembangkan Fuya bukan lagi hanya untuk baju adat, tapi juga berbagai produk seni tinggi berupa tas, dompet dengan nilai jual tinggi pula. Kolaborasi itu membuat Fuya bisa bertahan dari desakan kain pabrikan yang kini menjadi bahan utama pakaian adat Poso.

Sementara itu, penerima Mosintuwu Award Penghargaan Tertinggi Kebudayaan diberikan kepada almarhum Yustinus Hokey. Dalam catatan Alse Kale’e, salah seorang murid Yustinus Hokey di sanggar Sesedongi, sejak tahun 1979 ngkay Tinus sudah menjadi pelatih tari rakyat yang mempersiapkan pelaksanaan Festival Tari Rakyat di Jakarta. Menariknya, tari bukanlah spesialisasinya.

Baca Juga :  John dan Metafora Bumi

Sebagai penulis naskah teater Yustinus banyak mengangkat ceritera-ceritera rakyat maupun kisah-kisah Gereja yang sarat pesan moral untuk dipentaskan. Berbeda dengan kebanyakan budayawan Yustinus selalu menuliskan apa yang ada dipikirannya. Tidak heran di masa pensiunnya sebagai guru dia banyak menulis ceritera dan tradisi hidup masyarakat Poso. Salah satu karya tulisnya adalah Mompaende yang bercerita tentang asal mula ayunan bayi yang oleh orang Pamona disebut Kobati. Alat ini terbuat dari pelepah sagu

“Saya bukan orang yang suka berpolemik di dunia yang tidak nyata. Kalau mau beradu gagasan ayo tuliskan itu, baru kita bisa mendiskusikannya”demikian aering dikatakannya mengomentari ramainya perdebatan mengenai pelaksanaan Festival Danau Poso beberapa tahun belakangan yang menurut dia semakin kehilangan ruh kebudayaan. Menuliskan karya baginya adalah mewariskan sejarah kepada generasi mendatang.

Sadar bahwa pengetahuan harus diwariskan, Yustinus bukan hanya menulis berbagai karya lagu dan ceritera rakyat. Peraih gelar Maestro Budaya tahun 2015 itu terus mendorong anak-anak muda kembali ke akar budayanya lewat lagu-lagu serta karya seni yang bercerita tentang alam dan tradisi Poso yang disesuaikan dengan zaman. Dia menyebut gerakan ini sebagai diplomasi budaya. Sebuah ruang ekspresi bagi anak-anak muda agar tidak larut dalam gelombang teknologi informasi yang merubuhkan identitas mereka sebagai orang Poso.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda