16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan

0
1629
Perempuan dan anak-anak Poso turun ke jalan serukan hentikan kekerasan pada anak. Foto : Dok. Mosintuwu

25 November 1960, Patria, Minerva dan Maria Teresa dibunuh dengan keji. Penguasa diktator Republik Dominika, Rafael Trujillo membunuh ketiganya karena tidak berhenti memperjuangkan demokrasi dan keadilan. Ketiganya juga menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran penguasa Republik Dominika pada waktu itu. Tanggal ini kemudian menandai diakuinya adanya kekerasan berbasis jender. Oleh Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama tahun 1981  tanggal ini kemudian dideklarasikan sebagai hari internasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Tanggal ini kemudian diadopsi menjadi tanggal dimulainya kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. Kampanye ini digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. 

16 hari ditetapkan sebagai sebuah rentang waktu yang memberikan ruang yang cukup bukan hanya aktivits tapi seluruh kalangan masyarakat untuk menggalang gerakan solidaritas, mendorong adanya kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan yang lebih baik bagi para penyintas dan mengajak semua orang untuk turut terlibat aktif sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Dalam rentang waktu 16 hari hingga 10 Desember 2019, terdapat hari lainnya yang memiliki makna yang sama dalam kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. 

1 Desember adalah  Hari AIDS Sedunia yang ditetapkan oleh konferensi internasional tingkat menteri kesehatan seluruh dunia tahun 1988.  Setiap tanggal 1 Desember dimulai kampanye tahunan yang menggalang dukungan publik untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS, juga mengembangkan program pendidikan dan kesadaran kritis atas isu seputar AIDS. 

Baca Juga :  Sederhana, Milik Natal 2020

2 Desember adalah Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan . Pada tanggal 2 Desember, Konvensi PBB mengenai Penindasan terhadap Orang-orang yang diperdagangkan dan eksploitasi terhadap orang lain mengadopsi resolusi Majelis Umum PBB No 317(IV) pada tahun 1949. Konvensi ini merupakan salah satu tonggak perjalanan dalam upaya memberikan perlindungan bagi korban, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak, atas kejahatan perdagangan manusia.

3 Desember diperingati sebagai Hari Internasional bagi Penyandang Cacat. 

Program aksi sedunia bagi penyandang cacat ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1982 

Hari internasional penyandang cacat dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman publik akan isu mengenai penyandang cacat. Selain itu mambangkitkan kesadaran akan manfaat yang dapat diperoleh, baik oleh masyarakat maupun penyandang cacat, dengan mengintegrasikan keberadaan mereka dalam segala aspek kehidupan masyarakat

5 Desember diperingati sebagai Hari Internasional bagi Relawan

Pada tahun 1985 PBB menetapkan tanggal 5 Desember sebagai Hari Internasional bagi Sukarelawan. Pada hari ini, PBB mengajak organisasi-organisasi dan negara-negara di dunia untuk menyelenggarakan aktivitas bersama sebagai wujud rasa terima kasih dan sekaligus penghargaan kepada orang-orang yang telah memberikan kontribusi amat berarti bagi masyarakat dengan cara mengabdikan hidupnya sebagai sukarelawan.

6 Desember adalah Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan . Pada tanggal 6 Desember tahun 1989, terjadi pembunuhan massal di Universitas Montreal Kanada yang menewaskan 14 mahasiswi dan melukai 13 lainnya .  13 diantaranya yang tewas adalah perempuan. Mereka dibunuh dengan menggunakan senapan semi otomatis kaliber 223. Pelaku melakukan tindakan tersebut karena percaya bahwa kehadiran para mahasiswi itulah yang menyebabkan dirinya tidak diterima di universitas tersebut. Hal ini terungkap karena sebelum pada akhirnya bunuh diri, lelaki ini meninggalkan sepucuk surat yang berisikan kemarahan amat sangat pada para feminis . Bahkan, terdapat daftar 19 perempuan terkemuka yang sangat dibencinya.

Baca Juga :  Berpisah Bukan Karena Benci,Tapi Karena Saling Jaga

10 Desember adalah Hari HAM Internasional. Hari HAM Internasional bagi organisasi-organisasi di dunia merupakan perayaan akan ditetapkannya dokumen bersejarah, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) oleh PBB di tahun 1948 . Tahun ini sekaligus merupakan momen untuk menyebarluaskan prinsip-prinsip HAM yang secara detil terkandung di dalam deklarasi tersebut kepada seluruh dunia.

Tanggal 10 Desember dipilih untuk menghormati Majelis Umum PBB yang mengadopsi dan memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sebuah pernyataan global tentang hak asasi manusia. Pernyataan ini terdiri dari 30 pasal yang menggarisbesarkan pandangan majelis umum PBB tentang jaminan hak-hak asasi manusia kepada semua orang.  Eleanor Roosevelt, ketua wanita pertama Komisi HAM yang menyusun deklarasi ini mengatakan “ Deklarasi ini bukanlah sebuah perjanjian . Pada masa depan , ini mungkin akan menjadi magna carta”.

Peringatan hari Hak Asasi Manusia sendiri baru dimulai tahun 1950 ketika Majelis Umum PBB mengundang semua negara dan organisasi yang peduli untuk merayakan.

Baca Juga :  Dulu Tak Berani Melintas, Kini Saling MenginapThe Story of Women in Post Conflict Zone

Kampenye 16 Hari Anti Kekerasan di Poso

Di Poso, kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah dimulai sejak tahun 2015 melalui gerakan Satu Milyar Bangkit yang diorganisir oleh Institut Mosintuwu. Sementara itu sejak tahun 2017, Institut Mosintuwu menjadi bagian dari organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang ikut melakukan kampanye  16 hari anti kekerasan terhadap perempuan. 

Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu menyatakan,keterlibatan Institut Mosintuwu bukan hanya dalam kampanye tapi juga secara aktif melakukan advokasi atas kasus kekerasan terhadap perempuan. Institut Mosintuwu melakukan pendampingan kasus atas kekerasan terhadap perempuan melalui program Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak.

Dalam catatan RPPA Mosintuwu, sejak tahun 2014 hingga tahun 2018 terdapat puluhan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.  Pendampingan RPPA Mosintuwu mencatat terdapat 30 kasus KDRT, 31 kasus kekerasan seksual dan 2 kasus perkosaan.  7  kasus perkosaan menyebabkan kehamilan, penelantaran anak dan sebagainya. 

Karena itu, untuk memastikan upaya menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, tanggal 21 April 2018 Institut Mosintuwu bersama Polres Poso menandatangani dokumen kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU).  Nota kesepahaman ini berisi 9 pasal kerjasama yang menjamin prioritas penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak oleh kepolisian secara cepat dan serius. Penandatanganan Nota Kesepahaman itu sebagai langkah maju untuk memastikan agar masyarakat bisa membangun kebudayaan yang bebas dari tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Poso.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda