Koran Mosintuwu : Ruangnya Perempuan Poso Bersuara

0
1853

Kabar gembira datang dari kami, Institut Mosintuwu. Memikirkan penting dan perlunya suara perempuan didengarkan, dibicarakan, dijadikan dasar pengambilan keputusan, lahirlah Koran Mosintuwu.

Kali ini, tidak ada lagi komentar seperti “Apa juga perempuan tau?Kerja di dapur saja, urus anak-anak” bahasa ini paling sering didengar dalam masyarakat patriakhi saat membicarakan mengenai kemungkinan perempuan untuk bisa didengarkan. Bahasa ini pula yang sering mewakili proses diskriminasi, stereotipe, subordinasi perempuan, dalam upaya untuk terlibat aktif dalam pembangunan. Akibatnya, suara perempuan bukan cuma tidak didengarkan tetapi juga tenggelam dan dihilangkan, dianggap tidak ada.

Koran Mosintuwu punya mimpi yang besar untuk mewarnai bahkan mempengaruhi dinamika  ekonomi, sosial, budaya dan sipil politik di Kabupaten Poso pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Hadirnya Koran Mosintuwu merupakan sebuah upaya untuk membicarakan, menyuarakan, mendengarkan, mendiskusikan suara dan aksi perempuan dalam keterlibatan aktif dan kreatif dalam semua gerak sosial perubahan pembangunan di setiap sudut kehidupan. Koran Mosintuwu  merekam, mencatat, menuliskan pengalaman dan pengetahuan perempuan melalui Koran Mosintuwu bukan saja diharapkan menjadi ruang alternatif perempuan untuk bersuara.

Dipilihnya tanggal 22 Desember 2014, tanggal penerbitan pertama Koran Mosintuwu bukan tanpa alasan. Pada tanggal 22 Desember 1928, diselenggarakan Kongres pertama Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Kongres ini sangat monumental karena menunjukkan kekuatan dan kegigihan perempuan Indonesia untuk bergerak bersama dalam kemerdekaan Indonesia dengan terlibat langsung memutuskan kebijakan ekonomi, sosial dan politik. Kongres tanggal 22 Desember itu kemudian memutuskan agenda utama perempuan Indonesia yang memperjuangkan keadilan, kesetaraan perempuan dalam pembangunan nasional khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan.  Lalu, setiap tahunnya di Indonesia pada tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari Ibu. Istilah hari Ibu diberikan oleh Presiden Soekarno. Belakangan terdapat beragam catatan kritis atas penamaan hari Ibu karena dianggap berperspektif bias gender dengan konsep yang sangat Ibu-isme.

Baca Juga :  Mencicipi Rasa 40 Tahun Kukis Bagea

Koran Mosintuwu yang terbit tanggal 22 Desember 2014 menjadi simbol warisan semangat yang sama dari gerakan perempuan Indonesia yaitu bersuara, bergerak untuk perdamaian dan keadilan. Hal ini senada dengan tema utama edisi pertama sekaligus edisi khusus Koran Mosintuwu, yaitu Perempuan Poso  bersuara, bergerak untuk perdamaian dan keadilan.

Terdapat 6 kolom utama yang akan mewakili suara dan perspektif perempuan dan masyarakat akar rumput di Poso. Kolom Redaksi yang diberi judul Catatan Perempuan Poso ini merupakan kolom  sikap Mosintuwu terhadap isu yang diangkat dalam setiap terbitan; kolom Cerita Perempuan mengangkat cerita salah satu perempuan dari desa yang  dapat memberikan inspirasi terhadap gerakan perempuan untuk perdamaian dan keadilan; Kolom Suara Perempuan menyampaikan suara, pendapat, opini  beberapa perempuan dari desa  tentang tema-tema tertentu; Kolom Pengetahuan Perempuan adalah sebuah artikel yang menyampaikan perspektif perempuan tentang sebuah peristiwa;  Kolom Kabar Mosintuwu menyampaikan program-program yang sedang dilaksanakan  oleh Mosintuwu dalam bulan saat penerbitan; Kolom Kabar dari Desa menuliskan hal-hal menarik yang sedang terjadi di desa-desa di Kabupaten Poso dari perspektif perempuan; Kolom Ekspresi secara khusus mengangkat cerita menarik dari anak-anak dan remaja di Kabupaten Poso yang berpretasi dan menginspirasi. Tidak ketinggalan Kolom Agenda yang mengabarkan rencana kegiatan Mosintuwu di bulan selanjutnya.

Sebagai Koran alternatif yang mengangkat cerita dan suara , serta mencatat aksi perempuan Poso, Koran Mosintuwu bersumber dan ditulis oleh para perempuan Poso. Setiap anggota sekolah perempuan Mosintuwu, serta fasilitator sekolah perempuan berperan aktif dalam proses menceritakan, melaporkan, mengumpulkan cerita dari masyarakat untuk diramu menjadi catatan di Koran Mosintuwu. Dengan demikian, Koran yang terbit dua kali dalam sebulan, yaitu setiap hari Senin minggu pertama dan minggu ketiga ini mewakili suara perempuan dan masyarakat akar rumput. Sekali lagi, agar tidak tenggelam, tidak dihilangkan, sebaliknya menjadi kekuatan bersama dalam membangun masyarakat Poso yang damai dan adil.

Baca Juga :  Menolak Kesulitan DPR: Mengapa Poso Mendesak RUU PKS di Prolegnas 2020

Kabar gembira datang dari kami, Institut Mosintuwu. Memikirkan penting dan perlunya suara perempuan didengarkan, dibicarakan, dijadikan dasar pengambilan keputusan, lahirlah Koran Mosintuwu.

Kali ini, tidak ada lagi komentar seperti “Apa juga perempuan tau?Kerja di dapur saja, urus anak-anak” bahasa ini paling sering didengar dalam masyarakat patriakhi saat membicarakan mengenai kemungkinan perempuan untuk bisa didengarkan. Bahasa ini pula yang sering mewakili proses diskriminasi, stereotipe, subordinasi perempuan, dalam upaya untuk terlibat aktif dalam pembangunan. Akibatnya, suara perempuan bukan cuma tidak didengarkan tetapi juga tenggelam dan dihilangkan, dianggap tidak ada.

Koran Mosintuwu punya mimpi yang besar untuk mewarnai bahkan mempengaruhi dinamika  ekonomi, sosial, budaya dan sipil politik di Kabupaten Poso pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Hadirnya Koran Mosintuwu merupakan sebuah upaya untuk membicarakan, menyuarakan, mendengarkan, mendiskusikan suara dan aksi perempuan dalam keterlibatan aktif dan kreatif dalam semua gerak sosial perubahan pembangunan di setiap sudut kehidupan. Koran Mosintuwu  merekam, mencatat, menuliskan pengalaman dan pengetahuan perempuan melalui Koran Mosintuwu bukan saja diharapkan menjadi ruang alternatif perempuan untuk bersuara.

Dipilihnya tanggal 22 Desember 2014, tanggal penerbitan pertama Koran Mosintuwu bukan tanpa alasan. Pada tanggal 22 Desember 1928, diselenggarakan Kongres pertama Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Kongres ini sangat monumental karena menunjukkan kekuatan dan kegigihan perempuan Indonesia untuk bergerak bersama dalam kemerdekaan Indonesia dengan terlibat langsung memutuskan kebijakan ekonomi, sosial dan politik. Kongres tanggal 22 Desember itu kemudian memutuskan agenda utama perempuan Indonesia yang memperjuangkan keadilan, kesetaraan perempuan dalam pembangunan nasional khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan.  Lalu, setiap tahunnya di Indonesia pada tanggal 22 Desember diperingati sebagai hari Ibu. Istilah hari Ibu diberikan oleh Presiden Soekarno. Belakangan terdapat beragam catatan kritis atas penamaan hari Ibu karena dianggap berperspektif bias gender dengan konsep yang sangat Ibu-isme.

Baca Juga :  Perempuan Pekerja Seni berkumpul di Poso, MamPakaroso

Koran Mosintuwu yang terbit tanggal 22 Desember 2014 menjadi simbol warisan semangat yang sama dari gerakan perempuan Indonesia yaitu bersuara, bergerak untuk perdamaian dan keadilan. Hal ini senada dengan tema utama edisi pertama sekaligus edisi khusus Koran Mosintuwu, yaitu Perempuan Poso  bersuara, bergerak untuk perdamaian dan keadilan.

Sebagai Koran alternatif yang mengangkat cerita dan suara , serta mencatat aksi perempuan Poso, Koran Mosintuwu bersumber dan ditulis oleh para perempuan Poso. Setiap anggota sekolah perempuan Mosintuwu, serta fasilitator sekolah perempuan berperan aktif dalam proses menceritakan, melaporkan, mengumpulkan cerita dari masyarakat untuk diramu menjadi catatan di Koran Mosintuwu. Dengan demikian, Koran yang terbit dua kali dalam sebulan, yaitu setiap hari Senin minggu pertama dan minggu ketiga ini mewakili suara perempuan dan masyarakat akar rumput. Sekali lagi, agar tidak tenggelam, tidak dihilangkan, sebaliknya menjadi kekuatan bersama dalam membangun masyarakat Poso yang damai dan adil.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda