Masyarakat Adat Danau Poso Tuntut Poso Energi Tutup Bendungan PLTA Poso I

0
1210
Megilu / aksi masyarakat adat Danau Poso menuntut Poso Energi. Foto : Dok. Masyarakat Adat Danau Poso

Sudah 2 tahun, masyarakat adat di sekeliling Danau Poso merasakan kesulitan hidup karena Poso Energy, perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla. Gagal panen karena uji coba pintu air PLTA, sawah dan kebun yang hingga sekarang terendam, kerbau mati dan ladang penggembalaan terendam adalah sebagian dari kesulitan yang disampaikan oleh Masyarakat Adat Danau Poso dalam aksi Megilu, Senin, 21 November 2021. Megilu adalah cara adat orang Pamona Poso menyampaikan keluhan dan tuntutan.

Aksi megilu diikuti oleh 340-an masyarakat dari 21 desa di sekeliling Danau Poso. Aksi megilu didominasi orang-orang tua termasuk para pematua adat yang menggunakan pakaian adat lengkap.  Megilu dimulai di lapangan Pamona Puselemba, dengan tarian Ende Toroli oleh para perempuan berpakaian adat yang langsung disambut warga lainnya dalam tarian bersama. 

Perjalanan megilu singgah di Kompodongi, wilayah ulayat adat Danau Poso. Di tempat ini, Poso Energi melakukan reklamasi , menjadikan kompodongi sebagai tempat buangan pasir yang disedot kapal keruk.  Ngkai Modjanggo, tokoh adat dari Meko melakukan ritual menjatuhkan denda adat pada Poso Energi karena rusak lingkungan dan budaya danau Poso. 

Sepanjang perjalanan, syair lagu Danau Poso yang sudah dirusak dilantunkan warga sambil menunjukkan pamflet berisi protes atas perlakuan Poso Energy di Danau Poso. Antara lain : Danau Poso bukan milik Poso Energi, tapi milik orang Poso; Sungai/Danau Poso dikeruk, Poso Energy Kaya , Masyarakat Miskin; Sawah sumber hidup terendam,  diganti 10 kg/are , itu JAHAT ! Jangan Mengaku Tokoh Damai Kalau Menyusahkan Masyarakat Adat Danau Poso. PT Poso Energi dimiliki oleh keluarga Jusuf Kalla, Jusuf Kalla selama ini diklaim sebagai tokoh damai dalam konflik Poso karena menggelar deklarasi Malino. Spanduk berukuran panjang bertuliskan “Poso Energy kembalikan siklus air Danau Poso” dan “Hentikan / Tutup Bendungan PLTA Poso I” menyertai perjalanan warga yang melakukan megilu. 

Sepanjang perjalanan, syair lagu Danau Poso yang sudah dirusak dilantunkan warga sambil menunjukkan pamflet berisi protes atas perlakuan Poso Energy di Danau Poso. Spanduk berukuran panjang bertuliskan “Poso Energy kembalikan siklus air Danau Poso” dan “Hentikan / Tutup Bendungan PLTA Poso I” menyertai perjalanan warga yang melakukan megilu. 

Baca Juga :  Petani dan Nelayan Danau Poso, Bernegosiasi Sampai ke Gubernur
Megilu / aksi masyarakat adat Danau Poso menuntut Poso Energi. Foto : Dok. Masyarakat Adat Danau Poso

    Hajai Ancura, koordinator lapangan menyatakan bendungan PLTA Poso I telah menahan ketinggian air Danau Poso pada titik operasi tertentu sehingga sudah 2 tahun air danau tidak pernah surut. Padahal, siklus air normal Danau Poso telah mendasari dinamika kehidupan para petani dan nelayan di sekeliling Danau Poso. 

Y. Wuri, dengan lantang menyampaikan kondisi yang dialami warga akibat bendungan PLTA Poso I. 

“Sudah terlalu lama warga diabaikan. Kita ini orang baik, itu sebabnya orang Poso disebut Madago Raya ( baik hati ), tapi kita juga punya batas” 

Kesabaran yang disebutkan oleh Y. Wuri disambung dengan jelas oleh para orator dari berbagai desa saat warga tiba di lokasi aksi Patung Kruyt. 

“Petani tidak bisa bertani, itu semua karena ulah PT Poso Energy. Masyarakat adat yang ada di sekeliling Danau Poso mengalami kerugian ekonomi, kerugian materiil , kerugian psikologi. Petani di sekeliling Danau Poso dipaksa untuk tidak bertani. Anak-anak kami putus sekolah dan tidak bisa melanjutkan kuliah lalu Poso Energy hanya membayar 10 kg/are “ seru Roslin, petani dari Desa Meko. 

Megilu / aksi masyarakat adat Danau Poso menuntut Poso Energi. Foto : Dok. Masyarakat Adat Danau Poso

Senada dengan Roslin, para petani lainnya dari Dulumai, Tonusu, Bancea mengungkapkan bagaimana Poso Energi menghina petani dengan memaksa petani menerima 10 kg/ are bahkan dengan menandatangani pakta integritas yang isinya antara lain warga tidak boleh aksi . 

“Jalan keluar yang selama ini ditempuh warga tidak pernah diterima” teriak Kades Tokilo.  “Kehidupan kami selama 2 tahun terakhir dirampas.  Poso Energy masuk dengan aktivitas Poso II kami tidak pernah memberontak, tapi Poso I beraktivitas kami turun tangan, hak kami dirampas”

Tidak ketinggalan, Lani dan Ryan, anak muda yang juga ikut megilu masyarakat adat Danau Poso menyampaikan suara mereka.

“Siapa anak muda disini yang bisa sekolah dan kuliah karena hasil sawah? siapa yang bisa dapat akses kesehatan karena hasil sawah, siapa yang bisa bikin rumah karena sawah, siapa yang bisa beli motor karena hasil sawah? “ pertanyaan Lani, dijawab dengan seruan berulang dari warga bahwa mereka semua bisa hidup karena sawah, peternakan. 

Baca Juga :  Di Pagar Masapi, Fredi Kalengke Melawan Hingga Titik Terakhir

Sementara itu Ryan juga menyebutkan kerusakan lingkungan yang dilakukan Poso Energy dengan menggunakan dinamit untuk meledakkan struktur batuan di outlet Danau Poso

“Saya hidup, bisa sekolah karena Danau. Kalau ada orang tua yang dibodohi Poso Energy, anak muda yang akan maju supaya kita jangan mau ditipu Poso Energy” 

Kesulitan yang dibuat Poso Energy bukan hanya pada petani dan peternak di sekeliling Danau Poso. Penambang pasir dari Petirodongi menyebutkan kerugian yang terjadi karena material pasir di Kompodongi dikuasai oleh Poso Energy saat pengerukan dilakukan.

“Material pasir kami sudah habis, apa yang terjadi dengan mata pencaharian kami jika aset sudah dirampas”  seru penambang pasir. Kesulitan bukan hanya dialami penambang pasir yang kehilangan lapangan pekerjaan, tapi juga warga yang membutuhkan pasir.  Sebelum Poso Energy beroperasi akses pasir warga di sekeliling Danau Poso dipermudah oleh para penambang pasir tradisional. Namun sejak PLTA Poso I beroperasi, warga harus mencari ke wilayah Poso Pesisir yang membutuhkan biaya lebih. Kesulitan juga dialami oleh para nelayan yang sudah tidak lagi bisa memancing atau memanah ikan sejak Kompodongi dikuasai oleh Poso Energi.  

Atas semua kesulitan dan pemiskinan yang dilakukan Poso Energy pada masyarakat adat Danau Poso, warga menuntut dihentikannya operasional PLTA Poso I, kembalinya siklus normal air Danau Poso dan ganti untuk semua kerugian yang ditimbulkan. Masyarakat adat Danau Poso memutuskan untuk melakukan pemblokiran jalan Trans Sulawesi sebagai pilihan agar suara mereka di dengar dan agar tuntutan dipenuhi. 

“Kita semua tahu, biang kerok masalah ini adalah bendungan PLTA Poso I “ seru Y. Wuri.

Megilu / aksi masyarakat adat Danau Poso menuntut Poso Energi. Foto : Dok. Masyarakat Adat Danau Poso

“Bongkar!” serempak warga masyarakat adat Danau Poso yang mengikuti aksi menyahuti seruan ini. Kata bongkar berulangkali disuarakan seiring dengan tuntutan untuk mengembalikan siklus air Danau Poso normal.

Baca Juga :  Festival Dongeng Anak Poso , Bawakan Cerita Damai Tana Poso

“2022, petani sudah mau ba sawah “ seru Roslin.

Desakan untuk menghadirkan Pemerintah Daerah dan Poso Energi dilakukan masyarakat sambil duduk di tengah jalan dan menolak bergeser. Hanya ambulans dan orang sakit yang diperbolehkan untuk lewat tiga arah jalan. Lagu-lagu perjuangan terus disuarakan, warga bergantian menyampaikan tuntutan atas kesulitan yang dibuat Poso Energi.

“ Kembalikan siklus air danau Poso” 

“ Hentikan semua aktivitas Poso Energi”

“ Ganti kerugian warga “

Tuntutan ini juga yang disampaikan warga saat akhirnya berhasil mendesak perwakilan Poso Energy hadir mendengarkan warga pada pukul 07.00 malam. Safri, humas Poso Energy , berusaha memberikan penjelasan atas aktivitas Poso Energy namun semuanya dibantah masyarakat .  Saat mengatakan bahwa kesepakatan 10 kg / are adalah kesepakatan yang dihadiri oleh Pemerintah Daerah, Camat Pamona Puselemba segera mengklarifikasi dengan mengatakan bahwa hal tersebut tidak benar dan keliru. 

Meskipun tidak mendapatkan jawaban dari perwakilan Poso Energy, masyarakat adat Danau Poso bersikukuh pada pendapat bahwa Poso Energy telah menyusahkan, memiskinkan hidup masyarakat adat Danau Poso serta mengganggu kebudayaan masyarakat adat Danau Poso dan merusak lingkungan. Karena itu, megilu yang dilangsungkan sejak jam 10 pagi hingga jam 8 malam ini ditutup dengan pernyataan sikap.

Pertama, Poso Energy dilarang melakukan aktivitas selama denda adat tidak dijalankan dan selama tidak memenuhi tuntutan masyarakat adat Danau Poso . Poso Energy diberikan waktu 8 hari sejak hari megilu untuk menjalani denda adat.

Kedua, menuntut ganti untung semua kerugian yang dialami masyarakat adat Danau Poso dengan perhitungan berdasarkan perhitungan petani, peternak dan penambang pasir.

Ketiga, Poso Energy mengembalikan sikls normal air Danau Poso dan menutup operasional bendungan PLTA 

Warga masyarakat adat Danau Poso berjanji akan kembali lagi melakukan megilu dengan jumlah massa yang lebih besar jika tuntutan tidak dipenuhi Poso Energi.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda