Ketika Bangun Lebih Pagi, Tidur Lebih Malam adalah Cara Berbagi dan Belajar

0
1968
Festival Mosintuwu 2019, mengangkat tagline bertemu, belajar, merayakan kekayaan budaya, alam dan keanekaragaman hayati Poso. Foto : Dok. Mosintuwu

Di samping saya, Ica, mengatupkan kedua tangannya sambil merapal mirip doa “ Jangan gugup Naldi, jangan gugup”. Sekitar 3 meter dari arahnya,  di hadapan beberapa pejabat, Naldi sedang membacakan naskah dalam posisinya sebagai MC. Saat beberapa kali kalimat yang dibacanya terdengar belepotan, Ica berbisik “aduh” lalu kemudian cepat-cepat mengepalkan tangan kanannya sedikit ke depan dan menggantinya dengan kata “semangat Naldi”

Saat itu sedang diadakan seminar Ekspedisi Poso, salah satu kegiatan utama di Festival Mosintuwu yang diselenggarakan Institut Mosintuwu sejak 31 Oktober hingga tanggal 2 November 2019. 

Saat Ica dan Naldi bergantian ke depan bagian depan memimpin prosesi awal seminar, di bagian belakang ruangan Geby, Deon dan Arif saling memberi kode untuk ke dapur menyiapkan makanan ringan untuk peserta seminar yang memenuhi ruang Dodoha. Di bagian samping lokasi seminar, Dito sibuk melayani para peserta yang masih berdatangan dari berbagai desa. 

Sayup-sayup terdengar di lokasi seminar, suara Fira sedang memberikan pengumuman bagi pengunjung tentang acara Festival Mosintuwu yang sedang berlangsung. Sesekali, dengan riang mengingatkan pengunjung untuk tidak membuang sampah sembarangan dan mengajak mengurangi penggunaan sampah plastik . Sementara di panggung lokasi festival, Iqbal dan Cio  nampak berlari kecil dari panggung ke lokasi soundsystem membantu para bintang tamu agar punya musik yang dihasilkan maksimal saat konser.

Ini hari ketiga dari kesibukan yang dilakukan dengan riang gembira oleh anak-anak muda ini. Kami menyebut mereka relawan muda. Mereka menerima ajakan dari  gerakan Mosintuwu  melalui sosial media yang kami sebut gerakan karena berbagi tidak merugikanmu. Tagline  ini  disematkan bagi para relawan yang berproses dengan kegiatan yang diselenggarakan Mosintuwu sambil belajar. 

Selama 3 hari berturut-turut, setiap hari bangun lebih pagi tidur lebih lambat. Mulai dari mengangkat sampah di lokasi, mengatur lokasi-lokasi workshop, memastikan kebutuhan ATK , menyambut tamu, menjadi MC dan  moderator, hingga memastikan ada makanan dan minuman tersedia. Ini hanya sebagian dari kegiatan mereka yang dilakukan tanpa pamrih.  Empat hari sebelum festival, mereka bekerja hingga larut malam demi diciptakannya ruang bertemu , belajar dan merayakan kekayaan budaya, alam dan keanekaragaman hayati di Festival Mosintuwu.

Baca Juga :  Penataan Sungai Poso tanpa Sosialisasi AMDAL
Relawan Mosintuwu, karena berbagi tidak merugikanmu. Foto : Dok. Mosintuwu

Yang Langka : Identitas dan Keingintahuan

Mencari relawan , apalagi anak muda, bukan hal yang mudah dalam konteks dimana sistem dan mekanisme dalam masyarakat sudah mulai berubah yang mengajarkan semua ada upahnya. Upah yang dimaksudkan adalah dalam bentuk uang atau materill lainnya. Hasil menjadi lebih penting daripada proses.  Sementara bagi anak muda yang bergabung menjadi relawan, ketidaktahuan menjadi alasan penting untuk mengetahui sambil berbagi . 

“Saya ingin bertemu banyak orang dan belajar banyak hal yang saya tidak tahu “ jelas Cio dari Kota Poso tentang motivasinya. Sementara Geby dan Inez, anak SMU asal Tentena menyebutkan ingin mengembangkan dirinya dengan bekerjasama dengan orang lain. Keduanya secara khusus meminta ijin tidak masuk sekolah untuk bisa menjadi bagian dari gerak berbagi.  

Dito, secara khusus naik motor dari Palu untuk bisa bergabung dengan kelompok relawan ini. Dia bergabung bahkan saat masa persiapan. Dito meninggalkan kuliah dan komunitasnya selama 6 hari untuk apa yang disebutnya mencari identitasnya.

“Meskipun sudah hampir 20 tahun di Poso,  saya tidak banyak tahu tentang Poso.  Saat kuliah di Palu, saya seakan tidak punya identitas untuk diceritakan ke orang di sekitar saya. Saat tahu ada festival Mosintuwu yang memperkenalkan banyak kebudayaan Poso, saya langsung ingin bergabung untuk belajar tentang kebudayaan Poso” 

Senada dengan Dito, Ica dan Fira menceritakan keingintahuannya tentang Poso karena ketidaktahuannya tentang apa saja yang ada di Kabupaten Poso. 

“Padahal kami tinggal di Poso” tulis keduanya.

Baca Juga :  Dari Takut, Ke Rasa Gembira : Relawan Saling Jaga Berbagi Informasi Covid-19

Sementara Iqbal, memulai niatnya menjadi relawan karena rasa penasaran. Cenderung pendiam diantara yang lain, Deon dan Arif, menyebutkan alasan bergabung menjadi relawan karena ingin tahu .

Saat anak muda lain sibuk selfie, atau mencari platform eksistensi lainnya, ke sepuluh anak muda relawan ini mencari jawaban siapa diri mereka melalui kerja bersama sebagai relawan. Ketidaktahuan tentang diri mereka sekaligus menjadi alasan untuk berbagi apa yang mereka ketahui. Mereka mengukur kemampuan mereka sendiri dengan cara melakukannya langsung.

Saat Naldi diminta menjadi MC untuk seminar Ekspedisi Poso dan Konser Musik, Naldi mengakui bahwa  berbicara di depan umum adalah salah satu kelemahannya. Tapi kepercayaan yang diberikan padanya menjadi ruang untuk melawan ketakutannya sambil belajar. Saya meyakinkan Naldi untuk tidak terlebih dahulu berpikir kesempurnaan sebagai hasil dari yang dilakukan.

“Bekerja, bekerjasama , dan paling penting jangan lupa bersenang-senang” Kami menyepakati ide ini saat sedang sangat sibuk mengatur semua kebutuhan teknis festival. 

Bersenang-senang, diterjemahkan oleh para relawan dalam bentuk pengetahuan baru dan kawan baru. Ica dan Fira kompak menyebutkan kekaguman mereka terhadap pengetahuan baru tentang Poso yang diperolehnya saat berkunjung ke beberapa stand Festival Mosintuwu

“Saya jadi lebih tahu masakan tradisional yang gunakan rempah alami, kurangi bahan kimia dan minimalisir penggunaan sampah plastik” ujar Ica “  Oh ya saya sempat bertanya langsung ke salah satu desa yang cerita bahwa orang tua dahulu kala berusia hingga ratusan tahun karena makan masakan tradisional yang sehat dan alami ini” 

Naldi menyetujui ucapan Ica,  dia juga menjadi lebih kenal nama desa, nama alat musik, nama makanan. Bahkan bukan cuma mengenal tapi melihat langsung adalah pengalaman yang luar biasa baginya.

Pojok baca dan kreativitas anak di Festival Mosintuwu , didampingi oleh relawan Mosintuwu. Foto : Dok. Mosintuwu

Kerja tim menjadi kunci kerja relawan Mosintuwu. Tidak banyak pertemuan yang kami lakukan untuk pembagian kerja atau melakukan cek dan ricek agenda. Terkadang saat semuanya terlihat sudah capek sekali, kami memutuskan tidur saja daripada rapat. WA grup yang kami bentuk bersama sangat efektif menjalin komunikasi antar tim , bukan hanya untuk pembagian tugas tapi saling mendukung. 

Baca Juga :  Festival Mosintuwu, Festivalnya Rakyat Desa

“Saya terharu merasakan kekompakan dan solidaritas  antar teman relawan, sehingga terasa seperti menemukan keluarga  yang lain” ujar Ica

Hal yang sama dirasakan Cio yang bangga menjadi bagian dari relawan Mosintuwu karena belajar tentang rasa kekeluargaan meskipun berasal dari berbagai latarbelakang agama dan suku. Meskipun baru pertama kali bertemu dan beragama berbeda-beda, mereka saling mendukung dan bersolidaritas. Tidak saling menunjuk siapa mengerjakan apa, sebaliknya tanpa ragu dan sigap mengajukan diri mengerjakan banyak hal.

“Saya” tangan-tangan mengacung bersamaan ke udara saat kami menanyakan siapa yang bisa mengerjakan ini itu. Berulangkali terjadi, sebuah sinyal kerelawanan tanpa batas dan riang gembira. Saya dan Yeni koordinator acara Festival Mosintuwu tidak pernah merasa kesulitan meminta bantuan.

Yogi menyebutkan, menjadi relawan di Festival Mosintuwu, mengajarkannya banyak hal terutama kerja tim dan menghargai ide orang lain. Satu minggu setelah pelaksanaan festival, Iqbal bercerita beberapa orang mengatakan padanya “banyak sekali perkembanganmu pulang dari festival”

Alhasil, anak muda ini pada tahap awal bukan hanya mengetahui beragam hal tentang kekayaan budaya, alam dan keanekaragaman hayati Poso tapi juga  secara perlahan menemukan diri mereka. 

Sejak pertama kali mengembangkan konsep relawan karena berbagi tidak merugikannya, saya belajar.  Belajar tentang rasa ingin tahu anak muda bukanlah hanya tentang dirinya sendiri tapi tentang kepedulian mereka melihat masa depan mereka dalam sebuah sistem masyarakat yang lebih luas. Saya belajar tentang membangun harapan bersama anak-anak muda relawan.  Pada konteks itulah, relawan karena berbagi tidak merugikanmu adalah sebuah gerakan sosial untuk kedaualatan kebudayaan. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda