“Pohon kelapa saya setiap kali panen hasilnya 2,5 ton, semua hilang sekejap, pohon kelapa saya tumbang semua saat banjir, banyak juga pohonnya mati karena panas akibat pasir yang dibawa oleh banjir” papa Nona mengenang bencana banjir bandang yang menghancurkan desa Lemusa tahun 2012 silam.
Tujuh tahun berlalu, papa Nona dan warga desa Lemusa lainnya masih belum bisa mengembalikan kondisi sawah dan kebun yang masih tertimbun jutaan ton pasir. Kondisi ekonomi desa yang tadinya makmur berubah. Banyak pemuda yang harus pergi keluar untuk mencari pekerjaan. Yang bertahan sebagian menjadi penarik kayu bantalan, hasil penebangan dari hutan di sebelah barat desa.
Kondisi desa Lemusa makin suram ketika anak-anak mudanya sering terlibat perkelahian, narkoba masuk, mabuk-mabukan menjadi cerita sehari-hari yang menimbulkan stigma negatif orang-orang luar ketika kita menyebut desa ini. Suram seperti tidak ada yang positif.
Lalu muncul anak-anak muda seperti Stevin Ntibu, Andi, Andris, Julianto Padu’o dan Stefan mengajak pemuda desanya memulihkan kembali kampung mereka. Caranya, membangun organisasi sebagai wadah anak muda Lemusa menyalurkan ide membangun desa.
Hampir sama dengan Lemusa, desa Toaya juga porak poranda akibat bencana. Gempa bumi dan tsunami yang terjadi 28 September 2018 menghancurkan sebagian besar rumah. Tembok rumah Ade Nuriadin roboh ditimpa tembok tetangganya. Ibunya beruntung selamat setelah ikut tertimpa reruntuhan tembok rumah.
Tidak larut dalam kepedihan, Ade mengorganisir teman-temannya di desa Toaya untuk membuka dapur umum membantu warga yang hidup ditenda-tenda selama berbulan-bulan. Berawal dari gerakan kerelawanan yang mereka beri nama Jaringan Relawan Kemanusiaan Pantai Barat inilah mereka kemudian mendirikan Institut Tana Sanggamu.Langkah pertama dilakukan lewat diskusi. Tidak ada pembicaraan tentang proyek, mereka juga tidak membicarakan berapa honor yang akan diterima meski sering mendengar banyak teman-teman mereka dibayar untuk bekerja dengan organisasi bantuan yang masuk ke Sulteng pasca bencana 28 September 2018.
Bekerjasama dengan Institut Mosintuwu, anak-anak muda ini kemudian menyusun rencana membangun kembali tanah kelahiran mereka pasca bencana. Pemetaan geospasial menjadi metode awal yang dikembangkan untuk mengenal dan memahami desa mereka sebelum menyusun rencana pembangunan. Pemetaan geospasial sebagai sebuah metode awal menyusun rencana pembangunan adalah pemetaan deskriptif terkait kondisi geografis, topografi desa.
Rusaknya tanah pertanian di Lemusa pasca banjir bandang dan masalah irigasi di Toaya yang juga rusak pasca gempa 7,4 SR adalah persoalan yang hendak mereka respon. Mereka melakukan riset dengan pemetaan geospasial dan mengumpulkan data sosial.
“Pertama saya hanya pegang-pegang saja ini GPS, saya tidak tahu bagaimana cara melihat apalagi pake. Saya bawa jalan saja keliling batas”tutur Julianto, ketika pertama kali melakukan pemetaan geospasial.
Mereka mengukur kadar air atau PH air dari sumber-sumber air di desa. Di Toaya kadar PH air di mata air Tombu lebih dari 7 yang artinya aman di konsumsi. Di Lemusa, di sebelah selatan desa mereka temukan sumber airnya tidak aman dikonsumsi karena kadar PH dibawah 6.
Dibantu Jefri Nurrahman dan Yogi dari Mitra Aksi Jambi, anak-anak muda di Lemusa dan Toaya membuat peta desa yang kaya informasi. Memuat informasi luas lokasi tanah produktif namun belum dimanfaatkan, termasuk posisi ketinggian desa dari laut, ini penting untuk melihat apakah posisi desa mereka aman jika terjadi tsunami.
Pemerintah desa Lemusa sangat aktif membantu aktifitas pemuda Rumah Sangga. Stevin menceritakan, saat mereka pergi mengukur posisi batas desa dengan GPS, perangkat desa turut serta dan menunjukkan dimana posisi batas. ‘Mereka sampai masuk dalam semak untuk kasi tunjuk batasnya’kata Ita mengenai peran pemerintah desanya membantu mereka.
Mengapa Geospasial menjadi pilihan Rumah Sangga Lemusa dan Institut Tana Sanggamu dalam membangun kembali desa mereka pasca bencana?
Jefri Nurrahman, ahli pemetaan Geospasial dari Mitra Aksi Jambi punya penjelasannya.
Saat diskusi malam hari setelah pemetaan, Jefri mengatakan, data Geospasial sangat penting menjaga tanah desa mereka dari pencaplokan yang banyak terjadi ketika investasi masuk.
Ade mengatakan, pilihan melakukan pemetaan geospasial sangat penting untuk melindungi desa, terutama sumber air dan lahan pertanian dari investasi yang merusak lingkungan seperti sawit dan pertambangan. Di Indonesia, baru sekitar 2 persen desa yang memiliki batas desa yang jelas berupa dokumen keputusan mengenai batas desa. Dimasa depan, tanpa data geospasial yang jelas akan sangat berbahaya. Sebab atas nama investasi, pemerintah bisa menyerahkan lahan yang sebenarnya bisa manfaatkan oleh masyarakat. Karena itu hasil pemetaan geospasial akan digunakan untuk merancang pembangunan yang memastikan masyarakat terlibat dan terlindungi.
Pemetaan geospasial di Desa Lemusa dan Toaya merupakan rangkaian pengembangan program rekonstruksi paska bencana berbasis komunitas yang diorganisir Institut Mosintuwu. Pemetaan geospasial diikuti dengan pemetaan sosial kepada 20% total jumlah penduduk yang ada di Lemusa dan Toaya. Pemetaan dilakukan sepanjang bulan September hingga November 2019. Anak muda dan kelompok perempuan menjadi subyek pembangunan untuk memastikan desa membangun dengan berkeadilan.
“Kami sangat senang keterlibatan anak muda dalam merancang bagaimana desa membangun” kata Sekretaris Desa Lemusa.
Kehadiran metode pemetaan geospasial sebagai langkah merancang pembangunan desa paska bencana di Desa Lemusa memberikan harapan baru. Pemerintah Desa Lemusa melalui sekretaris menceritakan soal pemetaan geospasial kepada desa tetangganya dengan bangga.
“Desa tetangga kami juga sangat mau bahkan meminta supaya anak-anak muda ini nantinya bisa bantu pemetaan sosial di desa mereka. Tapi kami bilang tunggu dulu, desa kami dulu yang dikerjakan” ujar Sekdes sambil tertawa.
Kebanggaan ini bukan tanpa alasan. Kabupaten Parigi Moutong sudah menyebutkan pentingnya geospasial sebagai alat menentukan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya suatu objek atau kejadian geografis, dimensi atau ukuran, karakteristik objek alam dan lain lain. Hal ini disampaikan langsung oleh Bupati Parigi Moutong diwakili Kepala Bappelitbangda Parimo Ir Irfan Maraila dalam sebuah workshop pemetaan geospasial. Meskipun demikian, belum ada satu desa yang mempraktekkan pemetaan geospasial tersebut.
Desa Lemusa, bukan saja menjadi desa yang pertama melakukan pemetaan geospasial di Kabupaten Parigi Moutong , tapi juga dilakukan oleh anak muda yang selama ini diremehkan dalam pembicaraan tentang pembangunan .
“Kami lebih percaya diri, bahwa kami anak muda bisa punya kontribusi bagi desa membangun” kata Ita, koordinator Sangga Lemusa.