Saya ingin memulai percakapan tentang bagaimana sekolah dapat menjadi laboratorium aktif untuk berkolaborasi , berdialog dan menciptakan tindakan untuk memberdayakan anak-anak dan remaja yang inklusif dengan bercerita.
Saya tinggal di Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Sebuah daerah yang pernah mengalami konflik yang melibatkan komunitas agama. Saya belum lahir saat konflik terjadi, namun hingga saat ini saya masih merasakan bagaimana pentingnya membangun kehidupan masyarakat yang inklusif agar perbedaan tidak menimbulkan konflik.
Saya seperti banyak anak-anak lainnya di dunia dan kita semua tidak pernah memilih untuk lahir dimana, bersuku apa atau bahkan beragama apa sejak kecil. Tidak ada yang memilih untuk dilahirkan di Amerika, bersuku Aborigin, atau lahir di Eropa dan beragama Yahudi, atau di Timur Tengah dan beragama Islam, atau di Indonesia berkulit coklat dan beragama Budha atau Kristen dan sebagainya. Setiap anak dan kita lahir pertama-tama sebagai manusia bukan dalam bungkus agama. Kenyataannya, tradisi kebudayaan dan agama memiliki nilai penting dalam perkembangan setiap anak di dunia termasuk saya.
Karena itu perbedaan dan keberagamaan adalah sesuatu yang niscaya. Saya bersekolah di kelas yang mayoritas beragama Kristen, namun saya sangat sering mendengar suara azan dari satu-satunya mesjid di kota saya, saya juga pernah melihat teman-teman Hindu membuat ritual tradisi yang menurut saya sangat unik. Saya melihat beberapa anak menggunakan penutup kepala atau jilbab. Saya juga berteman dengan anak-anak di beberapa negara yang pernah menceritakan bahwa tradisi mereka sangat unik.
Saya membaca di India ada 2.000 suku, Papua Nugini jumlahnya mencapai 312 suku yang berbeda, di Indonesia 1.340 suku, Nigeria terdiri dari sekitar 300 suku dan 524 bahasa, Republik Kongo memiliki 200 kelompok etnis dan 200 dialek yang digunakan, sementara Meksiko terdiri dari 65 suku bangsa dan 292 jenis bahasa. Dunia kita sangat kaya dan beragam suku, juga agama.
Karena itulah, sekolah, sebagai sebuah tempat dimana anak-anak tumbuh dan berkembang bersama dengan yang lain sangat penting mengambil peran untuk membuat anak-anak belajar tentang keberagaman dan menghargai perbedaan.
Saya mungkin tidak bisa mengenal sebuah keberagaman di seluruh dunia, tapi saya dan banyak anak-anak di seluruh dunia bisa mulai dari lingkungan tempat tinggal kami, yaitu sekolah.
Bagaimana caranya?
Pertama, dengan membuat kurikulum agar anak-anak dapat belajar, mengenal nilai-nilai, dan berinteraksi dengan berbagai agama, suku, ras, kebudayaan dan lainnya.
Kurikulum ini memungkinkan anak-anak sekolah bisa berkunjung ke berbagai tempat ibadah beragam agama, mengunjungi rumah-rumah adat atau tradisional, bertemu dengan tokoh agama dan tokoh adat. Di sini anak-anak bisa mendengarkan nilai-nilai agama universal dan mengenal ciri khas sebuah tradisi.
Mengenal bermacam-macam agama, suku, ras, dan kebudayaan yang berbeda sangat penting untuk anak-anak agar bisa memperluas pemikiran dan pengetahuan terhadap orang-orang yang memiliki agama, ras, suku atau juga kebudayaan yang berbeda dari mereka tanpa ada kesalahpahaman, tanpa merasa lebih rendah atau lebih unggul diantara mereka .
Kurikulum ini juga memungkinkan anak-anak sekolah bertemu dan berinteraksi dengan mereka yang berbeda agama dan suku di dalam sekolah atau di luar sekolah. Interaksi antar murid yang berbeda agama akan membangun kesadaran dan solidaritas sebagai sesama manusia, apapun agamanya.
Kedua, lingkungan di sekolah dan di dalam kelas mengembangkan metode pembelajaran yang mendorong siswa untuk menghormati orang yang berbeda agama, budaya dan peradaban dikembangkan dan ditingkatkan, dengan mencoba menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain – untuk mempelajari apa artinya empati. Menghormati dan empati mengarah pada kesadaran yang lebih besar, dan tindakan berdasarkan, individu dan tanggung jawab kolektif, yang mengarah pada keterbukaan untuk rekonsiliasi.
Ketiga, lingkungan di sekolah dan di dalam kelas harus menciptakan kultur yang menghargai perbedaan dan keunikan setiap siswa. Anak sekolah bukan hanya berbeda agama dan suku tapi juga mempunyai bakat dan minat yang berbeda.
Sepantasnya, sekolah menyediakan ruang dan pengetahuan sesuai dengan bakat dan minat masing-masing anak. Sekolah juga harus mendukung dan memperbolehkan siswa untuk bisa memilih dan mengembangkan pelajaran yang ingin mereka ikuti.
Dengan demikian, sekolah-sekolah dimanapun di dunia, menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa untuk belajar dan membentuk karakter yang bisa menciptakan dunia yang lebih inklusif di masa depan.
Saya telah beberapa kali mendengar bahwa orang-orang tua mendengarkan suara anak. Mendeklarasikan bahwa mendengar suara kita adalah langkah pertama dalam mengenali suara anak-anak adalah penting untuk pembuatan kebijakan. Namun, itu tidak cukup. Mendengarkan suara kita sangat penting dalam menerjemahkan kebijakan pendidikan.
Saya percaya bahwa para pemimpin dipilih oleh rakyat untuk menciptakan keadilan bagi semua tanpa kecuali, dan bahwa para pembuat kebijakan berhutang budi kepada generasi mendatang atas kebijakan yang mereka buat.
Oleh karena itu, untuk semua pemimpin dan pembuat kebijakan pendidikan di Indonesia dan di banyak negara lain, saya mewakili anak-anak di seluruh dunia untuk merekomendasikan:
1. Pertama, mengevaluasi kurikulum intoleran dan kebijakan intoleran di sekolah. Hal ini sangat penting untuk memastikan pendidikan di sekolah tidak menyebarkan kebencian terhadap perbedaan atau tidak menghargai perbedaan.
2. Kedua, evaluasi kurikulum dan kebijakan intoleran di sekolah harus diikuti dengan pembuatan kurikulum dan kebijakan dimana anak dapat belajar, mengenal nilai, dan berinteraksi dengan berbagai agama, suku, ras, budaya dan lain-lain.
Jika sekolah merupakan tempat yang aman bagi pendidikan karakter anak untuk menciptakan masyarakat yang inklusif, maka rekomendasi ini harus dilaksanakan.
Dengan demikian pendidikan di sekolah tidak hanya mampu menciptakan masyarakat yang inklusif tetapi juga dunia yang jauh lebih baik bagi generasi penerus.
Terima kasih
———
Catatan Redaksi :
Pidato tersebut di atas disampaikan oleh Sophia, 14 Tahun , dari Poso, Indonesia dalam Panel Tingkat Tinggi Simposium Global Online Pendidikan Etika untuk Belajar Hidup Bersama, dengan tema tantangan, peluang, dan tuntutan etis di dunia saat ini’ , Senin 22 November 2021.
Simposium ini dimaksudkan untuk merefleksikan relevansi mengintegrasikan pendidikan etika untuk mempromosikan pembelajaran antarbudaya dan antaragama ke dalam kebijakan dan program nasional, dan bertukar ide, rekomendasi tentang bagaimana pendidikan saat ini dapat menanggapi tantangan etika dunia, didasarkan pada perspektif etika masyarakat, di mana sekolah dan non -program pendidikan formal memahami diri mereka sebagai bagian dari komunitas dan sebagai aktor kunci dalam membina kohesi sosial dan membangun perdamaian.
Sophia dari Indonesia, Ikran dari Kenya, dan Tudor dari Romania mewakili anak-anak dari beberapa negara menyampaikan pendapat dan rekomendasinya tentang bagaimana Etchic Education berhadapan dengan fenomena dunia sekarang. Ketiganya berdialog bersama dengan Ms. Stefania Giannini, Assistant Director General for Education, UNESCO; H.E. Dr. Mr. Anindito Aditomo, Deputy Minister for Standards, Curriculum, and Educational Assessment, Republic of Indonesia; Dr Silvester Ohene Mulambe, Director Policy and Partnership, Ministry of Education Kenya ; Ms. Silvana Abdo, First Lady of Paraguay ; H.E. Judge Mohammed Abdelsalam, Secretary General, Higher Committee for Human ; Mr. Albert Nsengiyumva, Executive Secretary, Association for the Development of Education in Africa
Bravo Sophia,…kami tunggu tulisan-tulisan Sophia lainnya ya,….sangat inspiratif, persuasif, solutif, dan edukatif sekali yang ditulis oleh Sophia ini. Tuhan memberkatimu, salam dari Jogja.