Molaolita, atau mendongeng bukan hal baru di Tana Poso. Sebaliknya, Molaolita menjadi bagian dari kebudayaan leluhur Poso. Selain mendongeng dengan cara bercerita secara langsung, mendongeng sambil bernyanyi atau melantunkan dongeng juga ada. Namanya Mobolingoni. Ngkai Bontinge, ketua adat Pamona, menceritakan dahulunya jika ada orang tua yang mau Mobolingoni ( mendongeng dalam lantunan lagu ), semua akan berkumpul dan menikmati hingga larut malam untuk satu cerita saja.
Namun, budaya Molaolita apalagi Mobolingoni semakin sulit didapatkan Poso, termasuk di kampung terpencil sekalipun . Padahal, mendongeng bukan sekedar mendengarkan cerita. Neni Numidin, pegiat literasi, menyebutkan dongeng sebagai bekal pertama yang memberi jalan untuk memahami ilmu pengetahuan. Cerita menjadi cara leluhur menjelaskan gejala atau fenomena tentang semesta dan hubungannya dengan mahluk hidup, peristiwa dan peradaban umat manusia.
Perjalanan Ekspedisi Poso yang diorganisir Institut Mosintuwu sejak 2018 menemukan banyak dongeng atau cerita rakyat di sekeliling Danau Poso yang memberikan informasi mengenai peristiwa alam yang dulu pernah terjadi. Misalnya dongeng tenggelamnya sebuah perkampungan di Bancea menjadi batu setelah hujan deras dan tanah goyang terjadi karena orang kampung mentertawakan katak. Oleh geolog dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia, melihat dongeng itu sedang menceritakan sebuah peristiwa gempa yang luar biasa terjadi hingga membelah kampung. Kampung itu kemudian ternyata berada di jalur sesar Poso Barat.
“Mendongeng bukan hanya untuk menjaga tradisi masyarakat, tapi juga sebuah ruang untuk menjaga ingatan atas sebuah peristiwa yang pernah terjadi sehingga kita menjadi lebih mawas dan bijak merancang pembangunan” demikian Lian Gogali, Ketua Institut Mosintuwu menceritakan alasan Institut Mosintuwu menyelenggarakan Festival Molaolita.
Setiap hari Jumat dan Sabtu pada pukul 18.00 – 20.00 Wita sejak tanggal 29 Oktober – 13 November 2021, Institut Mosintuwu bekerjasama sama dengan Radio Mosintuwu menyelenggarakan Festival Molaolita . Festival Molaolita, melibatkan 29 pendongeng dari 13 desa di wilayah Pamona Bersaudara, masing-masing 13 pendongeng remaja, 4 pendongeng dewasa, dan 10 pendongeng lanjut usia. Pendongeng termuda berusia 7 tahun sedangkan pendongeng tertua berusia 75 tahun.
Para pendongeng remaja, masing-masing terdiri dari Dina Ancura , Marsha Taropo , Otni Lagandesa, Aurel Marentek , Dea Bandola, Marshela Meringgi , Selfiana Pamona , Rein Lagurue, Milka A Rameode, Astrit Laganda , Dave Abu , Dicky Ingkiriwang , Jeniver Radjaeo. Sementara pendongeng dewasa terdiri dari Lina Laando, Benhur Patunde, Jefri Saka, dan Misiodei Werokila. Pendongeng lanjut usia terdiri dari Benhur Patunde , Merry Tada , Helpin Samoli , Bernard Tanggola, Yanto Marisu, Arianus Pusuloka , Nathan Sigilipu , Supu Monabo, Lisbet Sura , Lina La’ando dan Yulin Salua.
Dongeng yang disampaikan bervariasi, mulai asal usul sebuah tempat hingga fabel yang menarik. Antusiasme bukan hanya datang dari pendongeng tapi juga para pendengar yang mengikuti dongeng dan mendukung dengan mengirimkan voting. Terdapat 725 pemilih pendongeng yang masuk di nomor telepon yang disediakan oleh panitia Festival Molaolita. Lalu mengapa tidak ada juri yang ditunjuk khusus untuk menilai penampilan si pencerita dan ceritanya? Ketua panitia Festival Molaolita, Yombu Wuri mengatakan, Festival ini bukan lomba untuk mencari pemenang.
“Ini adalah festival. Semua orang silahkan memilih siapa yang menurut mereka yang menarik. Sebab ini adalah perayaan, kegembiraan, bukan perlombaan. Ini sebuah ruangnya kita bersama supaya bisa mengangkat kembali kekayaan cerita orang Poso di Tana Poso”
Festival Molaolita tidak hanya berhenti dalam bentuk siaran yang didengarkan oleh masyarakat di Tana Poso, tapi diteruskan menjadi bagian dari serangkaian Festival Dongeng Nasional 2021. Festival Molaolita menjadi 1 dari 12 daerah di Indonesia yang secara paralel menyelenggarakan festival dongeng dari daerah masing-masing. Festival Dongeng ini dibuat dalam rangka merayakan hari Dongeng Nasional 2021 . Festival Dongeng Indonesia ini diselenggarakan dalam kerjasama dengan Ayo Dongeng Indonesia didukung kementerian Pendidikan dan kebudayaan, Kementerian Informatika dan Siberkreasi Indonesia melaksanakan Festival Dongeng Indonesia di Festival Molaolita.
Ada 5 laolita atau dongeng khas Poso yang dibawakan dalam Festival Molaolita yang berlangsung secara online pada Sabtu, 20 November 2021. Ada legenda tentang Watu Yano, yakni batu mengapung yang ada di desa Dulumai di pinggir danau Poso, ada Watu Dilana, kisah tentang seorang manusia yang berubah menjadi batu, ada cerita tentang burung endemik Sulawesi Tengah yakni burung Alo, ada cerita tentang runtuhnhya sebuah desa karena mentertawakan seekor kodok di desa Bancea, dan ada kisah persebaran nenek moyang orang Poso dalam cerita Watu Mpoga’a. Sebelum dongeng, kelompok musik tradisional Matiandaya mengawali dengan syair tentang Tana Poso.
Para pendongeng berasal dari desa-desa yang ada di pinggir danau Poso. Bernand misalnya, adalah seorang petani yang tinggal di desa Didiri. Sehari-hari dia bekerja sebagai petani dan pencari madu di hutan. Kecintaannya pada dongeng karena ingatan masa kecilnya yang sering mendengarkan cerita dari orang-orang tua di kampungnya.
Sedangkan Aca, adalah murid sekolah menengah pertama di salah satu sekolah yang ada di Tentena. Sebagai generasi muda, dia punya minat pada cerita-cerita dongeng. Dia bertekad meneruskan tradisi Molaolita yang mulai ditinggalkan oleh generasi muda yang lebih tertarik pada media sosial daripada seni budaya lokal.
Di Hari Mendongeng Nasional 26 November 2019 lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, pernah mengatakan, makna dari cerita-cerita dongeng menciptakan imajinasi di dalam otak. Festival Molaolita menjadi satu langkah kecil untuk membangkitkan imajinasi, mata batin kita yang seperti tertutup, menghadirkan lebih banyak empati. Albert Einstein bilang, tanda sebenarnya dari kecerdasan bukanlah pengetahuan, tetapi imajinasi.