Masyarakat Adat Jatuhkan Denda Adat Pada Poso Energi : Rusak Lingkungan dan Budaya

0
1191
Masyarakat Adat Danau Poso menjatuhkan denda adat kepada Poso Energi karena telah merusak lingkungan dan budaya, Senin 22 November 2021. Foto : Dok.Ray

Menggunakan pakaian adat, sambil berlutut seorang ibu memegang bingka berisi seperangkat buah pinang dan daun sirih, masing-masing 7 buah dan 7 lembar, kapur sirih dan sejumput tembakau. Dilatarbelakangi doa-doa yang dipanjatkan oleh Ngkai Modjanggo,  Pomatua Adat yang memimpin ritual,  bingka ini diputar searah jarum jam membentuk lingkaran. Doa dipanjatkan :

“Oo mPue Palaburu…Pue anu malaburu Tana, Ue pai Yangi. Oo Pue ri Songi, ane Kaaya kita mo mpomonco kita ri To’o Yesu Kirisitu. 

Oo Pue NTo Aralindo. Anu kaaya pai kapomonco. Nce’emo Inosa anu Magali. Anu Todo mompotiana katuwu mami. Sei Kami Rata Megilu ri Komi. Mompegiluka kasusandaya mami. Sei tana tana anu Ndipantaka kami ungka ri tautu’a mami piamo ndapana’uka rata ri kami. Sei maja’a mo. Sei kami rata mampebo’o komi.

Pue mPalaburu…

Anu Malaburu Kompodongi se’i. Nipedongeka pe kakai mami. Ni kadudungi kami”

Bingka kemudian diletakkan di atas tanah, di sekelilingnya ditancapkan 4 tiang yang dipasangkan tali sebagai sebuah penanda. Ritual adat itu sangat khusuk dan diikuti dengan serius oleh masyarakat adat Danau Poso yang hari itu melakukan megilu. Di antara kumpulan orang-orang yang mengikuti ritual adat tersebut, terdapat Humas Poso Energi, Syafri.

Hari itu, Senin 22 November 2021, ratusan masyarakat dari 21 desa di pinggir Danau Poso bersepakat menjatuhkan Giwu atau denda adat kepada PT Poso Energi karena dianggap merusak alam dan budaya mereka. Sanksi itu berupa denda 6 ekor kerbau. Jumlah 6 ekor mengikuti jumlah anak suku yang ikut dalam prosesinya yaitu Pamona Utara, Pamona Puselemba, Palande, Pu’u mboto, Binowoi, Pamona Barat.

Baca Juga :  Jalan Panjang Petani Menuntut Keadilan : Dari Mediasi, Aksi hingga Mogok Makan, Cor Kaki
Masyarakat Adat Danau Poso menjatuhkan denda adat kepada Poso Energi karena telah merusak lingkungan dan budaya, Senin 22 November 2021. Foto : Dok.Ray

Prosesi pemberian Giwu dilakukan di Kompodongi, sebuah lokasi yang memiliki sejarah panjang bagaimana orang Poso menghargai alamnya. Lokasi seluas kurang lebih 34 hektar ini  juga memiliki sejarah dalam hubungan antara orang-orang dipinggir danau dengan orang Pekurehua di lembah Napu. Sampai tahun 2019 lalu, tempat ini masih menjadi saksi berlangsungnya tradisi Mosango. Sebuah aktifitas menangkap ikan secara komunal oleh penduduk Sawidago, Tentena, Petirodongi, Tendeadongi dan Pamona.

“Sanksi adat itu sakral bagi kami. Ketika kami mengambil keputusan itu. Itu adalah keputusan adat yang kami sakralkan. Adat ini kami junjung tinggi. Berbicara adat, itu berarti sudah berbicara ke masyarakat adat secara keseluruhan”kata tetua adat desa Meko ngkai Berlin Modjanggo. 

Dia melanjutkan “seharusnya, setelah sanksi dijatuhkan maka lokasi itu tidak boleh diganggu”. 

Dijatuhkannya Giwu terhadap pihak yang dianggap merusak lingkungan ini menjadi catatan sejarah penting. Sebab belakangan, hukum adat lebih banyak diberlakukan pada ritual perkawinan dan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Ngkai  Modjanggo menerangkan, giwu dikenakan kepada seseorang atau kelompok, yang dianggap telah Moruta(merusak) wilayah adat suku Pamona. Giwu ini dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat yang merasakan langsung dampak dari kerusakan (Poruta) tersebut. 

Baca Juga :  Nasib Petani Kita : Berpindah-pindah Tanaman, dari Nilam ke Porang lalu apa?

Masih menurut Ngkai Modjanggo, ritual adat ini hanya boleh di lakukan pada saat atau situasi khusus saja dimana pelanggaran yang terjadi sudah sangat serius. Di Danau Poso, kerusakannya sudah menyebabkan penderitaan banyak petani dan nelayan. Petani tidak bisa olah sawah, nelayan semakin sulit dapat ikan.

Kompodongi memang menjadi simbol penting sejarah perlindungan ekosistem. Dalam banyak cerita orang-orang tua, dahulu jika hendak menangkap ikan disana, harus mendapat ijin dari penguasanya. Jika sudah mendapat ijin, maka ketika mendayung perahu, dayung atau tongkat yang dipakai tidak boleh menyentuh dasarnya. Sebab dikhawatirkan, merusak atau membunuh Siput atau Wuriri yang menjadi salah satu sumber protein masyarakat. Dalam penelitian yang dilakukan Kurniawan Bandjolu, di Kompodongi ada sekitar 5 jenis Wuriri.

Namun sanksi adat itu bukan hanya soal Kompodongi. Sungai sepanjang 12,8 kilometer dikeruk dengan kedalaman hingga 4 meter bukan hanya menggunakan kapal keruk, tapi juga bom. Praktik ini dikhawatirkan menghancurkan ekosistem sungai Poso, satu-satunya pintu keluar air Danau Poso.

Baca Juga :  Mengembangkan dan Menjaga Laboratorium Alam Danau Poso dalam Kerjasama Mosintuwu dan Fapetkan UNTAD

Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2021 menunjukkan Sungai Poso dicemari limbah B3 yang bersumber dari aktifitas perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla itu.

Seorang Pomatua Ada memandang kerusakan lingkungan dan hilangnya tradisi adat di Wilayah Kompodongi karena aktivitias Poso Energi. Foto : Dok.APDP/RayRarea

Di Danau Poso, kerusakan telah dialami oleh masyarakat yang tinggal dan bertani dipinggirnya. Sejak bulan April 2020 bendungan PLTA Poso I telah menahan air sehingga menaikkan level air ke ketinggian 511 mdpl. Dampaknya, 266 hektar sawah dan kebun terendam dan sekitar 150 hektar lahan penggembalaan tradisional masyarakat di kecamatan Pamona Tenggara dan Pamona Selatan terendam. Dalam beberapa keterangannya, pihak perusahaan mengatakan mereka punya izin untuk menaikkan level air Danau Poso hingga 512 mdpl.

Pada akhir ritual adat, Ngkai Modjanggo menegaskan kembali kepada perwakilan Poso Energi bahwa setelah dijatuhkannya denda adat ini maka seluruh aktivitas Poso Energi harus dihentikan sampai seluruh tuntutan masyarakat terpenuhi. Demikian juga Poso Energi diwajibkan untuk patuh agar tidak mengulang lagi kesalahan yaitu merusak lingkungan dan danau Poso. 

Poso Energi diberikan waktu 8 hari untuk menyelesaikan tuntutan adat tersebut. Syafri, perwakilan Poso Energi dalam akhir percakapan tidak menerima tuntutan adat dan merasa bahwa apa yang diikutinya dalam ritual hanyalah sebuah ritual biasa saja tanpa konsekuensi.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda