Radio Komunitas Mosintuwu : Gelombang Suara untuk Perdamaian dan Keadilan

0
518
Mendengarkan radio mosintuwu bersama keluarga . Foto : Mosintuwu

“Waktu radio Mosintuwu tidak siaran, kami seperti kehilangan sesuatu. Kehilangan informasi, pengetahuan juga seperti sudah tidak ada teman” Ngkai Bontinge, 67 tahun, tetua adat Pamona mengungkapkan pentingnya radio Mosintuwu baginya.

Bukan hanya Ngkai Bontinge yang mengalaminya. Suatu sore, studio radio Mosintuwu didatangi seorang bapak yang naik sepeda motor buntut dengan radio kecil di motornya. Papa Citra, 60 tahun dari Kelurahan Pamona.  Dia protes, sudah seminggu ini tidak bisa mendengarkan radio lagi. Awalnya dia berpikir radionya yang rusak, tapi tetangga rumahnya juga tidak bisa mendengarkan radio kesayangan ini.

Radio rupanya masih menjadi corong kesayangan semua orang .

Ini bermula dari bagaimana James Clerk Maxwell menjelaskan teori perambatan gelombang elektromagnetik tahun 1861, selang 5 tahun kemudian Heinrich Rudolf Hertz menguji teori itu melalui eksperimen gelombang radiasi radio. Lalu berkembang. Radio kemudian jadi alat militer. Jepang menggunakan teknologi ini untuk perang Tsushima tahun 1901 untuk memata-matai Russia. Tapi radio seperti yang kita kenal sekarang, awalnya diperkenalkan oleh Guglielmo Marconi tahun 1896.

Di Indonesia, radio hadir setelah 29 tahun setelah diperkenalkan Marconi. Ditandai dengan berdirinya Bataviaasche Radio Vereeniging (BRV) atau Batavia Radio Society tanggal 16 Juni 1925.  Dalam artikelnya berjudul Making Waves: Private Radio and Local Identities in Indonesia yang dipublikasi tahun 1997, Jennifer Lindsay menyebut awalnya radio di Indonesia menjadi media yang fokus menyebarkan informasi budaya dan hiburan dengan dominasi program musik. BRV kemudian jadi media resmi pemerintah Hindia Belanda dan berubah nama menjadi Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM) yang mengalokasikan 80 persen durasinya untuk acara musik. Siaran yang berisi topik politik dan agama dibatasi.

Radio Swasta muncul lewat inisiatif Mangkunegara VII yang mendirikan Solo Radio Vereniging (SRV). Siaran perdana radio ini dimulai 1 April 1933. Selanjutnya Mangkunegara VII membuat Perikatan Perkoempoelan Radio Ketimoeran (PPRK) tahun 1937, juga memulai membuat rekaman-rekaman orkestra gamelan Jawa dalam piringan hitam. Inilah awal mula lahirnya RRI.

Radio di Sulteng dan Poso

Di Sulteng, tahun 1964 jadi awal mula masyarakat umum mendengarkan siaran radio lewat pengeras suara yang dipasang diatas sebuah pohon di jalan Moh Hatta yang merupakan studio lokal pertama di kota Palu. Acara siarannya antara lain berita, hiburan musik, pengumuman pemerintah dan pilihan pendengar. (Jurnal Kolaboratif Sains, artikel 6 volume 3, nomor 6, September 2020: Dampak Siaran Dakwah radio Republik Indonesia Palu dalam meningkatkan Kehidupan Masyarakat religius di Kota Palu Umaira, Ahmad Syahid, Colle Said)

Baca Juga :  Mesjid Al Amin, Titik Temu Orang Islam dan Kristen Poso

Di Poso, siaran radio juga akrab ditelinga warganya sejak akhir era 80an. Ada radio Swara Maya Prastha yang memancar di gelombang 1386 kHz hingga akhir 90an. Bisa dikatakan, ini adalah siaran yang paling digemari anak muda hingga orang tua di kota Poso dan sekitarnya masa itu.  Pasca konflik, muncul radio Bulava FM di gelombang 101,3 MHz yang juga jadi stasiun relay Radio 68 H Jakarta. Radio yang didirikan Rusli Passau ini menggabungkan hiburan musik khas anak muda dengan informasi-informasi tentang peristiwa yang terjadi di kabupaten Poso. Setelah itu lahir Radio Matahari FM yang hadir di gelombang 97.0 MHz.

Radio yang didirikan Rafiq Syamsuddin ini mewarnai hidup warga, khususnya di kota Poso lewat konten-konten yang kritis menyikapi situasi pasca konflik, mulai dari soal korupsi hingga keamanan diulas lewat dialog-dialog yang menghadirkan beragam narasumber, mulai dari warga biasa, akademisi, aktivis hingga pejabat negara. Sayangnya stasiun ini vakum. Di Tentena ada radio Langgadopi yang mengudara di 101.2 MHz dan radio Narwastu.

Studio Radio Mosintuwu di kota Tentena, Kabupaten Poso. Tampak dari luar. Foto : Dok.Mosintuwu
Studio Radio Mosintuwu di kota Tentena, Kabupaten Poso. Tampak dari luar. Foto : Dok.Mosintuwu

Radio Mosintuwu 107.7 FM

“Radio Mosintuwu. Bersuara untuk Perdamaian dan Keadilan Poso”sapaan akrab itu keluar dari ruang siar berukuran 2×2 meter di studio beratap rumbia di Yosi, Kelurahan Pamona, kecamatan Pamona Puselemba, Poso. Disinilah setiap dinihari mulai pukul 06:00 wita Kilayandini, nama udara Pdt Y Wuri mulai menyapa warga setiap pagi di acara Embun Pagi.

Selama 2 jam Kilayandini membagikan kisah-kisah inspiratif, renungan-renungan dari pengamatannya atas peristiwa yang terjadi sehari-hari. Jika di kota-kota besar, siaran radio di mulai dengan lagu yang menghentak, di Embun Pagi sebaliknya. Diiringi lagu-lagu era 70 hingga 90an, pendengar diajak tenang memulai hari, tidak terburu-buru.

Salah satu yang khas di acara ini adalah sapaan pagi. Ada seratusan nama keluarga di sapa satu per satu di pertengahan acara. Butuh sekitar 25 menit untuk menyapa semuanya. Tentu di interupsi dengan beberapa lagu.

“Sapaan ini kami nantikan. Ada rasa senang nama keluarga kami disapa setiap pagi”kata seorang pendengar dari kecamatan Pamona Barat. Siaran radio menerabas batas administrasi yang dibolehkan untuk radio komunitas. Ini berkat internet yang memungkinkan sistem streaming bekerja.

Tahun 2015 Radio Mosintuwu pertama kali mengudara di gelombang 107.7 FM.  jam siarnya hanya dimulai pukul 07:00 wita sampai pukul 15:00 wita. Isi siaran awalnya lebih banyak memutar lagu-lagu daerah Poso, pop Indonesia dan mancanegara. Hanya sekitar 40 persen berisi konten-konten pendidikan dan informasi seputar kabupaten Poso.

Baca Juga :  Kukis Ubi : Penganan Desa yang Berjuang Tetap Hadir di Atas Meja

Pilihan menjadi radio komunitas tidak lepas dari tujuan berdirinya radio ini, yakni memperjuangkan perdamaian dan keadilan di tana Poso. Konsekuensinya adalah tidak menerima iklan komersil. Namun radio Mosintuwu 107.7FM berhasil melewati 6 tahun terakhir dengan konsisten mengudara. Beberapa kendala administrasi yang masih dihadapi sampai hari ini adalah proses perijinan.

Penangkal Hoaks Kala Pandemi

Dengan konten soal-soal kehidupan dan peristiwa sehari-hari seputar desa hingga  analisis kritis pembangunan ekonomi, sosial dan budaya, pendengar diajak untuk memperhatikan kondisi di sekitarnya.

Petani membawa radio manual di kebun dan sawah untuk bisa mendengarkan siaran radio Mosintuwu yang bisa diakses di frekuensi 107.7 FM. Paska pandemi Covid-19 Radio Mosintuwu menjadi radio darurat siaga Covid-19. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray
Petani membawa radio manual di kebun dan sawah untuk bisa mendengarkan siaran radio Mosintuwu yang bisa diakses di frekuensi 107.7 FM. Paska pandemi Covid-19 Radio Mosintuwu menjadi radio darurat siaga Covid-19. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

Ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi pada Maret 2020, Mosintuwu FM menjadi radio darurat siaga Covid-19, meskipun izin penyiaran radio darurat masih dalam proses administrasi. Langkah ini diputuskan para pengelola radio karena kebutuhan mendesak untuk memberikan informasi yang benar mengenai pandemi ini. Termasuk menjadi medium klarifikasi atas banyaknya kabar bohong.

Saat itu, hoaks dan disinformasi seputar Covid-19 menyebar luas di tengah warga hingga ke desa-desa. Salah satu hoaks yang terkenal di Poso saat pandemi adalah makan telur ayam sebelum matahari terbit bisa menangkal Covid-19.

“Gara-gara informasi telur ayam itu, banyak orang begadang karena tidak mau kelewatan waktu makan telur. Banyak telur di kandang hilang. Stok telur di kios habis”kata ibu Helpin, warga desa Tiu kecamatan Pamona Timur.

Atas informasi ini, radio Mosintuwu kemudian menyebarkan informasi A-Z covid-19 yang isinya bersumber dari Satgas Covid-19. Klarifikasi ini cukup efektif meredam isu. Masyarakat jadi lebih tenang. Karena pembatasan aktifitas masyarakat selama pandemi, kondisi ekonomi turut terdampak. Karena itu radio mengambil peran membantu lewat program promosi produk atau jualan warga di kecamatan Pamona Puselemba dan sekitarnya.

Program yang diberi nama Pasar On Air ini memberi kesempatan warga khususnya pengusaha mikro menginformasikan dan mempromosikan jualan mereka secara gratis. Program ini juga lahir dari hoaks ataupun disinformasi Covid-19 yang menyebabkan ibu-ibu pedagang di pasar sempat mengeluh pendapatannya turun. Di program Pasar On Air, masyarakat mendapatkan informasi mengenai harga dan jenis barang. Pembeli bisa memesan dengan menghubungi langsung ke pedagang lewat nomor yang dibacakan di Pasar on Air.

Jadi Sumber Informasi dan Teman di Kebun

Bambari Lipu, Info Kita dan Mompasimbaju adalah 3 diantara beberapa acara Radio Mosintuwu yang menghadirkan beragam informasi. Bambari Lipu adalah segmen berita tentang peristiwa sehari-hari yang terjadi di desa hingga kabupaten Poso dan daerah lain Sulteng. Hadir setiap hari Senin-Sabtu pukul 08:00-10:00 wita. Awalnya hanya berisi 2 berita yang diselingi lagu-lagu Poso. Sumber informasinya, dari liputan langsung para pegiat mosintuwu, relawan hingga pendengar. Sumber lainnya adalah portal-portal berita online yang dipercaya kebenaran informasinya.

Baca Juga :  Masalah Air di Sumber Air Poso

Info Kita, setiap hari Senin-Sabtu pukul 10:00-12:00 wita berisi 5 informasi tentang peristiwa dan kebijakan nasional maupun internasional.  Adapun Mompasimbaju adalah dialog dengan tema-tema yang menjadi persoalan sehari-hari warga. Acara ini hadir sekali dalam sepekan, setiap hari Jumat sore pukul 18:00-19:00 wita.

Acara ini ternyata punya pendengar yang cukup intens mengikutinya. Ketika Radio Mosintuwu absen siaran karena towernya roboh, banyak pendengar bertanya lewat nomor telepon WA radio maupun di media sosialnya @radiomosintuwu.

Sebagai daerah yang mayoritas penduduknya petani, sebagian besar pendengar radio Mosintuwu adalah petani. Bisa dikatakan, siaran-siarannya jadi teman di kebun. Ngkai dan nene di desa Meko, kecamatan Pamona Barat adalah pendengar yang selalu mengikuti perkembangan kabupaten Poso dan Indonesia dari siaran Bambari Lipu dan Info Kita. Bukan hanya mendengarkan. Ngkai sering menelpon, terutama di Sabtu malam saat acara Kenangan Manis. Ini adalah acara yang memutar lagu-lagu nostalgia. Rupanya ngkai selalu terharu bila lagu yang membuat dia mengenang masa muda diputarkan.

Gelombang Suara Perdamaian dan Keadilan

Lian Gogali, pendiri radio Mosintuwu menceritakan inisiatif mendirikan radio Mosintuwu berakar pada kurangnya informasi dan pengetahuan yang tepat dan perlu yang bisa diakses oleh masyarakat di Kabupaten Poso. Bahkan di masa konflik kekerasan yang terjadi di Poso , informasi yang tersebar baik melalui media massa maupun percakapan orang-orang sempat menyebabkan meluasnya konflik, mengakarnya prasangka dan kecurigaan antar masyarakat. Paska konflik kekerasan, informasi di media massa lebih didominasi informasi seremonial yang tidak menjadi kebutuhan masyarakat.

Radio Mosintuwu didirikan pada tahun 2015 meniatkan diri sebagai radio komunitas yang menyuarakan suara masyarakat akar rumput .  Program-program dirancang untuk menyuarakan pandangan dan pendapat serta peristiwa yang terjadi di masyarakat desa, serta memberikan pengetahuan kritis tentang dinamika sosial , ekonomi, budaya dan politik di daerah maupun nasional.

Itu sebabnya, Radio Mosintuwu dirindukan oleh Ngkai Bontinge dan lainnya.

Penulis : Agus Eka Jaya

Editor : Pian Siruyu

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda