Membangun Rumah KITA di Poso, Agar Desa Tidak Ditinggalkan

0
2548
Anak-anak yang bermain dan bercanda bersama di Desa Malitu. Foto : Dok. Mosintuwu

“Desa-desa di Poso sudah mulai ditinggalkan. Terutama oleh anak muda. Yang tertinggal lebih banyak orang tua dan lansia” Lian Gogali, direktur Mosintuwu memulai percakapan dalam workshop Titik Nilai Budaya ( 12/07 ) di Dodoha Mosintuwu, Tentena. Sebagian besar, menurut pengamatan dan pengalaman Mosintuwu yang diceritakan oleh Lian, pergi ke kota antara lain untuk kuliah tapi sayangnya tidak kembali saat lulus. Atau, keluar dari desa untuk mencari pekerjaan di kota.

Padahal, menurut Lian, desa memiliki kekayaan alam, keberagaman budaya yang luar biasa untuk dikelola. Mereka yang pernah lahir dan bertumbuh di desa, lanjut Lian, patut bersyukur memiliki sebuah wilayah yang bisa disebutkan sebagai kampung halaman. Mengelola kampung halaman untuk bisa berkembang tanpa meninggalkan keaslian alam dan kebudayaannya adalah bentuk menjaga kehidupan dengan pembangunan yang berkelanjutan.

Hal ini menjadi salah satu pertimbangan utama Institut Mosintuwu mengembangkan kegiatan Jelajah Budaya – Rumah Kita. Lian menjelaskan persiapan program Jelajah Budaya ini telah melalui proses diskusi selama 1 tahun. 

“ Setelah diskusi selama 1 tahun, kami menemukan 12 titik nilai kebudayaan yang ada di Kabupaten Poso. Nilai-nilai ini ada dalam desa, dalam sebuah komunitas, pada sebuah organisasi dan individu yang ada di Kabupaten Poso” 

Nilai tersebut adalah nilai spiritualitas, nilai kekeluargaan, kesetaraan, keadilan, saling percaya, kesatriaan, kemandirian, solidaritas, perdamaian, kesederhanaan, keberagaman dan kearifan tradisi. Dijelaskan pula untuk menemukan desa, komunitas, dan individu yang bisa menggambarkan ke 12 nilai tersebut, telah dilakukan seri diskusi bersama para tokoh masyarakat, tokoh adat, dan anak-anak muda. 

Baca Juga :  Perempuan di DPRD Poso

“Kami yakin masih banyak tempat di seluruh Kabupaten Poso, termasuk masih banyak individu dan komunitas yang memiliki dan memegang teguh nilai-nilai tersebut. Untuk tahapan awal Jelajah Budaya kali ini kami fokus pada Desa Malitu, Pinedapa, Mapane, Pamona, Tokorondo, Petirodongi, Malitu, dan Dulumai” Ujar Lian.

Para tokoh adat dan masyarakat terkesima melihat rencana Jelajah Budaya – Rumah Kita. Foto : Dok. Mosintuwu

Bertempat di Dodoha Mosintuwu,  tanggal 9 – 10 Juli 2019, 25 tokoh adat dan perwakilan pemerintah desa serta anak-anak muda berkumpul membicarakan persiapan jelajah budaya. Mengawali pertemuan dengan menyanyikan lagu Desaku, karya L. Manik, suasana terasa hangat dan mengingatkan seluruh peserta tentang desa mereka. Mereka mendiskusikan kesiapan desa untuk membangun sign sistem, menyiapkan ole2 khas desa, serta pemandu . Mereka saling bercerita tentang kekayaan budaya dan alam yang dimiliki oleh desa.

“Desa kami masih sangat memegang tradisi molimbu, yaitu makan bersama untuk mengucapkan syukur” cerita Efren, Kepala Desa Dulumai.

Efran yang hadir bersama dua anak muda asal Desa Dulumai juga menceritakan kekerabatan yang sangat kental di desanya . Efran menceritakan, setiap orang, mulai dari lansia sampai ke cucu masih saling mengenal hingga urutan keluarganya. Bahkan menurutnya, setiap orang di Desa Dulumai termasuk anak-anak sangat mengenal bahasa Pamona. Bahasa Pamona, salah satu suku di Poso, saat ini sudah sangat jarang digunakan oleh anak-anak muda di Kabupaten Poso. 

Baca Juga :  Padungku, Sebuah Pesta atau Pengucapan Syukur?

Ustad Asri ikut menceritakan keberagaman yang saling menghargai dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam sejarah di Kelurahan Mapane. Melalui pertemuan Kruyt seorang misionaris Kristen dan Baso Ali seorang saudagar muslim, akar budaya saling menghargai nilai kemanusiaan apapun agama dan sukunya. 

Lain lagi dengan Desa Malitu yang terkenal dengan produksi gula merah.

“Di desa kami ada semangat saling bersolidaritas antara satu dengan yang lain meskipun berbeda agama dan suku. Disaat ada duka, atau perayaan pernikahan, semua warga akan bersama-sama bekerja untuk mempersiapkan segala sesuatunya” demikian cerita Sekdes Desa Malitu.

Saling bercerita tentang kekayaan budaya dan alam yang dimiliki menguatkan persiapan desa-desa untuk menjadi tempat belajar anak-anak muda di Poso. Direncanakan 200 anak-anak muda dari desa-desa di Kabupaten Poso akan terlibat dalam perjalanan ke titik-titik nilai ini. 

Yeni Tarau, koordinator Pendidikan Institut Mosintuwu menceritakan bahwa perjalanan ke desa-desa ini nantinya akan menjadi titik awal yang diharapkan bisa menguatkan anak-anak muda di desa untuk kembali membangun desanya.

“anak-anak muda di desa merupakan harapan agar desa dibangun dengan kreativitas yang tidak meninggalkan kebudayaan “ 

Baca Juga :  Setelah Konflik, Mungkinkah Membicarakan Poso yang Plural ?
Yeni Tarau ( kiri ) dan Lian Gogali ( kanan ) dalam Workshop Titik Nilai Jelajah Budaya – Rumah KITA . Foto : Dok. Mosintuwu

Istilah Rumah KITA yang mengikuti kata Jelajah Budaya, menurut Yeni dimaksudkan untuk membentuk sebuah kebudayaan yang kembali pada desa untuk membangun bersama sebuah ekosistem yang dapat disebut sebagai sebuah rumah, sebuah desa untuk pulang. 

“Karena desa, kampung halaman akan selalu ada untuk kita pulang. Tapi untuk memastikan kampung halaman masih ada dan masih memegang kebudayaannya, kita perlu bekerja bersama” tegasnya.

Pada akhir kegiatan, Yeni mengajak agar desa-desa mendorong lebih banyak anak-anak muda untuk bergabung dalam Jelajah Budaya. Ajakan ini disambut serius oleh semua peserta. Ustad Rahim, dari Kelurahan Tegalrejo memastikan anak-anak muda di desanya harus mengikuti kegiatan ini.

“Saya terharu sekali saat menyanyikan lagu Desaku, tadi. Saya teringat desa saya, meski saya sekarang sudah tinggal di kelurahan. Cara untuk mengajak anak-anak muda ikut dalam Jelajah Budaya ini adalah cara yang sangat baik untuk mengajak mereka pulang ke desa”

Jelajah Budaya – Rumah KITA direncanakan akan mulai dilakukan pada bulan Agustus 2019. Desa-desa dan wilayah yang menjadi titik nilai akan mempersiapkan desa mereka pada bulan Juli 2019. Kedepannya, menurut Yeni, desa-desa yang menjadi titik nilai perjalanan budaya ini akan menjadi contoh bagi desa-desa lain yang akan mengembangkan ekowisata di desanya. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda