Di permukaan Danau Poso khususnya di wilayah pesisir Danau di Tentena, setiap malamnya akan terlihat perahu dengan lampu-lampunya berseliweran. Perahu berlampu ini berkeliling mulai dari bawah jembatan sampai di sekitar area anjungan Festival Danau Poso. Monyilo, demikian nama tradisi menangkap ikan dengan perahu dan alat penerang berupa lampu petromaks .
Toponyilo sebutan bagi orang yang menombak ikan biasanya mulai turun membawa lampu petromaks dari rumah pukul 18:30 petang. Jam 10 malam biasanya mereka sudah naik kembali ke daratan, lalu jika angin Danau Poso cukup bersahabat mereka akan turun kembali ke danau untuk Monyilo hingga subuh.
“Tergantung angin dan memang harus malam hari Karena air danau lebih tenang dan mudah melihat ikan-ikan” cerita seorang nelayan yang sejak kecil menangkap ikan dengan tombak.
Monyilo butuh keahlian khusus dan pengenalan atas arus air, angin, gerakan ikan dikombinasikan dengan kemampuan mengendalikan perahu , kejelian mata , dan ketepatan menombak. Tidak mudah. Untuk turun Monyilo atau menombak ikan dari atas perahu, dibutuhkan lampu penerang yang dipasang ujung paling depan perahu. Prosesi ini dilakukan minimal 2 orang dalam satu perahu, satu penombak dan satu lagi mengemudikan perahu. Pengemudi perahu akan mengarahkan penombak perintah penombak untuk mengejar ikan atau Sogili yang tampak di dasar sungai. Uniknya, tradisi Monyilo ini hanya bisa dilakukan pada malam hari.
Monyilo Ini adalah salah satu cara masyarakat di sekitar Danau Poso memanfaatkan danau. Hasil yang didapatkan sebenarnya tidak seberapa. Papa Evan mengungkapkan, kadang kala ikan yang mereka dapatkan tidak seberapa, cukup untuk dibagi bersama teman satu perahu. Tapi bila nasib baik, bukan hanya ikan-ikan besar yang mereka dapat, Sogili juga kadangkala kena tombak.
“Ini tradisi menangkap ikan sudah lama sekali dari orang tua kami dulu” ujar Papa Evan, salah satu nelayan.
Dengan model perahu yang rata-rata kecil, sebagian besar masyarakat di bantaran mulut Danau Poso ini menggantungkan hidup pada kemurahan sungai Poso yang menyiapkan ikan untuk kehidupan. Tercatat ada 8 jenis ikan yang banyak mendiami sungai hingga danau Poso. Mujair, Mas, Lele, Gabus, Nila, Sepat, Julung-Julung, Bungu dan Sogili. Dari semua jenis itu ikan mas dan ikan Mujair-lah yang paling banyak didapatkan oleh nelayan yang Monyilo.
Selain mendapatkan ikan dari tradisi Monyilo, para nelayan beberapa kali memberikan tur kepada turis mancanegara untuk menikmati tradisi menangkap ikan ini. Mereka berasal dari Belanda, Jerman, Inggris dan Amerika Serikat. Itu yang diingat beberapa nelayan.
“Turis dari luar penasaran ingin tahu bagaimana bisa menangkap ikan hanya pakai tombak dengan penerangan seadanya” cerita Papa Evan.
Bagi Papa Evan dan nelayan lainnya, mengajak turis mancanegara untuk mempunyai pengalaman monyilo adalah sebuah kebanggaan. Terutama kebanggaan pada tradisi mereka yang menjadi identitas mereka sebagai nelayan. Dodoha Mosintuwu, merupakan salah satu komunitas yang menjadikan tradisi Monyilo sebagai bagian dari paket tur ekowisata mereka.
“Setiap turis yang datang terutama turis mancanegara akan bertanya tradisi atau hal unik apa yang bisa mereka lihat di sekitar Tentena” jelas Susan, pengelola Dodoha Mosintuwu. “Keunikan tradisi di perairan Danau Poso seperti monyilo menjadi daya tarik mereka”
Untuk mengikuti perjalanan monyilo, turis membayar langsung pada nelayan Rp. 100.000/orang . Untuk menjamin ketenangan proses menangkap ikan, hanya terdapat 1 turis pada satu perahu. Adrenalin turis biasanya memuncak ketika perahu berusaha mengikuti arah ikan sebelum ditombak. Pengalaman mengikuti monyilo menjadi pengalaman yang mahal untuk dibawa dalam perjalanan setiap turis yang datang.
“Kami sangat senang dan beruntung bisa mendapatkan pengalaman ini” kata Greg, seorang turis dari Inggris. “Kami mengagumi keuletan para nelayan disini dan kemampuan mereka bisa mengejar ikan dan menombak di dalam air hanya dengan bantuan satu lampu kecil” tambahnya dengan nada antusias.
“Saya melihat mereka butuh kerjasama yang luar biasa untuk bisa mendapatkan ikan. Ini luar biasa” ujar Paul, dari Austria pada kesempatan lainnya “ Pasti mata mereka sangat tajam bisa menembus perairan” sambung lainnya merasa takjub.
Skenario Pengerukan Danau Poso, Tradisi Monyilo dipastikan hilang
Rencana PT Poso Energy mengeruk dasar sungai Danau Poso sedalam 2 – 4 meter selebar 40 meter akan menjadikan tradisi monyilo hanya akan menjadi cerita dongeng bagi generasi mendatang.
“Bagaimana mau bisa Monyilo kalau air sudah dalam? Tidak ada lagi ikan yang mo kena ditombak”kata papa Evan.
Jika air semakin dalam, tombak-tombak yang dipegang To Ponyilo sulit mengenai sasaran. Kedalaman air membuat ikan semakin sulit terlihat . Selain itu arah tombak tidak lagi tepat ketika dihujamkan ke air. Rencana PT Poso Energy untuk mengeruk dasar sungai Danau Poso yang merupakan tempat monyilo bagi ratusan nelayan, bertujuan untuk memperlancar arus air untuk menggerakkan turbin PLTA. Rencana PT Poso Energy ini didukung oleh Pemda Poso dan anggota DPRD Poso dengan alasan akan meningkatkan pariwisata Poso. Peningkatan pariwisata tersebut dilakukan dengan merenovasi jembatan Yondo Mpamona, membuat hotel bintang 3 dan taman air.
“Turis tidak ada yang datang untuk jembatan Pamona kalau sudah jadi modern” keluh seorang nelayan yang pernah membawa turis dari Jerman untuk monyilo. “ mereka datang ke sini justru untuk melihat hal yang unik. Tidak ada monyilo di negara lain. Kalau jembatan yang bagus bisa dilihat hampir di semua kota” tambahnya.
Menghilangkan tradisi monyilo yang sudah hidup ratusan tahun demi hotel bintang 3, taman air dan jembatan modern bagi warga di pesisir Danau Poso bukan hanya menghilangkan penghidupan ekonomi mereka tapi juga identitas nelayan. Selanjutnya, bukan hanya tradisi monyilo yang akan hilang, tapi area-area dimana ikan-ikan berkembang biak lenyap karena tempatnya berubah menjadi area reklamasi. Modernisasi yang menghilangkan tradisi ratusan tahun ini sangat bertolak belakang dengan rencana pariwisata di Indonesia yang mengandalkan keunikan dan kekhasan sebuah wilayah.