Modero, Tarian yang Lahir Pada Masa Romusha

0
4724
Modero, tarian tradisional Modero di Festival Mosintuwu 2019 . Foto : Dok.Mosintuwu/RayRarea

Tidak ramai sebuah pesta tanpa Dero, atau Modero. Pendapat ini masih menjadi pendapat umum sebagian masyarakat Poso. Dero menjadi simbol penyemarak sebuah suasana. Berseliweran cerita bahwa Dero adalah sebuah tarian persahabatan, mungkin karena gandengan tangan. Komentar lain yang berseliweran tentang Dero, adalah tarian muda mudi, sangat mungkin karena pantun yang dinyanyikan saat dero biasanya tentang cinta. Karena itu, setiap kali ada Dero anak-anak muda saling memberitahu dengan cepat “ eh, ada dero di sana, manjo”   

Saat Modero, semua tumpah dalam lingkaran, saling berpegangan tangan, berbalas pantun, mengungkapkan perasaan diiringi tabuan gendang dan gong. 

Cerita-cerita tentang Dero atau Modero ini menghilangkan kisah sebenarnya. Yustinus Hokey, maestro seni tradisi Poso menulis hasil percakapannya dengan Ngkai Kolombuto dalam artikelnya, Jejak Motorompio, yang ditulis tahun 2017. Ngkai Tinus demikian panggilan akrabnya, menceritakan sejarah Dero dari cerita Ngkai Kolombuto, saksi sejarah lahirnya tarian itu.  Dikisahkan dalam perjalanan untuk membangun jalan trans Sulawesi yang menghubungkan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Selatan, dikawasan yang dikenal sebagai Tokolekaju, Ngkai Kolombuto dan rombongannya bermalam di kampung Dulumai. Malam harinya, para serdadu Jepang yang mengawal perjalanan mereka, meminta agar warga menyelenggarakan atraksi kesenian untuk menghibur mereka. Maka, segera warga kampung Dulumai mengadakan pertunjukan tarian Moende. 

Baca Juga :  MoU Kuatkan Kajian, Penelitian dan Penyebaran Nilai-nilai Perdamaian di Tana Poso

Saat tarian ditampilkan, rupa-rupanya komandan serdadu Jepang tidak berkenan. Dia agak gusar melihat gerakan Moende yang statis, pelan, tidak aktraktif. Sang komandan bangkit dari duduknya, lalu bertanya. 

“Apakah nama tarian ini? “

Seorang perempuan memberanikan diri menjawab 

“Modendelu, Tuan “

Berkacak pinggang, si komandan menjawab :

“ Ooo.., Mondero baguskah pegang tangankha..maksudnya, Modero bagus kalau berpegangan tangan “

Modendelu yang disebut saat itu merujuk pada bunyi gong yang dimainkan saat Moende yang terdengar iramanya seperti “…dendelu dendelu tak ku..” Perbedaan pengucapan huruf R dan L pada serdadu Jepang saat berbahasa Indonesia mengubahnya menjadi terdengar seperti mondero. 

Maka orang-orang yang Moende, langsung saling berpegangan tangan. Oleh komandan  legiun Jepang itu, diperintahkan agar dalam lingkaran itu, posisi perempuan dan laki-laki berselang seling. Irama gendang dan gong yang sebelumnya pelan, dirubah jadi lebih cepat. Maka jadilah irama dan tari baru, Modero. Dero merupakan nama tariannya, modero adalah aktivitas saat dero. 

Berdasarkan cerita Ngkai Kolombuto yang dicatat oleh Yustinus Hokey, bisa dibilang Dero merupakan tarian yang diciptakan untuk memenuhi selera tentara Jepang. 

Modero, tarian tradisional yang lahir dari modifikasi Moende di masa Romusha, Jepang. Foto diambil dari modero di Festival Mosintuwu 2019 . Foto : Dok.Mosintuwu/RayRarea

Berbeda dengan Moende yang diiringi Kayori yang bisa menjadi sarana kritik, pesan politik, cinta alam atau ungkapan kecintaan pada tanah tumpah darah. Syair dalam tarian Dero kemudian menjadi lebih personal dan menunjukkan perasaan individu atau ungkapan rasa cinta kepada seseorang. Biasanya seorang pemuda menyampaikan Kayori berisi perasaan hatinya yang mabuk kepayang kepada gadis pujaan dalam putaran Dero. Dalam banyak kisah, Dero menjadi tempat bertemunya pasangan yang kemudian menikah. 

Baca Juga :  Anasa, Duta Biota Air Bersih Sungai dan Danau Poso

Tarian Dero dilakukan dalam lingkaran dan saling bergandengan tangan, kaki digerakkan berirama dua kali ke kanan satu kali ke kiri demikian seterusnya. Sementara tangan saling menggengam berpegangan dengan posisi siku 90 derajat dan diayunkan ke atas dan ke bawah perlahan-lahan setingi 5 – 8 cm sejajar pinggang. Meskipun Dero diawali dari modifikasi Moende, namun orang-orang tua dulu memaknai dero sebagai tarian bersama dalam komunitas yang saling menyapa melalui syair-syair. 

Dalam perkembangannya, Dero mengalami banyak perubahan. Hingga pada pertengahan era 90an, gendang dan gong mulai digantikan oleh orgen tunggal. Orang-orang tidak lagi menyanyikan syair dalam lingkaran dero saling berbalasan, tapi sudah dinyanyikan oleh satu penyanyi tunggal yang diiringi orgen. Bukan hanya irama dan alat pengiringnya yang berubah, gerak Modero juga mengalami perubahan. 

Sejak tahun 2015, gerakan Dero mengalami beberapa variasi. Tangan tidak lagi hanya diayunkan secukupnya tapi bisa melewati pinggang juga bertepuk tangan , badan tidak lagi hanya bergerak mengikuti ayunan kaki tapi bisa berputar, demikian juga kaki tidak lagi berirama 2 kanan dan 1 kiri tapi bisa melompat . Belakangan, makna Dero yang berusaha dikembangkan oleh masyarakat sebagai modifikasi atas permintaan Jepang, lebih fokus pada individu mereka yang ada dalam gerakan bukan pada semua komunitas yang ada dalam satu lingkaran. 

Baca Juga :  PPKM Level 4 di Poso : Tingginya Penularan dan Kematian

Penulis : Iin Hokey

Editor : Lian Gogali

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda