Coexist Prize untuk Sekolah Perempuan dan Project Sophia

1
1543

Sekolah Perempuan Mosintuwu dan Project Sophia, dua aktivitas utama di Institut Mosintuwu mendapatkan pengakuan internasional sebagai gerakan interfaith masyarakat akar rumput untuk kesetaraan, perdamaian dan keadilan; diakui sebagai . Hal ini dibuktikan dengan diberikannya penghargaan kepada Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali, sebagai pemenang pertama Coexist Prize. Coexist Prize adalah penghargaan internasional yang diberikan kepada mereka yang selama ini memperjuangkan gerakan interfaith melalui Coexist Foundation yang bermarkas di Inggris.

Dalam penjelasan resmi di website Coexist Foundation disebutkan bahwa Coexist Prize yang baru pertama kali diadakan ini telah menerima 300 lebih nominator dari seluruh dunia. Seluruh nominator diseleksi oleh juri yang ditentukan oleh Coexist Foundation melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama menentukan 20 nominator dalam daftar panjang calon penerima Coexist Prize. Tahapan kedua, para juri menentukan 6 nominator sebagai finalis Coexist Prize. Ke enam finalist ini adalah: Mustafa Ali dari Kenya, Sekjen Dewan Tokoh-tokoh Agama Afrika dan Representasi Agama-agama untuk Perdamaian Internasional; Dishani Jayaweera, Direktur Pusat Perdamaian dan Rekonsiliasi di Srilanka; Oliver McTernan, Direktur dan Pendiri Forward Thinking di Inggris sekaligus Dewan Eksekutif Pax Christi International di Belgia yang bergerak di bidang Perdamaian dan Hak Asasi Manusia; William Ury dari Amerika, pendiri Global Negotiation Initiative yang pernah bersama-sama Presiden AS Jimmy Carter mengatasi krisis nuklir antara Amerika Serikat dan Soviet; Josh Stanton, Program Direktur dan pendiri Jurnal Inter-Religious Dialog serta pendiri Religious Freedom di Amerika Serikat; dan Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu, pendiri Sekolah Perempuan dan Project Sophia. Ke enam finalis melalui tahap penjurian yang ketat yang dilakukan oleh Dr. Ali Gomaa , Grand Mufti Republik Arab; Rabbi David Saperstein yang terkenal sebagai rabbi yang paling berpengaruh di seluruh dunia; Bishop Mark S. Hanson, President The Lutheran World Federation; serta Mary Robinson, mantan Presiden Irlandia serta komisioner Hak Asasi Manusia PBB.

Pengumuman pemenang Coexist Prize dilakukan di Skirball Center Universitas New York, New York, Amerika Serikat. Dalam pidato pengumuman pemenang Coexist Prize, David Ford Profesor Universitas Cambridge mewakili para juri menjelaskan alasan mengapa Lian Gogali ditetapkan sebagai pemenang Coexist Prize, sebagai unsung Hero:

“Lian Gogali is the winner of the Coexist Prize for several reasons. She best exemplifies the combination of a personal journey and a recent, fledgling project, both of which are inspiring. She has overcome considerable personal and communal difficulties. She has envisioned and then persevered in realizing a wonderful project that is courageously inter-faith in its conception in a setting where there has been considerable violence between those of different faiths. At the same time she is working with, and enabling, some of the most marginalized and disadvantaged people in that setting. She has clearly reflected deeply on the meaning of her own faith and how it relates to others, and is a prophetic voice for peace, justice and the building up of a civil society that can be genuinely pluralist. She has not had the advantage of backing from major institutions or foundations, and is ‘unsung’ to an extent greater than any of the other candidates. Her grassroots, women-centred approach seems to me to have great potential for inspiring others to do similar things not only in Indonesia but in many other settings too. Of all the people and projects on our shortlist I see the Coexist Prize being able to help her and her project more than it would help any of the others. So overall she seems to me to meet all the criteria we judges were asked to bear in mind: a powerful, extraordinary story; work way beyond the call of duty; a growing impact that could be greatly enhanced by the Prize; being unsung and to date little recognised; and, as regards gender, working with women in a way that benefits the whole community”

Sementara itu dalam pidato penerimaan penghargaannya, Lian Gogali, menekankan pentingnya peranan perempuan dan anak dalam gerakan interfaith serta keinginannya untuk menyebarkan gagasan ini bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia, selengkapnya:

“How do we build a culture of tolerance and coexistence? And how do we heal the wounds of war? I am Lian Gogali., I come from an area in Indonesia that has been a victim to inter- religious violence. During my experience in the conflict, I realise that women and children are the greatest untapped resource for inter-faith healing and their voice is never heard. This is why I teach women in areas of religion and peace. My dream is that I can do this work around the world. So how do we build a culture of tolerance and coexistence? – by empowering women. These women we will empower a whole family, and together we can change the world. This Coexist Prize is for women and children I work with and will work with not only in Indonesia but around the world. Thank you so much.”

Selain Lian Gogali, ke lima finalis Coexist lainnya diberikan penghargaan tertinggi. Mustafa Ali dan Dishani Jayaweera mendapatkan penghargaan kedua Coexist Prize, sementara tiga finalis lainnya diberikan penghargaan dan apresiasi tertinggi atas kerja-kerja interfaith mereka.

Baca Juga :  Desa Leboni

Lian Gogali dalam berbagai wawancara menyampaikan bahwa Coexist Prize yang diterimanya adalah penghargaan untuk semua perempuan dan anak-anak yang selama ini bekerja bersama-sama dengannya dalam segala keterbatasan untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan, termasuk untuk semua pihak yang tetap percaya dan terus berjuang untuk kesetaraan, untuk perdamaian dan keadilan melalui gerakan interfaith. Karena itu, ditegaskan bahwa Coexist Prize adalah sebuah pengakuan pentingnya gerakan interfaith dari masyarakat akar rumput yang dibangun oleh para perempuan dan anak-anak yang selama ini tidak pernah didengarkan suaranya. Coexist Prize telah membuka jalan bagi diteruskannya perjuangan interfaith untuk kesetaraan, perdamaian dan keadilan bukan hanya di Poso, tetapi di Indonesia bahkan di seluruh dunia.

Link Pengumuman Coexist Prize: http://www.coexistfoundation.net/en-gb/news-article/49/first-coexist-prize-winner-announced.htmSekolah Perempuan Mosintuwu dan Project Sophia, dua aktivitas utama di Institut Mosintuwu mendapatkan pengakuan internasional sebagai gerakan interfaith masyarakat akar rumput untuk kesetaraan, perdamaian dan keadilan; diakui sebagai . Hal ini dibuktikan dengan diberikannya penghargaan kepada Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali, sebagai pemenang pertama Coexist Prize. Coexist Prize adalah penghargaan internasional yang diberikan kepada mereka yang selama ini memperjuangkan gerakan interfaith melalui Coexist Foundation yang bermarkas di Inggris.

Baca Juga :  Kami Masih Orang Desa

Dalam penjelasan resmi di website Coexist Foundation disebutkan bahwa Coexist Prize yang baru pertama kali diadakan ini telah menerima 300 lebih nominator dari seluruh dunia. Seluruh nominator diseleksi oleh juri yang ditentukan oleh Coexist Foundation melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama menentukan 20 nominator dalam daftar panjang calon penerima Coexist Prize. Tahapan kedua, para juri menentukan 6 nominator sebagai finalis Coexist Prize. Ke enam finalist ini adalah: Mustafa Ali dari Kenya, Sekjen Dewan Tokoh-tokoh Agama Afrika dan Representasi Agama-agama untuk Perdamaian Internasional; Dishani Jayaweera, Direktur Pusat Perdamaian dan Rekonsiliasi di Srilanka; Oliver McTernan, Direktur dan Pendiri Forward Thinking di Inggris sekaligus Dewan Eksekutif Pax Christi International di Belgia yang bergerak di bidang Perdamaian dan Hak Asasi Manusia; William Ury dari Amerika, pendiri Global Negotiation Initiative yang pernah bersama-sama Presiden AS Jimmy Carter mengatasi krisis nuklir antara Amerika Serikat dan Soviet; Josh Stanton, Program Direktur dan pendiri Jurnal Inter-Religious Dialog serta pendiri Religious Freedom di Amerika Serikat; dan Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu, pendiri Sekolah Perempuan dan Project Sophia. Ke enam finalis melalui tahap penjurian yang ketat yang dilakukan oleh Dr. Ali Gomaa , Grand Mufti Republik Arab; Rabbi David Saperstein yang terkenal sebagai rabbi yang paling berpengaruh di seluruh dunia; Bishop Mark S. Hanson, President The Lutheran World Federation; serta Mary Robinson, mantan Presiden Irlandia serta komisioner Hak Asasi Manusia PBB.

Pengumuman pemenang Coexist Prize dilakukan di Skirball Center Universitas New York, New York, Amerika Serikat. Dalam pidato pengumuman pemenang Coexist Prize, David Ford Profesor Universitas Cambridge mewakili para juri menjelaskan alasan mengapa Lian Gogali ditetapkan sebagai pemenang Coexist Prize, sebagai unsung Hero:

“Lian Gogali is the winner of the Coexist Prize for several reasons. She best exemplifies the combination of a personal journey and a recent, fledgling project, both of which are inspiring. She has overcome considerable personal and communal difficulties. She has envisioned and then persevered in realizing a wonderful project that is courageously inter-faith in its conception in a setting where there has been considerable violence between those of different faiths. At the same time she is working with, and enabling, some of the most marginalized and disadvantaged people in that setting. She has clearly reflected deeply on the meaning of her own faith and how it relates to others, and is a prophetic voice for peace, justice and the building up of a civil society that can be genuinely pluralist. She has not had the advantage of backing from major institutions or foundations, and is ‘unsung’ to an extent greater than any of the other candidates. Her grassroots, women-centred approach seems to me to have great potential for inspiring others to do similar things not only in Indonesia but in many other settings too. Of all the people and projects on our shortlist I see the Coexist Prize being able to help her and her project more than it would help any of the others. So overall she seems to me to meet all the criteria we judges were asked to bear in mind: a powerful, extraordinary story; work way beyond the call of duty; a growing impact that could be greatly enhanced by the Prize; being unsung and to date little recognised; and, as regards gender, working with women in a way that benefits the whole community”

Sementara itu dalam pidato penerimaan penghargaannya, Lian Gogali, menekankan pentingnya peranan perempuan dan anak dalam gerakan interfaith serta keinginannya untuk menyebarkan gagasan ini bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia, selengkapnya:

“How do we build a culture of tolerance and coexistence? And how do we heal the wounds of war? I am Lian Gogali., I come from an area in Indonesia that has been a victim to inter- religious violence. During my experience in the conflict, I realise that women and children are the greatest untapped resource for inter-faith healing and their voice is never heard. This is why I teach women in areas of religion and peace. My dream is that I can do this work around the world. So how do we build a culture of tolerance and coexistence? – by empowering women. These women we will empower a whole family, and together we can change the world. This Coexist Prize is for women and children I work with and will work with not only in Indonesia but around the world. Thank you so much.”

Selain Lian Gogali, ke lima finalis Coexist lainnya diberikan penghargaan tertinggi. Mustafa Ali dan Dishani Jayaweera mendapatkan penghargaan kedua Coexist Prize, sementara tiga finalis lainnya diberikan penghargaan dan apresiasi tertinggi atas kerja-kerja interfaith mereka.

Baca Juga :  Takbir Persaudaraan di Kota Pusat Gereja Sulawesi Tengah

Lian Gogali dalam berbagai wawancara menyampaikan bahwa Coexist Prize yang diterimanya adalah penghargaan untuk semua perempuan dan anak-anak yang selama ini bekerja bersama-sama dengannya dalam segala keterbatasan untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan, termasuk untuk semua pihak yang tetap percaya dan terus berjuang untuk kesetaraan, untuk perdamaian dan keadilan melalui gerakan interfaith. Karena itu, ditegaskan bahwa Coexist Prize adalah sebuah pengakuan pentingnya gerakan interfaith dari masyarakat akar rumput yang dibangun oleh para perempuan dan anak-anak yang selama ini tidak pernah didengarkan suaranya. Coexist Prize telah membuka jalan bagi diteruskannya perjuangan interfaith untuk kesetaraan, perdamaian dan keadilan bukan hanya di Poso, tetapi di Indonesia bahkan di seluruh dunia.

Link Pengumuman Coexist Prize: http://www.coexistfoundation.net/en-gb/news-article/49/first-coexist-prize-winner-announced.htm

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda