Moapu, Cita Rasa Kuliner Poso yang Bersolidaritas dengan Alam

0
955
Menu dari pangan lokal Poso di kegiatan Moapu Festival Mosintuwu 2022. Foto : Dok. Mosintuwu

Sebuah frenchise internasional pernah mencoba cita rasa lidah orang Poso, di Tentena, dengan membuka restoran. Hanya bertahan 3 bulan, setelah sempat ramai dikunjungi pada minggu-minggu awal, harus tutup. Rupanya, setidaknya dalam kesimpulan sementara saya, lidah orang Poso masih setia pada menu rumahan seperti dui, ituwu, arogo onco, atau sekedar daun ubi dengan sambal terasi. Lani, seorang pemudi Poso yang sedang merantau di Bali dengan jelas menyatakan kerinduannya pada menu di rumah setelah sekian bulan harus mencicipi makanan bertepung dan berbahan dasar dari toko. 

“Daun ubi direbus tanpa rempah, dimakan dengan terasi” begitu katanya pada saya saat baru tiba kembali di Tentena. Lani tak ada bedanya dengan saya, atau banyak orang Poso yang saya kenal. Begitu  pulang dari bepergian beberapa hari saja ( apalagi bila berminggu-minggu ), susunan menu kampung seperti dui atau arogo onco menjadi daftar menu di meja makan. Apapun yang direbus, masak kuah, kukus atau bakar lahap dimakan. Apalagi dengan berbagai sambal.

Sayangnya, menu kampung ini kurang dikenal. Bahkan perlahan mulai hilang dari penyajian di meja makan rumah-rumah , terutama saat hari raya. Makanan berbahan tepung atau terigu dan digoreng menjadi andalan. Bahkan, beberapa menyebutnya gaya hidup modern. Hal yang sama nasibnya dengan penganan ringan. Ubi diganti kentang goreng, wajik digantikan kue keju, cucur tergantikan kue mentega. 

Namun saya cukup beruntung. Adalah desa-desa yang masih setia merawat kuliner berbahan dasar alam Poso ini. Di Lembah Bada, saya masih sering mendapati kue wajik dan pisang rebus. Atau di Pamona Timur makan ubi talas dan kacang rebus. Sayur Gedi dan rebung masih mudah tersedia di atas meja. Meskipun harus diakui, godaan makanan dari bahan tepung atau terigu yang dibeli di toko kian masuk hingga ke lorong desa . Masuknya tepung dan terigu mendorong mengubah cara pikir tentang makanan dan mendesak lidah menyesuaikan selera toko.  Soal menyesuaikan lidah ini memang mengkwatirkan sehingga membiasakan lidah tidak meninggalkan kuliner orang Poso membutuhkan ruang. 

Ruang untuk membiasakan lidah ini bukan pertama-tama di dapur setiap rumah tangga, namun perlu digelar bersama sebagai sebuah perayaan. Hal ini setidaknya berupaya digambarkan dalam serangkaian atraksi memasak di Festival Mosintuwu, bertajuk Moapu. Moapu dalam bahasa Pamona berarti memasak.  Pagelaran Moapu diikuti 18 desa. Saat berjalan keliling desa untuk membicarakan persiapan pagelaran Moapu ini, saya diingatkan ibu-ibu di desa soal cara memasak juga bagian penting selain bahan makanan. Sempat ada perdebatan mengenai memasak menggunakan bara api atau gas, di dalam bambu atau di belanga? belanga tanah atau belanga besi?

Baca Juga :  Kaleidoskop Perlindungan Anak 2023 : Perkosaan dan KBGO Menghantui Anak
Moapu di Festival Mosintuwu oleh ibu-ibu dari desa-desa. Foto : Dok.Mosintuwu

Karena itu, menyaksikan pagelaran Moapu di Festival Mosintuwu bagi saya memberikan penguatan bahwa yang tetap dijaga bukan hanya soal cita rasa kuliner Poso tapi juga tanah, air, hutan yang menciptakan pangan lokal di desa. Semuanya terlihat dari bahan dasar yang digunakan oleh para koki dari kampung ini. Ikan rono, masapi atau sidat, sayur lilin, bersama dengan daun arogo onco, daun kelor, daun ubi, pisang mentah , batang pisang dan sebagainya. Wadah untuk menyajikan makananpun berbahan alam seperti pingku, daun pisang, tempurung kelapa hingga bila-bila.  

Kebanggaan menyajikan makanan dari alam di desa terlihat jelas pada 3 koki dari Lembah Bada memasak lauk khas yang diberi nama Halo Tangkidi. Bahan utamanya mennggunakan jamur. Ada juga rica khusus mirip paprika . 

“Tapi ini bukan paprika, kami sebut paprika bada” cetus Roslina dari Desa Pada, Lore Selatan. 

Tangkidi merupakan sebutan untuk jamur yang hidup di kayu. Keberadaan jamur di hutan-hutan di desa menjadi pertanda hutannya masih terjaga. Uniknya meskipun nama makanannya menyebutkan jamur sebagai resep utama, namun ayam kampung juga cukup menonjol dari menu ini. Masakan jamur dicampur dengan ayam kampung yang berkuah ini berakhir menjadi kering saat dicampur dengan kelapa kering. 

Di tempat lain, koki dari pinggiran Danau Poso mengolah kerang danau, wuriri. Masakan ini mengandalkan santan kelapa, kemiri dan rica sebagai rempahnya. Kerang dari Danau Poso menunjukkan pesan menjaga danau Poso agar endemik danau Poso masih berkembang karena ekosistemnya tidak terganggu. 

Di meja lainnya, ada Jeni dan dua koki kampung dari Desa Tiu, kecamatan Pamona Timur , bekerjasama mengupas batang pisang hingga menyisakan bagian inti berwarna putih sebesar lengan orang dewasa.  Di bagian atas meja, terdapat rempah kemiri, kemangi, serai, daun jeruk, ketumbar, biji pala. Batang pisang diiris halus, lalu dicuci dan diperas. Langkah-langkah mengolahnya sangat pasti dan cekatan.

“Dicuci dan diperas supaya rasa gatal dan rasa sepet-nya bisa hilang” ujar Jeni. 

Nama menunya Saud. Seluruh rempah dicampur dengan batang pisang dan dimasukkan di dalam bambu. Bambu ini dibakar menggunakan bara dari kayu api. Mirip ituwu. Saya mendekati ibu Jeni yang berusaha melawan asap yang dibawa angin sore hari. 

“Mawongi” decak saya mencium bau harum dari bambu yang sedang dibakar.

Moapu , dengan cara memasak di dalam bambu di Festival Mosintuwu. Foto : Dok. Mosintuwu
Moapu dengan cara memasak di dalam bambudi Festival Mosintuwu. Foto : Dok. Mosintuwu

Bukan hanya saya yang kegirangan mencoba semua masakan dimasak di meja sepanjang 10 meter membentuk huruf U di depan panggung festival. Para pengunjung kebagian rejeki dengan mencicipi makanan yang sudah dimasak oleh para koki. Lia, pengunjung dari Palu tak hentinya berkomentar takjub. Basri, seorang kameramen berulangkali mendekati meja bukan hanya memotret tapi juga mencicipi makanan. Kekaguman atas rasa makanan yang dihasilkan oleh para koki dari kampung ini membuat Iin Hokey merasa kepercayaan diri masyarakat Poso atas kuliner orang Poso sangat mudah dikembangkan . 

Baca Juga :  Orasi Kebudayaan : Tanah, Air, Hutan dan Manusia yang Bersahaja

“Bahan-bahan yang kita saksikan di atas meja tadi adalah bahan-bahan dari alam, dari air , dari hasil hutan dan tanah yang subur. Karena berasal dari alam maka pasti sehat.  Apalagi dimasak dengan penuh cinta “ Demikian promosi Iin. 

Meracik Minuman dari Alam Poso 

Jongi, jenis buah berwarna kuning ini dikenal orang Poso karena rasanya yang asam. Untuk bisa memakannya, mata kiri dan kanan  saya dan banyak orang lainnya akan bergantian memincing menahan rasa asam. Mungkin itupula alasan banyak orang kurang menyukainya. Padahal buah ini adalah salah satu buah endemik Sulawesi. Pohon buah Jongi banyak terhampar di hutan-hutan di Kabupaten Poso. 

Ersi Sonora, 58 tahun seorang juru masak Poso telah lama berupaya untuk mengubah citra buah jongi. Menurutnya, buah jongi harus bisa diolah sama seperti buah jeruk, pepaya, semangga. 

“Harusnya menjadi minuman khas Poso” kata Ersi meyakinkan. 

Di hadapan para koki dari berbagai desa, Ersi yang merupakan kepala Tata Boga di SMKK dan SMEA di Poso , membuat atraksi memasak minuman jus dari Jongi. Jongi dibuang bijinya, hasilnya diblender. Selesai diblender dicampurkan dengan susu kental manis . Takarannya sesuai dengan tingkat berkurangnya asam yang diinginkan.

Saat atraksi membuat jus jongi selesai, para pengunjung antusias mencobanya. Mereka memulai dengan makan buah jongi yang asam lalu minum jus jongi dalam wadah kecil yang sudah disediakan. 

“Ini enak sekali, hilang asamnya tapi rasa jongi tetap melekat” cerita Merry, salah seorang pengunjung. 

Selain minuman jongi, Ersi juga mencoba membuat puding dari jongi yang tidak kalah lezatnya. Dalam cerita pengantarnya sebelum memulai atraksi memasak, Ersi menceritakan bagaimana jus jongi ini telah membawanya diakui sebagai salah satu koki dengan racikan masakan tradisional di Indonesia. Ersi berharap jus jongi bukan hanya menjadi minuman khas Poso tapi juga mampu membuat pohon Jongi yang sudah mulai langka di wilayah pemukiman penduduk bisa terjaga. Berlin Modjanggo, seorang ketua adat dari Desa Meko mengamininya .

“Mulai sekarang tanam pohon jongi di sekitar rumah. Kalau ada pohon jongi jangan ditebang karena buahnya asam. Buktinya sekarang kita bisa minum dengan rasa yang sedap” demikian himbaunya. 

Meja Makan dan Eksistensi Pangan Lokal

Bahan-bahan masak yang digelar dalam kegiatan Moapu berjarak tidak jauh dari halaman rumah para koki kampung yang menyediakannya . Jeni mengaku semua bahan utama dari kebun halaman rumah masing-masing koki yang bergabung dalam timnya. Kecuali, garam, gula.

Baca Juga :  Perempuan Poso dan Mimpi Desa Membangun

Meja makan dan jarak sumber makanan menjadi penting dalam perbincangan dan upaya kedaulatan atas pangan. Semakin jauh jarak sumber makanan, semakin jauh jarak dengan ide kedaulatan. Jika sumber makanan lebih dekat jaraknya dari meja makan sebuah keluarga, dua hal perlu diperiksa kembali . Pertama, siapa penyedia sumber makanan tersebut, apakah hanya satu dua keluarga yang memiliki modal atau sekelompok kecil orang. Kedua, distribusi pangannya dikelola oleh siapa. 

Eksistensi pangan lokal bukan hanya persoalan akses pengelolaan sumber daya alam tapi juga berkaitan dengan kesehatan. Konsumsi pangan lokal dengan bahan-bahan berjarak dekat alias masih segar secara otomatis juga lebih sehat bagi tubuh. Distribusi makanan lokal berjarak lebih dekat sehingga memungkinkan makanan yang dibawa tidak busuk dalam perjalanan. Rantai distribusi makanan ini pada akhirnya tidak membutuhkan pengawet seperti halnya makanan yang sumbernya jauh.  Sayur dari batang pisang merupakan salah satu contoh sayuran yang sumbernya dari halaman rumah dan mudah diakses oleh masyarakat. 

Menu dari pangan lokal Poso di kegiatan Moapu Festival Mosintuwu 2022. Foto : Dok. Mosintuwu

Ituwu, sebuah cara memasak di bambu yang diperlihatkan oleh para koki kampung menunjukkan bagaimana alam bukan hanya menyediakan bahannya tapi juga wadah. Baik bahan maupun wadah kembali pada alam. Bambu bukan hanya digunakan sebagai bahan makanan tapi juga wadah memasak. Demikian pula pelepah sagu dan daun jagung. 

Apa yang ditampilkan di meja Mopu dalam Festival Mosintuwu menggambarkan keberagaman jenis makanan yang kaya dengan nutrisi bagi tubuh. Ini menunjukkan perbedaan penting dengan dominasi makanan yang mulai menguasai sistem pangan, yaitu makanan dengan kandungan karbohidrat dan terigu.  Penelitian Badan Litbang Kesehatan RI di tahun 2015, menunjukkan 97,7 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi beras sebagai sumber makanan pokoknya dan 30,2 persen masyarakat mengonsumsi terigu dan berbagai olahannya. Hal ini berbeda dengan apa yang ditampilkan di meja makan keluarga. Sementara itu, kehadiran sagu di meja makan, atau sate dari jantung pisang menggambarkan kekayaan kandungan dan pilihan makanan yang tersedia di alam dan dikelola oleh masyarakat. 

Karena itu mewariskan resep kuliner asli Poso  menjadi salah satu cara untuk memastikan kuliner yang berpusat pada alam dan menjaga kehidupan bumi. Ini karena persoalan pangan adalah persoalan kedaulatan sebuah komunitas. Berdaulat karena sumber kehidupannya berasal dari tanah, air dan hutan yang berakhir pada meja makan, tapi juga berdaulat karena pengolahannya yang mengandalkan alam dan sekaligus mengembalikannya pada alam. Kami menyebutkan bersolidaritas dengan alam. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda