“Hanya yang yang ingin beli batata yang mau ke desa kami “ demikian cerita ibu Yustin pada awal kelas sekolah perempuan Mosintuwu. “Tapi sejak ada sekolah perempuan, sekarang, yang berkunjung ke desa kami bukan hanya fasilitator dari Mosintuwu tapi kami pernah dikunjungi guru-guru dari Jogjakarta, termasuk staff khusus menteri pemberdayaan perempuan dan anak” lanjutnya.
Dusun Kassa, Desa Pandiri dan Desa Ratoumbu adalah salah satu desa terdekat dengan ibu kota Kabupaten Poso yang masih memiliki jalan rusak sejak bertahun-tahun. Jalanan bukan hanya berbatu, tapi berlubang dan jika hari hujan akan licin dan membahayakan bagi pengguna jalan.
Sekolah Perempuan Mosintuwu adalah kelompok pengorganisasian yang pertama kali secara rutin mengorganisir wilayah ini sejak 2014. Dirja Halimun, lulusan sekolah perempuan Mosintuwu angkatan II adalah fasilitator yang pernah mengawali proses sekolah perempuan di kedua desa ini. Proses kelas sekolah perempuan yang berakhir bulan November 2015 lalu ini, sekarang dilanjutkan dengan pengorganisasian komunitas.
Terdapat 20 anggota sekolah perempuan yang terdiri dari agama Islam dan Kristen yang bergabung di kelas ini. Warga yang beragama Islam sebagian besar adalah mereka yang merupakan warga transmigran dari Jawa yang datang pada tahun 2010. Sementara warga yang beragama Kristen sebagian besar adalah mereka yang mengungsi saat konflik Poso dari wilayah kecamatan Lage . Mereka menamakan kelas mereka sebagai kelas Lebanu.
Di desa dan dusun yang kaya dengan sumber daya alam terutama ubi jalar ini, anggota sekolah perempuan bekerja sebagai petani. Kehadiran sekolah perempuan membangun kesadaran kritis mereka tentang persoalan sosial, ekonomi, dan politik di desa mereka. Kesadaran ini sedang berusaha dikembangkan dalam aktivitas desa membangun.
Ibu Marlice dan ibu Miliana misalnya menjadi tim yang memastikan pencegahan terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk mengembangkan program bersama Mosintuwu untuk melakukan sosialisasi isu-isu perlindungan perempuan dan anak di desanya. Ibu Eva dan ibu Miliana mengembangkan program anak terutama perpustakaan anak-anak di desa bekerjasama dengan Project Sophia Mosintuwu. “ Anak-anak disini tidak punya buku dan tidak punya kegiatan yang lain. Kalau ada aktivitas dan buku pasti mereka bisa mendapatkan pendidikan alternatif yang akan kembangkan karakter diri anak-anak “ kata ibu Eva.
Semangat para perempuan lulusan sekolah perempuan Mosintuwu ini bisa jadi langkah awal yang sederhana tapi berniat mulia untuk menggunakan ketrampilan, pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah perempuan untuk kebaikan masyarakat dan bukan untuk kepentingan diri sendiri. “menjadi pemimpin dalam masyarakat bukanlah mencari jabatan atau ketika sudah menjabat “ tegas Lian Gogali, pendiri sekolah perempuan dalam sesi sekolah perempuan “ Menjadi pemimpin adalah ketika pengetahuan dan ketrampilan yang kita miliki digunakan untuk kemaslahatan umat, untuk kepentingan masyarakat , untuk mengembangkan karya masyarakat, dan memperjuangkan hak ekonomi, sosial, budaya bagi masyarakat kecil” sambungnya.