Musyawarah Perempuan Desa : Bersuara untuk Perdamaian dan KeadilanWomen Village Forum : Speak Up for Peace and Justice

1
3133

 “Ayo bikin partai perempuan!”

“Hentikan pengiriman TKW”

“Merapat, kita teriak Perempuan berdaulat atas tubuhnya”

Suara riuh menyatakan sepakat disertai tepuk tangan menyambut teriakan lantang beberapa perempuan yang mengekspresikan pendapatnya dalam ruangan sederhana hari itu. Bukan hanya satu hari, sejak tanggal 3 – 17 Maret 2014, untuk pertama kalinya dalam sejarah perempuan di Kabupaten Poso, dilaksanakan musyawarah perempuan desa. Musyawarah perempuan desa yang khusus diikuti oleh perempuan akar rumput ini diselenggarakan oleh Institut Mosintuwu melibatkan 1000 perempuan dari 70 desa, 14 kecamatan di Kabupaten Poso .  Mereka  adalah ibu rumah tangga, petani, nelayan, buruh , dari berbagai latar belakang agama (Islam, Kristen, Hindu), dan suku. Menurut Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu, Mosintuwu dipilihnya perempuan akar rumput menjadi peserta yang menentukan hasil penting Kongres Perempuan Poso bukan tanpa alasan. Perempuan akar rumput adalah mereka yang seumpama akar pada pohon, mereka yang selama ini memberi makna pada kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik. Pada saat yang bersamaan mereka juga adalah yang selalu terpinggirkan, terdiskriminasi, terabaikan, tidak didengar.

Musyawarah perempuan desa ini dilaksanakan dalam 10 wilayah berdasarkan karakteristik daerah, yaitu: Wilayah I  Kecamatan Poso Pesisir Utara, terdiri dari Desa Kilo, Kawende, Kalora, Maranda, Trimulya ; Wilayah II  Kecamatan Poso Pesisir dan Poso Pesisir Selatan, terdiri dari Desa Masani, Pinedapa, Masamba, Saatu, Tangkura, Patiwunga, Betalembah; Wilayah III  Kecamatan Poso Kota , Poso Kota Utara, Poso Kota Selatan , terdiri dari Kelurahan Madale, Tegalrejo, Lawanga, Gebang Rejo, Lembomawo, Moengko, Sayo , Bukit Bambu ; Wilayah IV Kecamatan Lage bagian Timur terdiri dari  Silanca, Sepe, Bategencu, Tongko, Toyado, Labuan , Lee, Malei Lage; Wilayah V  Kecamatan Lage bagian Selatan , terdiri dari Maliwuko, Tagolu, Sintuwulembah, Tambaro, Watuawu, Rato’ombu, Pandiri, Tampemadoro;  Wilayah VI   Kecamatan Pamona Utara  terdiri dari Desa Kuku, Uelincu, Panjoka, Sanggira, Tendea, Sawidago, Saojo, Petirodongi; Wilayah VII  Kecamatan Pamona Puselembah terdiri dari Tentena, Pamona, Peura, Dulumai, So’e, Mayakeli, Leboni, Mariri ; Wilayah VIII Kecamatan Pamona Selatan dan Pamona Barat terdiri dari Pandayora, Mayoa, Bancea, Toinasa, Uranosari; Wilayah IX Kecamatan Pamona Timur dan Pamona Tenggara terdiri dari  Desa Kelei, Didiri, Tiu, Pongge’e, Salindu, Singkona; Wilayah X  Kecamatan Lore Selatan terdiri dari Desa Bomba, Pada, Bewa, Gintu, Runde, Badangkaia, Bakekau.

Para perempuan akar rumput yang sebagian besar baru pertama kali mengikuti pertemuan, membahas dua topik utama yaitu sejarah gerakan perempuan di Indonesia dan Poso serta UU Desa. Pembahasan mengenai sejarah gerakan perempuan di Indonesia, membangun kesadaran para perempuan akar rumput tentang pentingnya mereka bangkit dan bersuara, menghapus dominasi perspektif perempuan PKK yang diyakini melumpuhkan gerakan perempuan Indonesia yang sebelumnya sangat kuat.

Metode musyawarah yang kreatif menyebabkan para perempuan yang sebagian besar baru pertama kali mengikuti pertemuan ini dapat saling mencurahkan isi hati, pendapat , pengalaman berhadapan dengan konteks sosial, ekonomi, budaya dan politik sehari-hari.  Ibu Satria dari  Desa Kilo dalam musyawarah di wilayah I mengungkapkan “kami sudah lama sekali ingin ikut pertemuan yang menentukan nasib kami, tapi seringkali kami dianggap tidak tahu apa-apa, hanya tahu dapur” Di Desa Toyado dalam musyawarah wilayah II, seorang ibu bahkan berkata “Kami pernah nekad ikut pertemuan, pas kami mau bicara, kami diteriakkin oleh BPD , katanya apa juga kamu tahu, pulang sana urus dapur. Kami merasa terhina” Sebagian menyalahkan konsep PKK yang mengatur perempuan Indonesia hanya bekerja di rumah dan terbatas pada halaman mereka. Mungkin itu sebabnya di seluruh perjalanan musyawarah, selalu terdapat kutipan tulisan asli dari para peserta “ganti mars PKK” atau “keluar dari konsep PKK“. “Padahal, sejarah perempuan Indonesia menunjukkan perempuan ikut menentukan bentuk dan nasib bangsa Indonesia” tegas ibu Agustina dari Desa Watuawu.

Baca Juga :  Rekomendasi Kongres Perempuan : Perempuan dalam Adat dan Budaya

Tidak heran, ketika para perempuan diberikan kesempatan bermusyawarah, jarak yang jauh, jalan yang rusak, bahkan  peristiwa baku tembak di dekat lokasi musyawarah tidak menyurutkan langkah mereka. Perjalanan pertama musyawarah perempuan desa di Desa Kilo, diwarnai peristiwa baku tembak antar kelompok bersenjata dengan kepolisian. Para peserta musyawarah  menyadari hal tersebut namun tetap meneruskan musyawarah dengan penuh semangat, bahkan saling menenangkan satu sama lain agar tidak terpancing, termasuk menenangkan tim dari Mosintuwu.

Bukan hanya soal keterlibatan perempuan dalam  pertemuan, para perempuan juga mengeluhkan sistem pelayanan publik, sistem pendidikan, kesehatan yang diabaikan termasuk pola pemberian bantuan yang tidak adil. Semua cerita yang didengarkan menunjukkan kepedulian para perempuan akar rumput terhadap pembangunan desa. Tidak heran, ketika UU Desa disosialisasikan , wajah mereka langsung berseri.

Para perempuan akar rumput di Poso  adalah yang pertama kali di Indonesia mendapatkan sosialisasi UU Desa pasca disahkannya bulan Januari 2014. UU Desa memberikan angin segar pada keyakinan masyarakat khususnya para perempuan akar rumput untuk berdaulat atas hak ekonomi, sosial, budaya dan politik melalui pembangunan desa. Melakukan sosialisasi pertamakali kepada para perempuan akar rumput, dan bukannya pada aparatur pemerintahan desa/kelurahan, bukanlah tanpa alasan. Menurut Lian Gogali, perempuan akar rumput adalah pihak yang paling sering tidak mendapatkan akses informasi yang lengkap tentang apapun, termasuk tentang UU dan Peraturan Pemerintah. Ketidaktahuan ini menyebabkan perempuan mengalami pola diskriminasi yang berlapis. Mengetahui UU Desa, masih menurut Lian, akan memberikan kesempatan pada perempuan untuk cerdas dan mempersiapkan diri menjadi ujung tombak yang memberikan makna , tafsir, terjemahan terhadap UU Desa termasuk mereka yang pertama akan memastikan fungsi UU Desa berjalan dari perspektif perempuan akar rumput.

“Sekarang, kita tahu. Kita bukan hanya merebut ruang untuk bersuara tapi juga bergerak aktif terlibat dalam pembangunan” seru Mama Sinto dari Peura , disambut tepuk tangan dan sorakan meriah dari seluruh perempuan peserta musyawarah perempuan desa.

Langkah mereka untuk bersuara dan bergerak menciptakan perdamaian dan keadilan melalui pembangunan desa, disatukan saat perwakilan dari 1000 perempuan Poso mengikuti Kongres Perempuan Poso (lihat Kongres Perempuan Poso)“Let’s make women political party!”

Baca Juga :  Festival Sekolah Perempuan : Pameran Kekuatan Desa dan Karya Perempuan

“Stop sending TKW ”

“make a front, we demand that  women have rights for their body”

The statements  sounds clear and explicit. The statements respond by applause and cheering by a few women who express their opinions in a simple room that day. Not just one day, from the date of 3 to 17 March 2014, for the first time in the history of women in Poso, conducted  women village meeting. Women village meeting followed by grassroots women who organized by the Institute Mosintuwu . The meeting involving 1,000 women from 70 villages, 14 districts in Poso. They are housewives, farmers, fishermen, laborers, from various religious backgrounds (Muslim, Christian, Hindu), and the tribe. According to Lian Gogali, director of the Institute Mosintuwu, Mosintuwu chosen grassroots women become important participants with a reason. Grassroots women are those who are like unto the root of the tree, those who have been given meaning in social life, economy, culture and politics. At the same time, they also are always marginalized, discriminated against, ignored, not heard.

Women village meeting was conducted in 10 regions based on regional characteristics, namely: Region I : Poso North Coast, consisting of village Kilo, Kawende, Kalora, Maranda, Trimulya; Region II : Poso and Poso Coastal Coastal South, consisting of Masani village, Pinedapa, Masamba, Saatu, Tangkura Patiwunga, Betalembah; Region III : Poso city, Poso City North, South City Poso, consisting of the Village Madale, Tegalrejo, Lawanga, Gebang Rejo, Lembomawo, Moengko, Sayo, Bamboo Hill; Region IV:  District of Lage eastern part consists of Silanca, Sepe, Bategencu, Tongko, Toyado, Labuan, Lee, Malei Lage; Region V :District of Southern Lage, consisting of Maliwuko, Tagolu, Sintuwulembah, Tambaro, Watuawu, Rato’ombu, Pandiri, Tampemadoro; North Pamona sub Region VI consists of Village Nails, Uelincu, Panjoka, Sanggira, Tendea, Sawidago, Saojo, Petirodongi; Pamona sub Puselembah Region VII consists of Tentena, Pamona, Peura, Dulumai, So’e, Mayakeli, Leboni, Mariri; Pamona sub Region VIII South and West Pamona consists of Pandayora, Mayoa, Bancea, Toinasa, Uranosari; Region IX :  East Pamona and Southeast Pomona, consists of Kelei, Didiri, Tiu, Pongge’e, Salindu, Singkona; Region X  in South Lore, consists of the Bomba Village, Bewa, Gintu, Runde, Badangkaia, Bakekau.

The grassroots women mostly for the first time to participate in meetings. They are discuss two main topics, namely the history of the women’s movement in Indonesia and Poso and  Law Villages. The discussion of the history of the women’s movement in Indonesia, is to build awareness about the importance of grassroots women movement, so than they rise up and speak out, remove the dominance of  PKK perspective .

Creative methods led them who for the first time following this meeting are able to put their opinions, their experience how to dealing with the social, economic, cultural and political everyday. Mama Satria from Kilo village for example remarked “we’ve been wanting to join a meeting that determine our fate, but we often deemed not know anything, just know the kitchen”

Baca Juga :  Kurikulum Sekolah Perempuan : Perempuan Agen Perdamaian dan Keadilan

In Toyado , one mother even said “We never daring join the meeting, we want to talk , but the men yelled on us and said, “go home, just take care the children and the kitchen. We feel insulted ” Some women blame the PKK concept  that always said Indonesian women should only working in the house. That’s why in the whole meeting, there is always message from the participants to criticize  PKK mars and calling all the women “out from the concept of the PKK “.  Because, as what ibu Agustina said “In fact, the history of Indonesian women show women can determine the shape and fate of the nation of Indonesia”

To be able to join with the meeting,  the women doesn’t care with the situation like long distances, damaged roads, even firefight near the location of the meeting.  When Mosintuwu held the first women village meeting in Kilo,  there is firefight between  militant groups with the police. Eventhough te participants aware of it but still continue  the meeting, and try to comfort each other in order not to fall for.

Not just about women’s involvement in the public space, the women also complain about the public service systems, educational systems, health systems including relief pattern that is not fair. They shows how they are also concerns about the social, economic, and politics situation not only in Poso but also in around Indonesia and the world. Not surprisingly, when the Village Law socialized, their faces instantly brightened.

Maybe, the grassroots women in Poso is the first women in Indonesia that get the socialization of the Village Law.  Mosintuwu choose to disseminate to the grassroots women, rather than the village government officials / village, with a reason. According to Lian Gogali, grassroots women are the ones who most often do not have access to complete information about anything, including on Law and Government Regulation. This ignorance causes women experience discrimination layered pattern. Knowing the Law Village, according to Lian, will provide an opportunity for women to intelligently and prepare to spearhead that gives meaning, interpretation, have their own perspective about the Law Village.

“Now, we know. We are not just seize space to speak but also engaged actively involved in the development , and we have the rights ” Said Mama Sinto  from Peura. All the participants applause and rousing cheers to support the statement.

Their steps to speak loud, create peace and justice through the village development continue when they unite in the Poso Women Congres (see: Poso Women Congress)

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda