Desa, Benteng Kita Saat Pandemi Silih Berganti

0
643
Suasana Desa Tuare, Kecamatan Lore Barat. Foto : Dok.Mosintuwu/RayRarea

“Harapannya desa kami semakin maju”. Jawaban ini selalu muncul setiap kali pertanyaan dilontarkan kepada warga di desa-desa di kabupaten Poso. Maju yang dimaksud nampaknya berupa fisik, jalan raya yang mulus, akses komunikasi, internet bahkan masuknya jaringan swalayan besar. Tapi apakah maju yang dimaksud berkorelasi dengan kejahteraan? rupanya tidak.

Di desa, sumber makanan yang lebih dekat harusnya dilihat sebagai sesuatu yang maju dan mensejahterakan. Ini berlawanan dengan kota yang sumber makanannya jauh. Faktor ini pula yang membuat desa mampu menghadapi pandemi dengan lebih baik dari warga di kota.

Berkaca dari pengalaman pandemi Covid19 tahun 2020-2021, nampaknya desa lebih mampu menghadapi segala dampaknya ketimbang kota yang kerap disimbolkan sebagai daerah maju. Saat puncak pandemi, banyak warga yang tinggal di kota tidak punya pilihan selain mudik. Umumnya karena kena PHK. Covid19 memang menghancurkan industri, membuat ratusan ribu orang Indonesia kehilangan pekerjaan.

Data BPS tahun 2020 menyebut ada 29,12 Juta orang yang terdampak pandemi. Yang jadi  pengangguran 2,56 juta orang, tidak kerja karena Covid-19 sebesar 1,77 juta orang. 24,03 juta orang sedikit beruntung tidak diberhentikan, tapi kena  pengurangan jam kerja.

Sejumlah media nasional mengutip Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani bahwa, jumlah yang kena PHK ada 15 juta jiwa dari total 50 juta orang angkatan kerja di sektor formal.

Baca Juga :  Sulitnya Pindah, Bertahan Beresiko : Paska Banjir Bandang Lengkeka

Sebagian besar orang yang masuk dalam angka-angka pengangguran itu akhirnya kembali ke desa untuk mencari perlindungan. Kota memang tidak memberikan jaminan masa depan.

Bunga Siagian, salah seorang pendiri Jatiwangi Art Factory, sebuah kelompok seniman di kabupaten Majalengka, Jawa Barat yang mengampanyekan isu-isu desa mengatakan, kota sudah sangat rentan. Tidak bisa diharapkan jadi tempat berlindung jika ada masalah. Contoh terakhir saat pandemi Covid19.

“Ketika kita dihantam pandemi, ekonomi di perkotaan melemah, semua orang balik ke desa, mencari perlindungan”. Menurut Bunga lagi, kota tidak punya skema atau kemampuan untuk menghadapi krisis.  Apalagi kemungkinan dunia akan semakin sering menghadapi berbagai pandemi pasca Covid19. Kita tahu saat ini sudah ada wabah baru yang mengintai, Cacar Monyet.

Dari pengalaman pandemi Covid19, terlihat kota sama sekali tidak ideal untuk tempat hidup yang mensejahterakan. Mereka yang kehilangan pekerjaan juga kehilangan sumber makanan bahkan tempat tinggal.

Hasil survey ‘Menilai Dampak Covid-19 terhadap Gender dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia’ yang dilakukan UN Women bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Indosat Ooredoo mengungkapkan, pandemi telah memperparah kerentanan ekonomi perempuan dan ketidaksetaraan gender di Indonesia. 

Baca Juga :  Sekolah Pembaharu Desa : Kelas Membaharui Desa

Salah satu temuan laporan ini menunjukkan, pembatasan sosial telah membuat 69% perempuan dan 61% laki-laki menghabiskan lebih banyak waktu mengurus pekerjaan rumah tangga. prosentase ini menunjukkan perempuan memikul beban lebih berat. Sebab 61% perempuan juga menghabiskan lebih banyak waktu mengasuh dan mendampingi anak dibandingkan laki-laki yang hanya 48%.

Laporan ini juga menunjukkan, pandemi menyebabkan  57% perempuan mengalami peningkatan stres dan kecemasan karena beban pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan yang bertambah. Kehilangan pekerjaan dan pendapatan, serta mengalami kekerasan berbasis gender. Adapun laki-laki yang mengalami masalah ini sebanyak 48%.

Dari banyak problem yang dihadapi warga kota saat pandemi, yang paling sulit adalah hilangnya lingkungan yang sehat.  Belajar dari sulitnya kota menghadapi pandemi, Bunga menyerukan pentingnya mulai membicarakan desa dengan perspektif dari desa. Kekayaan pengetahuan dari desa

Meski pandemi ini membuat banyak orang mudik, itu karena mereka tidak punya pilihan. Bertani jadi pekerjaan sementara. Umumnya mengatakan, akan kembali ke kota jika ada tawaran pekerjaan. 

Bekerja di kota memang menyilaukan banyak anak muda. Itu didorong oleh pandangan yang menilai kesuksesan dari besaran gaji yang diterima. Pakaian seragam dan tampilan pakaian lebih rapi, plus di kota banyak fasilitas hiburan.

Baca Juga :  Situs Bersejarah dan Nasib Peradaban Poso

Dalam pandangan Bunga, pengertian ekonomi sebetulnya bukan seberapa besar profit atau gaji yang bisa kita dapatkan. Tapi bagaimana kita mengelola sumberdaya.

“Makanya ngobrolin desa dengan perspektif dari desa dengan kekayaan pengetahuan di desa itu harus segera dimulai. Sudah dimulai sebenarnya. Harus segera di arus utamakan”kata Bunga.

Selain alam yang masih terjaga sebagai sumber kehidupan. Desa bisa lebih tahan menghadapi berbagai persoalan karena masih ada kebudayaan setempat yang dipelihara masyarakatnya. Memelihara dan mempertahankan kebudayaan kini jadi problem juga.

Bagi Bunga, yang sebetulnya sedang diperebutkan adalah konteksnya. Di Poso atau di pinggir Danau Poso, Monyilo, Wayamasapi dan Mosango adalah kebudayaan masyarakatnya. Sesungguhnya, yang terancam adalah konteksnya. Yakni Danau Poso.

Jika fungsi Danau Poso berubah dari habitat ikan-ikan dan biota lainnya menjadi waduk akibat berdirinya beberapa bendungan PLTA, maka konteksnya berubah. Sehingga kebudayaan disekitarnya akan ikut berubah. 

Gerakan yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat di pinggir Danau Poso termasuk para mahasiswa yang memprotes keberadaan bendungan PLTA Poso I sebenarnya dalam rangka menjaga danau dan segala yang ada disekitarnya agar tetap lestari.  Mengembalikan fungsi lahan-lahan pertanian agar mencukupi kebutuhan pangan dan ekonomi masyarakat desa.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda