Mosikola Teologi : Agar Beragama Tetap Relevan, Kontekstual, Membebaskan

0
1037
Banjir di Dusun Bonelanto, Ranononcu. Foto : Dok. Rimansi Patu

Seberapa relevan agama dalam kehidupan sehari-hari? Jika pertanyaan ini diajukan, kenyataannya dalam konteks di Indonesia tidak seorangpun mengelak kenyataan bahwa agama memengaruhi sebagian besar pandangan dan tindakan banyak orang. Namun , bagaimana dengan pertanyaan seberapa kuat keterlibatan dan pengaruh agama berhadapan dengan konteks dan dinamika yang bergerak hingga pada jaman ini? Karena untuk bisa relevan, maka harus kontekstual. Namun kontekstual saja tidak cukup, penting untuk membebaskan masyarakat dari konteks yang digumuli.

Agama-agama dipercaya mengambil bagian penting dalam menciptakan laku budaya masyarakat. Karena itu, beragama tidak lepas dari konteks masyarakatnya. Termasuk di Kabupaten Poso. Beragama di Kabupaten Poso memiliki konteks sosial, ekonomi, budaya dan politik yang khusus sebagai wilayah paska konflik . Beragama di konteks masyarakat paska konflik membutuhkan tafsir teologi yang mengenal, memahami dan memaknai konteksnya sehingga beragama menjadi relevan dalam menjawab kebutuhan aktual masyarakat. 

Institut Mosintuwu, bekerjasama dengan STT GKST Tentena sekolah teologi bagi calon pemimpin agama Kristen di Kabupaten Poso menggumuli konteks beragama yang relevan, kontekstual dan membebaskan dalam kehidupan masyarakat. Ada kegelisahan terhadap bagaimana agama secara khusus berhadapan dengan konteks kemajemukan, penderitaan, kemiskinan, ekologi dan keadilan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat 

Dalam rangka itulah, maka STT GKST Tentena – dalam kerjasama dengan Institut Mosintuwu – mengadakan program Pengabdian kepada Masyarakat dengan nama Mosikola, suatu istilah dalam bahasa Poso – dari akar kata sikola – yang berarti bersekolah.  Penempatan kata teologi menunjuk pada subyek belajar yaitu teologi. Teologi yang dipelajari bersama adalah teologi kontekstual dan teologi pembebasan.

I Gede Supradnyana, dosen STT GKST Tentena menjelaskan mengapa Mosikola Teologi menjadi penting khususnya dalam konteks bergereja di Poso “Soal mendasar yang menjadi masalah gereja-gereja warisan kolonial di Indonesia adalah bahwa seringkali karyanya tidak sesuai konteksnya. Ini bukan berarti warisan itu salah, melainkan – sebagaimana prinsip Gereja Reformasi, yakni Semper Reformanda (terus menerus diperbarui) – gereja mestinya sesuai dengan konteksnya”

Baca Juga :  Menyambung Hidup bersama Mahluk Hidup Lainnya

Selanjutnya disebutkan I Gede, kenyataannya konteks saat ini acapkali berisi konflik dan ketegangan atas nama agama dan ras, kenyataan kemiskinan, penderitaan dan ketidakadilan.  Hal-hal ini  makin lama dianggap sebagai sesuatu yang biasa, termasuk soal kerusakan ekologis yang dibenarkan sejauh itu dapat memuaskan kerakusan manusia. Dalam konteks seperti inilah semestinya agama khususnya gereja ada dan terlibat. Gede yang juga menjadi fasilitator di kelas Mosikola Teologi mengatakan kontekstualisasi merupakan cara gereja, yang di dalamnya pendidikan teologi berada, untuk merespon tantangan konteksnya. Ia menjadi proses penggabungan amanat Alkitab dengan situasi dan kondisi di mana gereja itu berada. 

Gede, menyitir Drewes dan Mojau ( 2006: 155), tentang 5 prinsip kontekstualisasi, yakni, pertama, kontekstualisasi berkaitan dengan penilaian kita terhadap konteks Dunia Ketiga dengan ciri khasnya. Kedua, kontekstualisasi selalu bernada suara kenabian yang muncul dari perjumpaan yang sungguh antara Firman Allah dan dunia-Nya. Ketiga, kontekstualiasi memiliki sifat dinamis yang terus menerus berubah sesuai dengan konteks zamannya. Keempat, kontekstualisasi selalu bermakana pembebasan manusia dan dunia dari segala masalah yang melilitnya. Dan, terakhir, kontekstualisasi harus dialami oleh tempat di mana proses itu berlangsung, tetapi tetap berada dalam relasi integral dengan konteks lain untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan di masa depan.

Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu menguatkan“ Mosikola Teologi, adalah ruang belajar bersama bukan hanya agar agama ( Kristen ) bisa kontekstual dan membebaskan dalam konsep berpikir tapi mampu mendorong aksi dan keterlibatan agama dalam persoalan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang dihadapi oleh masyarakat” 

Baca Juga :  We Can’t Wait: How Women and Youth of Faith can Lead Peacebuilding

Dalam konteks program , Lian menjelaskan, Mosikola Teologi adalah bagian dari kegiatan Sekolah Keberagaman yang dikembangkan oleh Institut Mosintuwu sejak 2018. Meskipun Mosikola Teologi secara khusus melibatkan peserta calon pemuka agama dan para pemuka agama yang beragama Kristen, namun dalam proses dialog dan diskusi akan melibatkan komunitas agama lain. Sebelumnya, pada tahun 2018, Institut Mosintuwu telah bekerjasama dengan Alkhairat Poso dalam merancang Sekolah Keberagaman yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan intrafaith di Alkhairat.

Mosikola Teologi dirancang dalam format kuliah online selama 1 tahun , diikuti oleh mahasiswa STT GKST Tentena , mahasiswa teologi asal Poso yang kuliah di luar STT Tentena, para pendeta / diaken GKST. Saat ini terdapat 50 peserta Mosikola Teologi yang dipanggil dengan sebutan sahabat Mosikola.

Sahabat Mosikola Teologi akan mengikuti serangkaian webinar bersama para ahli di 5 topik yaitu kemajemukan, kemiskinan, penderitaan, keadilan, dan ekologi. Para ahli ini akan melakukan kajian atas konteks dari perspektif teori makro di Indonesia, dari perspektif teologi Kristen, dari para praktisi , dan dalam konteks Poso. Webinar ahli ini akan disusul dengan sarasehan kelompok yang membahas kajian para ahli dalam konteks Poso dilanjutkan dengan webinar kelompok . Setiap kelompok akan mempresentasikan catatan hasil sarasehan dalam webinar kelompok. Presentasi akan diikuti dengan tanggapan dari narasumber ahli , diikuti dengan diskusi pendalaman bersama tentang bentuk aksi yang dilakukan sebagai hasil pemaknaan atas materi yang dipelajari.  Webinar kelompok akan diikuti dalam sarasehan kelompok untuk mendiskusikan bagaimana memaknai kelima materi ( kemajemukan, kemiskinan, penderitaan, keadilan, ekologi ) dalam kelas ke dalam bentuk aksi nyata berteologi kontekstual dalam masyarakat . Pada akhir kelas online ini akan dibuat bersama kotbah hasil refleksi selama satu tahun kuliah di Mosikola Teologi. 

Baca Juga :  Pemulasaraan Jenazah, Dialog Mencari Persamaan dalam Islam

Serangkaian kegiatan di Mosikola Teologi yang membahas teologi kontekstual pembebasan ini diharapkan menghasilkan para tokoh agama dan calon tokoh agama yang berperspektif kritis tentang berteologi kontekstual di Kabupaten Poso; tokoh agama dan calon tokoh agama dapat mengembangkan cara pikir kritis berteologi kontekstual dalam kajian, mimbar gereja dan aksi bersama; tokoh agama dapat meluaskan jaringan kerjasama sama dalam berteologi kontekstual dan teologi pembebasan di Indonesia, dan Kabupaten Poso;  mempraktekkan cara pikir kritis teologi kontekstual dan teologi pembebasan dalam berteologi di masyarakat.

Pertanyaan seberapa kuat agama berpihak pada masyarakat yang terpinggirkan, terdiskriminasi, niscaya akan menjadi lebih mudah diurai jawabannya.

Dalam pelaksanaan kelas Mosikola Teologi ini, 8 mahasiswa teologi STT Tentena menjadi co-fasilitator yang aktif mengorganisir 60 sahabat Mosikola. Para peserta terbagi dalam 4 kelompok dengan nama kelompok Masapi, kelompok Latea, kelompok Karamba dan kelompo Wuriri. Sebelum kelas pembukaan Mosikola Teologi dilakukan, mereka mengikuti serangkaian workshop kepemimpinan. Mereka adalah  Yuliantika Pinapu (  mahasiswi semester 8 STT GKST Tentena ),  Jekson Molodu ( mahasiswa semester 4 STT GKST Tentena ), Yaeze Nova Alfiana Moula ( mahasiswi semester 8 STT GKST Tentena ),  Ezra Botilangi ( mahasiswa semester 2 STT GKST Tentena ), Stevy Sanako ( mahasiswi semester 6 STT GKST Tentena ),  Tri Tedampa ( mahasiswi semester 6 STT GKST Tentena ), Dwi Bansoe (  mahasiswa semester 6 STT GKST Tentena ), Gusti Ayu Gracelia ( mahasiswi semester 6 STT GKST Tentena ).  

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda