Tentang Surga di Bumi, Teolog Bicara Ancaman Kerusakan Lingkungan

0
2457
Wayamasapi, nelayan berteologi dalam cara menangkap Ikan. Tradisi wayamasapi sudah diwariskan oleh leluhur Poso ratusan tahun sebelumnya. Wayamasapi adalah salah satu tradisi yang akan dihilangkan jika pengerukan, dan reklamasi kompodongi dilakukan. Foto : Dok. Mosintuwu/Lian

 “Ada tuduhan bahwa teologi hanya bicara soal surga, ini cara berpikir warisan misionaris barat”  tegas Pdt. I Gede Supradyana 

Penjelasan dosen STT GKST Tentena ini sehubungan dengan dilaksanakannya simposium asosiasi teolog Indonesia regional Sulawesi di Tentena tanggal 10 – 12 Mei 2018. Kegiatan yang merupakan kerjasama antara Asosiasi Teolog Indonesia dengan STT GKST Tentena ini merupakan yang pertamakali dilaksanakan di Sulawesi sebagai upaya mendorong para teolog untuk bersuara kritis menyikapi persoalan kontekstual terkait masalah ekologi. Tema “menanggapi persoalan ekologis secara teologi” dipilih sebagai respon atas peristiwa dan ancaman kerusakan ekologi di depan mata, tapi  tidak ditanggapi oleh gereja, atau pimpinan tokoh agama dengan serius. 

“Kita ingin meluruskan pemahaman ini, bahwa apa yang terjadi di sekitar kita apalagi jika berkaitan dengan alam turut mempengaruhi bagaimana kita berbicara tentang Allah. Karena alam menjadi tempat kita menghayati Allah” sambung Pdt Gede. 

Di Poso, salah satu persoalan lingkungan yang sedang dihadapi adalah rencana pengerukan mulut danau Poso oleh PT Poso energy yang didukung Pemda Poso untuk kepentingan menggerakkan turbin perusahaan.  Rencana pengerukan ini akan menghilangkan kebudayaan nelayan Danau Poso dan merusak seluruh ekosistem Danau Poso.  Pdt. Yuberlian Padele, dalam sesi panel ahli menyampaikan sejarah tentang Danau Poso, legenda yang hidup di dalamnya sebagai cara para leluhur beriman dan menjaga lingkungannya. Sementara itu, Marianne Mamondol  menyampaikan hasil penelitiannya tentang gejala fisik, gangguan keseimbangan ekosistem di Danau Poso jika pengerukan dilakukan. Dalam data hasil penelitian Pusat Studi Pembangunan Berkelanjutan disampaikan bahwa daerah erosi yang paling cepat adalah wilayah Kodina Boe dan Meko

“Karena itu seharusnya di kedua wilayah tersebut dilakukan upaya penanganan mencegah pendangkalan” Ujar Marianne. “selain itu struktur tanah di pegunungan yang ada di Danau Poso pada umumnya kurang kompak dan agak lepas sehingga akan mudah longsor” Dengan demikian, menurut Yuberlian Padele, sebagai seorang teolog yang punya visi ke depan penting untuk menyuarakan penolakan terhadap pengerukan Danau Poso. 

“Kita berteologi tidak hanya dengan kitab suci, tapi dengan lingkungan”  Pdt. Dr. Robert Borong, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta yang juga ahli teologi etika lingkungan turut menguatkan pemikiran eko teologi yang menjadi tema sentral pembicaraan dalam simposium. Hadir memberikan keynote speech, Pdt Borong mendorong tanggungjawab gereja untuk ikut berbicara jika terjadi kerusakan lingkungan.

Baca Juga :  Mikroplastik, Ancaman Baru Bagi Lingkungan dan Kesehatan di Danau Poso

Dihadapan puluhan peserta yang menyimak dengan antusias, Borrong menyinggung kapitalisme sebagai biang kerusakan lingkungan. Pendeta asal Karama Sulawesi Barat ini menceritakan pengalaman, bagaimana sebuah perusahaan bermodal asing yang hendak membangun PLTA di sungai Karama mendapat penolakan dari masyarakat adat karena hendak membendung sungai, padahal sungai itu punya nilai historis bagi masyarakat sekitar. Perlawanan oleh masyarakat, kata pendeta Borrong tetap dilakukan masyarakat di kampungnya meskipun pemerintah daerah sampai pemerintah desanya sudah diajak jalan-jalan keluar negeri oleh perusahaan yang hendak berinvestasi itu.

Cerita yang diutarakan oleh teolog kawakan di Indonesia ini merespon pertanyaan seorang peserta tentang apa yang harus dilakukan oleh nelayan, pemiliki wayamasapi dan karamba di mulut sungai Poso bila pengerukan sudah dilaksanakan. Sistem kapitalisme yang terwujud dalam modal perusahaan, kata Robert P Borrong, bekerja ibarat sistem ijon di pertanian, yakni tanaman petani yang belum di panen sudah dibayar terlebih dahulu lewat pemberian hutang.

Lian Gogali dalam sesi panel ahli menyampaikan “Konteks berteologi kita adalah tanah, udara dan air. Dengan demikian manusia setara dengan alam”  Menurut Lian, kecenderungan manusia mengeksploitasi alam muncul dari anggapan alam sebagai subordinasi dari manusia . “Padahal manusia tidak bisa hidup tanpa alam di sekitarnya, manusia akan berkelanjutan hidupnya jika menjaga alam ” 

Tidak hanya membicarakan kajian teologi, simposium yang dihadiri oleh mahasiswa teologi dari STTF Jakarta,  STT INTIM Makasar, STAK GKLB LUWUK BANGGAI, STT GKST Tentena dan diikuti oleh masyarakat umum ini, membicarakan alternatif pengelolaan lingkungan hidup. Lian Gogali dari Institut Mosintuwu menceritakan bagaimana pengalaman dan pengetahuan masyarakat lokal menjadi cara berteologi yang ramah pada alam. 

“Wayamasapi, misalnya menggunakan pagar bambu yang diikat pada setiap angka ganjil. Alasannya bukan soal teknis kekuatan bambu tapi sangat spiritual, yaitu bahwa yang genap adalah Tuhan” jelas Lian. Lian melanjutkan bahwa, selama beratus tahun, para nelayan menyakini bahwa danau dan seluruh habitat di dalamnya adalah ciptaan dan titipan Tuhan untuk dikelola masyarakat. Maka bentuk pagar sogili atau Wayamasapi dibuat dengan sengaja hanya untuk menangkap ikan yang berukuran besar. Ekonomi solidaritas, program pengembangan ekonomi desa yang bersolidaritas dengan alam  diceritakan Lian sebagai salah satu cara kelompok perempuan di desa membangun dengan alam. Salah satu contohnya adalah pengembangan pasar desa organik dan bank sampah.

Baca Juga :  Nilai Tinggi Kerang dan Keong Danau Poso Belum Dinikmati Nelayan

Kesetaraan Manusia dan Alam, Ajakan dari ATI Regional Sulawesi

12 paper mahasiswa dan dosen teologi se-Sulawesi mewarnai simposium Asosiasi Teolog Indonesia Regional Sulawesi. Mereka berasal dari STTF Jakarta,  STT INTIM Makasar, STAK GKLB LUWUK BANGGAI, STT GKST Tentena.  Keseluruhan paper menceritakan bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan alam, serta bagaimana gereja harusnya meresponnya dalam tindakan nyata.

Menanam pohon sebagai akta iman sebuah penegasan dogmatis, dibawakan oleh Hendrikus Nayuf dari STT INTIM Makasar, menjadi salah satu paper yang menguatkan pandangan bahwa aksi melindungi lingkungan adalah tindakan beriman.  Demikian Darius Ade Putra  dalam presentasinya mengembangkan tafsir  atas Kitab Kejadian 1 : 26 – 28 yang menunjukkan kekeliruan atas melihat manusia sebagai pusat alam semesta. 

“Teks dalam kejadian adalah sebuah seruan untuk melestarikan alam semesta” jelas Darius. 

Mahasiswa dari STAK Luwuk Banggai, Nugraha Pisu,  menguatkan pandangan tentang bagaimana seharusnya alam diperlakukan melalui kajiannya tanah adalah bagian penting dari kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Karenanya, menurut Nugraha dalam presentasinya di Dodoha Mosintuwu, merusak tanah dengan berbagai pupuk kimia sebenarnya adalah sebuah tindakan merusak kehidupan dan ciptaan Allah.

Dalam panel sesi I yang diselenggarakan di Dodoha Mosintuwu, pembahasan mengenai Penyelamatan Ekologi yang disampaikan oleh Dr. Jhon Simon, menyoroti bagaimana sistem ekonomi kapitalistik terus mendorong manusia untuk terus mengkonsumsi melebihi kebutuhannya, yang pada akhirnya mendorong ekspolitasi lingkungan secara besar besaran.

“Inilah yang disebut ekonomi kerakusan atau ekonomi wants. sistem ini dalah sistem yang dipaksakan yang akhirnya merusak alam. Inilah sistem kapitalisme”kata pengajar pada STT Jakarta itu. 

Dalam materinya Dr Jhon Simon membawakan makalah berjudul Menyapa Bumi Menyembah Ilahi :Tentang Double Kenosis dan Penyelematan Ekologi menyoroti pula, penyelematan bumi dari kerusakan ekologi harus dimulai dari dalam diri sendiri, baru kemudian digerakkan kepada orang lain. 

Serangkaian presentasi direspon oleh peserta yang hadir dari berbagai kalangan. “Tanah kita sudah sakit, karena sudah sejak di kebun sudah pakai pestisida, setelah itu tanahnya dikasi pupuk lagi, pada saat membersihkan rumput kita tidak memaras, tapi pake racun rumput, kondisi ini harus dipulihkan lagi dengan pertanian organik”kata ibu Wuri. Bersama kelompoknya, ibu wuri telah mendirikan kebun sayur organik di kelurahan Sawidago, Pamona Utara. Apa yang disampaikan ibu Wuri juga telah dipraktekkan oleh kelompok perempuan desa Salukaia, Pamona Barat yang menjual sayur-sayuran organik hasil panen mereka di kebun-kebun yang dikelola oleh ibu-ibu disana.

Baca Juga :  Tiga Presiden di Poso

Bahaya penggunaan pupuk kimia juga sudah disampaikan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebagaimana kekhawatiran yang diutarakan oleh Sarjiya Antonius. Menurut dia, kecenderungan para petani berkiblat ke pupuk kimia unorganik dalam waktu lama bisa merusak tanah, paling lambat dalam kurun waktu 25 tahun.

Dalam wawancara dengan  panitia Asosiasi Teolog Indonesia , pelaksanaan simposium ini diharapkan dapat menguatkan suara kenabian yang peduli pada isu lingkungan. 

“Kami berharap suara kenabian yang peduli pada isu lingkungan tidak lagi sendirian, sebaliknya semakin banyak dan saling menguatkan” demikian Pdt. Gede menyampaikan ketika ditanya harapan atas pelaksanaan simposium dalam wawancara di Radio Mosintuwu. “ Kepedulian yang disuarakan, akan bisa melahirkan tindakan yang menyelamatkan bumi dan alam, dan pada akhirnya menyelamatkan manusia” tambahnya.

Pada hari terakhir pelaksanaan simposium Asosiasi Teolog Indonesia regional Sulawesi, para peserta membuat pernyataan bersama. Selengkapnya pernyataan bersama tersebut

“Sebagaimana manusia, alam semesta juga adalah gambar Allah. Alam memiliki kebijaksanaannya sendiri dan manusia perlu belajar darinya. Akan tetapi, manusia–termasuk gereja pun turut andil–telah merusak pemahaman ini melalui teologinya yang antroposentris. Alam dieksploitasi hanya untuk kerakusan manusia, sehingga terjadilah krisis ekologis di sana-sini, termasuk yang dialami oleh Danau Poso. Manusia tidak menyadari bahwa eksploitasi atas alam sebenarnya tidak hanya merusak alam, tetapi juga merusak gambar Allah dan hidup manusia itu sendiri. Oleh karena itu, mari kita kembali pada mandat Allah untuk bersahabat dengan alam dan melestarikannya dengan memelihara sikap hidup ugahari dan proporsional. Mari gereja-gereja bergerak bersama dalam mencegah dan melawan berbagai upaya perusakan alam melalui gerakan teologis (dengan merekonstruksi pemahaman teologisnya), sosiopolitis (dengan menyerukan penolakan terhadap ekploitasi alam), maupun legal-formal (dengan mendorong pemerintah untuk menetapkan peraturan perlindungan alam)”

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda