Morono, Tradisi Menangkap Ikan Kecil Danau Poso

0
2183
Nelayan menggunakan lampu petromaks untuk mengundang ikan kecil Rono ( sebutan lokal ) sebelum mengurungnya dengan ram di tepian danau. Tradisi menangkap ikan ini warisan leluhur Poso. Foto: Mosintuwu/Ray

Malam itu sekitar pukul 22:00 wita, suhu udara di pinggir danau sangat dingin, angin membawa riak-riak kecil ombak. Desmon salah seorang Toporono, sudah harus menyalakan dua lampu petromaks, biasa disebut lampu gas, lalu membawanya ke perahu. Perlahan dia mendayung menuju ke sebuah gabus yang mengapung tempat dua lampu petromaks itu akan ditaruhnya. Setelah itu, dia kembali mendayung ke pinggir dimana koleganya, para nelayan lain biasanya berkumpul, ngobrol tentang hasil tangkapan atau berbagi informasi-informasi lain mengenai kondisi danau.

Menaruh dua lampu penerang dilakukan Desmon untuk menarik Rono mendekat. Tapi tidak langsung ditangkap, para nelayan membiarkan Rono berkumpul semakin banyak. Sekitar 2 jam kemudian, dia akan mendayung kembali perahunya ke tempat lampu untuk mengecek apakah Rono sudah terkumpul disekitar cahaya. Kali ini Desmon mendayung lebih pelan, bahkan berhati-hati agar tidak membuat Rono yang sudah berkumpul bubar.

Toporono adalah nelayan yang mencari ikan Rono atau Teri di danau Poso. Kurniawan Bandjolu, peneliti di Institut Mosintuwu mengatakan, Rono yang biasanya ditangkap para nelayan adalah jenis Oryzias nigrimas dan Oryzias orthognathus yang berukuran sekitar 3-7cm. 

Dengan berhati-hati, Desmon mengambil kedua petromaks itu, memindahkannya ke perahu, lalu dengan pelan sekali mendayung ke  tepi, sekitar 30 meter dari gabus. Kumpulan Rono itu mengelilingi perahu, mengikuti cahaya yang sudah berpindah, bergerak perlahan. Saking pelannya, butuh waktu lebih dari 1 jam untuk menempuh jarak 30 meter. Menurut Desmon, mereka harus berhati-hati karena Rono sangat sensitif jika melihat cahaya lain. Selain itu, mereka juga harus mempertimbangkan ombak dan angin. Kekeliruan sedikit saja bisa membuat Rono langsung lari. Topo Rono memang harus punya modal sabar dan menguasai teknik yang terasah dari pengalaman untuk membuat Rono tetap mengikuti perahu menuju ke sebuah jaring yang sudah dipasang sebelumnya.

Baca Juga :  Peresmian PLTA Poso, Duka Bagi Petani, Peternak, Nelayan, Penambang Pasir hingga Budaya Danau Poso

Mendekati jaring, cahaya petromaks perlahan-lahan dikurangi hingga redup. Di kedalaman kurang lebih 3 meter, Desmon turun dari perahu, dia menjangkau ujung ram, sambil berenang, dia melingkar, mengurung Rono hingga masuk kedalam jaring. Rono yang sudah dikurung dibiarkan hingga besok pagi

Basah kuyup, Desmon kembali naik ke perahu, mengambil korek lalu menyalakan sebatang rokok. Sambil memompa kembali petromaks dia bercerita tentang semakin berkurangnya jumlah tangkapan yang diperoleh belakangan ini. Setelah menaruh kembali petromaks ke gabus, perahu didayung ke pinggir. Dalam perjalanan menuju tempat kongkow, berkumpulnya  para nelayan di dekat Goa Pamona, beberapa perahu yang menggunakan lampu milik Toponyilo berseliweran, pak Yusuf, pak Yanis melintas sambil berdiri dengan Sarompo, jenis tombak bermata empat untuk berburu ikan ditangan, sebelah tangan mengendalikan kemudi. 

Desmon mengatakan, toporono dan para toponyilo memiliki saling pengertian dalam berbagi rejeki di air. Orang Pamona menyebutnya, Motila ri Ue. Ini adalah prinsip saling berbagi, tanpa ada yang merasa lebih berhak. Ketika kedua petromaks milik mereka sudah terpasang, toponyilo tidak akan mendekat karena tahu lampu perahu mereka akan membuyarkan kerumunan Rono yang hendak mereka tangkap.

“Orang yang monyilo sudah tau kalau torang sementara ba giring Rono. Dorang tidak mau ba dekat, minimal jarak terdekatnya dengan perahu kami sekitar 30 meter. Begitu pun sebaliknya. Kalau kami lihat toponyilo sementara kejar ikan, kami tidak akan mendekat. Ini sudah terjalin sejak dahulu”kata Desmon mengenai sikap saling menghargai diantara para nelayan.

Baca Juga :  Penataan Sungai Poso tanpa Sosialisasi AMDAL
Nelayan Toporono mengiapkan lampu petromaks sebagai alat pengumpan ikan kecil mendekat. Morono adalah tradisi budaya Danau Poso. Foto : Mosintuwu/Ray

Sikap itu terlihat jelas saat mereka diatas air. Perahu pak Yusuf dan pak Yanis , nelayan Toponyilo tidak mendekat ketika Desmon sedang menggiring Rono ke perangkap. Padahal, mungkin saja Sidat, ikan Mas atau Mujair yang sedang mereka kejar lari kearah Desmon.

Sesampai di darat, beberapa nelayan sedang ngobrol di dekat pondok milik papa Ge. Salah satu topik yang dibincangkan mengenai masa depan para nelayan, ditengah perubahan bentuk outlet atau mulut sungai Poso yang menghubungkannya dengan danau yang tengah dikeruk oleh perusahaan pembangkit listrik (PLTA) PT Poso Energi milik keluarga mantan Wapres Jusuf Kalla. 

Topik lain yang dibincangkan ditengah api kecil untuk menghangatkan badan malam itu adalah turunnya hasil tangkapan Rono. Desmon mengatakan, hasil yang didapatkan saat itu sangat kurang dari yang biasanya.

“Padahal perahu kami sudah dayung pelan tapi yah, biasanya hasil tangkapan kami itu 2 tong atau 1 tong setengah, sejak ada kapal  keruk itu kalau lampunya hidup, berpengaruh sekali. Bisingnya mesin saja sudah bikin Rono lari” dia melanjutkan, sebelum ada kapal keruk, Rono akan mendekati petromaks sesaat setelah mereka pasang. Jarak antara lokasi mereka mencari Rono dengan kapal keruk hanya berkisar 50 meter saja.

Desmon kemudian menghitung penurunan hasil tangkapan itu dengan hitungan hasil penjualan. 1 tong Rono sama dengan 30 kati.  1 kati Rono mereka jual Rp.10.000, jadi biasanya mereka mendapatkan hasil setara Rp300,000 semalam. Sekarang jumlah Rono yang didapatkan semakin sedikit, hasil paling besar yang didapatkannya hanya berkisar 10 kati, setara Rp 100,000, berkurang lebih dari setengah. Salah satu penyebabnya menurut dia adalah lampu petromaks miliknya kalah terang dibanding lampu kapal keruk yang berada hanya sekitar 50 meter dari tempat gabus dan ram perangkap Rono miliknya.

Baca Juga :  Surat Terbuka Akademisi STT GKST kepada Bupati Poso : Mari Membangun dengan Kemampuan yang Ada

“Bekerja sebagai Toporono ini kami sudah puas dengan hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari” kata Desmon. “Sebelum ada kapal keruk PT Poso Energy, setiap malamnya kami bisa mendapatkan sekitar 1,5 tong sampai 2 tong ikan rono. Dalam 1 tong itu ada 30 kati ( ukuran mangkuk kecil ). 1 kati harganya Rp. 10.000 . Bayangkan itu”

Lampu berkekuatan ribuan watt dari kapal keruk membuat petromaks berbahan minyak tanah milik topo rono jadi semacam lilin saja. Ikan seperti Rono memiliki respon terhadap cahaya (fototaxis). Hal itu membuatnya naik ke permukaan mendekati cahaya. Ayodhyoa (1985) mengatakan, cahaya menyebabkan plankton dan ikan ikan kecil berkumpul lalu mendekat dengan tujuan mencari makan.

Morono dilakukan Toporono di wilayah muara ( outlet ) Danau Poso, karena ombaknya tidak besar.  Karena itu bagi para nelayan Toporono, harapan lokasi penghasilan mereka hanya di wilayah muara Danau Poso. Harapan untuk penghasilan mereka itu sekarang terganggu karena kapal keruk PT. Poso Energi.

Penulis : Ray Rarea

Editor : Pian Siruyu

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda